Kamus Bahasa Indonesia terlalu "datar" rupanya dalam mengartikan dongeng. Dalam Kamus daring (kbbi.kemdikbud.go.id) "dongeng" diartikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Atau, sebagai kiasan, dongeng diartikan perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan atau tidak benar.
Untuk itulah, barangkali, turunan dari kata "dongeng" tentu tidak jauh dari arti dasarnya. Padahal, dalam praktiknya, dongeng acap kali hadir untuk menyampaikan amanat-amanat (atau, nasihat) secara tersurat --sangat jarang amanat ditulis dan/atau disampaikan secara tersirat.
Pesan amanat itu muncul bisa dari narator atau tokoh karakter cerita. Jika meminjam frasa yang digunakan Umar Fauzi Ballah dalam esainya "Dongeng dan Bahasa AS Laksana", pintu masuk narator menyampaikan amanat terdapat dalam "klausa 'Kau tahu'". Narator, tulisanya, adalah yang hadir membacakan cerita. Ia, narator maksudnya, yang selalu mengatakan atau menyebutkan 'kau tahu'.
Lain lagi jika amanat yang disampaikan oleh tokoh karakter cerita. Pembagiannya pun bisa terlihat karena biasanya hanya ada dua karakter "yang baik" dan "yang sinis". Dan, amanat itu hadir melalui ucapan atau tingkah laku "yang baik". Sedangkan "yang sinis", tentu saja, sebagai penguat/penegas amanat itu.
Itulah kenapa, dongeng bisa jauh mudah diingat ketimbang cerita-cerita lainnya --meski memuat amanat yang sama. Secara bentuk bahasa, dongeng memiliki kekhasan: Mengajak. Oleh karena itu, pendengar dongeng kerap larut dalam cerita.
Dongeng seperti memiliki magis yang bisa membimbing pendengarnya memasuki alam imajinasi. Yang lebih menakjubkan dari dongeng, tentu saja, mengajak pendengarnya kepada pengalaman baru.
Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah: apakah kita termasuk orang yang masih suka menceritakan atau mendengarkan dongeng?
Hal itu juga yang akhirnya menjadi keresahan Sang Nanang ketika perayaan Hari Dongeng Sedunia yang diperingati setiap 20 Maret. Menariknya, pendapat Sang Nanang ditopang dengan beragam perbandingan. Semisal: Orang tua, suami-istri, lebih banyak sibuk bekerja di luar rumah; pergi pagi pulang petang. Kemudian, anak-anak yang sudah sedari kecil diberi gawai.
Bukan mencari siapa yang keliru, namun begitulah fenomena yang terjadi sekarang. Padahal  dalam aktivitas mendongeng orang tua juga mengenalkan banyak kosa kata kepada anak-anaknya. Penguasaan kosa kata yang banyak, kata Sang Nanang, memungkinkan seorang anak dapat bertumbuh kembang lebih baik dari aspek kemampuan verbal dan komunikasinya.
"Potensi ini akan lebih baik lagi jika dapat dikembangkan untuk juga memupuk kemampuan anak mengungkapkan kembali isi cerita secara lisan," tulis Sang Nanang dalam Nasib Mendongeng di Hari Dongeng Sedunia.
Gordon Allport, ahli psikologi asal Amerika, menjelaskan bahwa usia paling efektif untuk menanamkan pembentukkan karakter ada pada usia di bawah sepuluh tahun. Karena pada periode ini dapat memberi dampak yang bertahan lama dan memberi efek berkelanjutan.