Sebermula ia adalah guru kelas satu kelas menengah atas. Bertahun-tahun di ruang kelas mengajar Bahasa Inggris. Ia bosan, ingin mencari "yang lebih". Ia lantas pergi ke Los Angeles, Amerika Serikat, untuk menjadi komposer lagu. Satu di antara banyak bidang yang ia pahami. Delapan tahun setelah itu, ia kembali beralih profesi: menjadi penulis!
Tiga buku pertamanya disambut baik oleh para pembaca dan kritikus. Ia dianggap mampu mencerita setara detail dan bisa menyajikan fakta-fakta secara gamblang dalam ceritanya. Singkatnya, kemampuan mengolah data dan riset sangat baik, juga serius.
Yang kurang dari semua itu, meski dipercaya oleh kritikus, hasil penjualannya tidak berbanding lurus. Beberapa bulan pertama setelah bukunya terbit hanya mencapai angka beberapa ribu kopi. Ia tahu, saat di mana buku itu terbit adalah celah sukses-atau-gagal sebuah novel mendapat perhatian. Ketiga buku pertamanya, bagi ia sendiri, gagal.
Kala itu ia sedang di Grand Gallery Louvre, Paris, melakukan riset untuk buku keempat dan kelimanya. Kedua buku tersebut adalah pertaruhan akhirnya. Jika masih gagal, maka mau tidak mau, ia akan mencari penerbit baru atau kembali alih profesi (yang terburuk: kembali ke ruang-ruang kelas, mengajar).
Meski didanai oleh penerbit untuk melakukan riset, ia beranggapan itu adalah beban. Uangnya tidak sedikit: 400.000 dollar. Itu adalah cek pertama terbesar yang ia terima selama menjadi penulis. Maka jalan yang ia ambil: membuat kontroversi dengan buku karya sendiri.
Ia melakukan itu dengan sadar, dengan penuh kesadaran malahan. Dalam bayangannya, novel terbarunya itu mesti mendapat perhatian besar oleh banyak orang. Ia ingin memecah misteri seputar kode-kode lukisan maha-agung, serta petunjuk tersembunyi dalam agama Kristen. Ia percaya, setelah selesai bukunya akan mendapat sambutan yang luar biasa dari banyak orang.
Berbulan-bulan melakukan riset, mewawancara narasumber, dan mendatangi perpustakaan mencari bahan tambahan pun rela ia lakukan.
Hasilnya, enam tahun setelahnya ia serahkan kerangka panjang novelnya termasuk detail setiap karakter kepada penerbit setelal 200 halaman. Sangat rinci. Ia tak ingin menyisakan sedikitpun ruang untuk adanya keraguan dan distraksi.
Buku itu ia berijudul "The Da Vinci Code". Beberapa tahun setelahnya ia benar-benar berhasil dengan bukunya. Buku tersebut laku hingga 200 juta kopi di seluruh dunia dan telah dialihbahasakan menjadi 56 bahasa berbeda. Setiap kali diundang sebagai pembicara, ia sudah seperti rock star. Orang-orang rela antre panjang menyambut kedatangannya, berteriak histeris. Mau berlama-lama demi mendapat tanda tangan di bukunya. Bahkan musisi sekelas Steven Tyler mau duduk manis mendengarkan ucapannya. Ia adalah Dan Brown.
***
Tentu banyak penulis yang mempunya karya sefenomenal Dan Brown. Paling tidak pasti ada satu karya masterpiece-nya. Tapi, rasa-rasa tidak banyak penulis yang dengan sengaja membuat kontroversi terhadap karyanya sendiri. Karena tidak hanya menjadi fenomenal, melainkan kontroversial.
Bahkan dalam satu wawancaranya Dan Brown mengatakan, "Aku bekerja mati-matian dalam menulis buku ini --The Da Vinci Code, maksudnya-- dan aku tidak terkejut melihat orang-orang menikmatinya."
Tapi, yang membuat Dan Brown kagum adalah bahwa benar-benar tidak menyangka orang sebanyak itu (jika dihitung dari angka penjualan bukunya sampai 200 juta kopi di seluruh dunia) bisa menikmati karyanya.
Tentu selalu ada yang menanggapi karya-karya Dan Brown lewat surel. Namun, itu setelah 2-3 tahun buku tersebut terbit. Dan, dalam waktu yang bersamaan, kerapa kali Dan Brown sedang mengerjakan novel berikutnya. Sehingga, bukan abai, fokusnya lebih tertuju pada buku yang sedang dibuat.
Bukan semangat, melainkan... kepercayaan dalam apa yang diperbuat. Meski lebih sering gagal, tapi selalu ada yang dipertaruhkan, yang lebih besar dari karyanya: (ke)hidup(an)nya sendiri.
***
"Aku bekerja mati-matian dalam menulis buku ini --The Da Vinci Code, maksudnya-- dan aku tidak terkejut melihat orang-orang menikmatinya." -- Dan Brown
Sudah membaca cerpen "Retakan dan Keinginan-keinginan di Atas Meja Makan" yang ditulis Sanad? Jika belum, cobalah sejenak selesaikan cerpen tersebut dan ada beberapa bagian yang menarik di sana. Semisal: obrolan di meja makan yang kini, barangkali, jarang kita rasakan kehatannya
Upaya yang dibangun oleh Sanad dalam cerpennya tersebut, mungkin saja, ingin mengingatkan kita apa yang pernah dan akan terjadi ketika obrolan di meja makan itu. Dengan latar pembunuhan, membuat kisah tersebut hadir dalam banyak layer.
Dari cerita tersebut juga Saand mencoba mendedah motif. Dalam hal ini: pembunuhan. Kita acap kali melihat pembunuhan sebagai tindak kriminal semata. Sedangkan, yang kadang abai dari peristiwa pembunuhan itu adalah motifnya. Kita mungkin tahu sebabnya, tapi kadang kita membiarkan latarnya. Latar tersebut yang disajikan Sanad dalam cerpennya "Retakan dan Keinginan-keinginan di Atas Meja Makan".
Cerita panjang yang sebuah motif, barangkali, hanya terjadi dalam sebuah peristiwa. Bahkan diksi yang digunakan Sanad sedikit bersayap untuk menggambarkan keinginannya membunuh: Masa pemimpin hanya tau mendatangkan pekerja dari luar, barangkali dipikirnya saya tidak bisa lagi bekerja dan berguna untuk dia.
Lahir pertentangan. Karena memang itulah yang dicari dan diharapkan. Jika tidak oleh banyak orang, paling tidak oleh kita sendiri --dengan pikiran. Bagaimana mungkin (1) di hadapan polisi ia bercerita tentang rencana pembunuhan itu yang sudah dirancang bertahun-tahun di kepalanya. Dan, (2) mengambil data empiris dengan mengaitkan perasaan perempuan dengan lagu-lagu yang mewakili suara perempuan.
Upaya-upaya seperti inilah yang dijelaskan satu per satu oleh Sanad. Jejak-jejaknya disebar ke beberapa bagian ceritanya. Menarik.
***
Dan Brown kecil selalu dipenuhi teka-teki dan kode. Satu ketika pada perayaan natal di umurnya yang kesepuluh, Dan Brown mencari sendiri kado hadiahnya dengan memecahkan masalah lewat puisi. Setiap puisi berisi sebuah huruf bilamana digabungkan dengan huruf dari puisi lain akan membentuk sebuah kata. Kata tersebut akan merujuk sebuah tempat di mana kado itu disembunyikan. Dan, tentu saja, Dan Brown berhasil.
Sandi dan kode, katanya, adalah gabungan antara matematika, musik dan bahasa. Ia dibesarkan dengan cara seperti itu oleh orangtuanya.
Sering kali kenikmatan membaca puisi adalah mencari segala hal yang tersimpan dan tersirat di dalamnya. Seperti Dan Brown kala menemukan kado natalnya.Puisi "Pertanyaan Sederhana dengan Jawaban Semenjana" yang ditulis Mim Yudiarto bisa dijadikan contohnya.
Sebelum masuk ke dalam karyanya, perubahan yang kentara bisa kita lihat dari Mim Yudiarto adalah caranya bertutur. Semakin kuat, matang dan bulat. Puisi naratif-deskriptif laiknya prosa, tidak semata menghadirkan cerita: simbol-simbol yang ditaruh melalui kata-kata.
Secara keseluruhan puisinya berkisah tentang pertanyaan-pertanyaan yang (kadang) yang tidak perlu dijawab. Tidak semua pertanyaan ada dan membutuhkan jawaban, bukan?
Simak diksi-diksi puisi "Pertanyaan Sederhana dengan Jawaban Semenjana" ini: matahari dan bulan; elang dan udara; pahit dan buah maja.
Dari ketiga bagian pembanding itu tentu kita tahu: adanya saling keterkaitan. Tidak ada yang lebih. Yang ada justru keterbutuhan antara satu dengan lainnya. Seperti kode, kata-kata dalam puisi memang semenarik itu. Saling mencari dan (lalu) menemukan.
***
Ada tiga, paling tidak, gambaran umum tentang karya Dan Brown: (1) ketertarikannya akan sejarah, (2) Â pendidikan --atau, tekanan?-- dari keluarga perihal musik dan matemarika, dan (3) kegemarannya dengan misteri akan sandi juga kode-kode. Apapun karya yang Dan Brown hasilnya pasti seputar itu.
Dalam dunia kreatif kita sering mendengarnya dengan istilah Magic of Three, yaitu cara di mana kita mengotakan sudut pandang. Ketiga bagian itu biasanya terbagi menjadi Narrator POV (orang yang tidak terlibat secara langsung), Self POV (memersepsikan orang lain terlibat secara langsung), dan Character POV (memersepsikan hal-hal sebagai orang atau benda).
Tidak mudah memang merangkai ketiga bagian itu secara langsung. Namun, sadar-atau-tidak dalam menulis sebuah cerita, ketiga hal tersebut hadir. Sebab, jika satu saja tidak ada, sebuah cerita menjadi "kering".
Melihat bagaimana Dan Brown melakukan itu, tentu tidak bisa dilepaskan akan tulisan pertama yang ia buat. Semasa sekolah, tulisan pertamanya adalah sebuah esai panjang tentamg Grand Canyon. Dengan lihai, tentu saja, Dan Brown menulis secara indah: menggambarkan warna-warna lembut dan celah-celah kecil pada batu kapur.
Namun, yang kemudian terjadi adalah esai panjangnya itu dicoret-coret oleh gurunya dengan tinta merah. Dicoret sampai 90 porsen tulisannya. Dan Brown mendapat nilai C-minus dengan kalimat manis yang ditinggalkan gurunya: lebih sederhana lebih baik.
Dan Brown pun akhirnya melakukan itu ketika mengerjakan "The Da Vinci Code" yang fenomenal itu.
Mungkin, katanya, kesuksesannya dalam bercerita adalah penggunaan sewenang-wenang pada tombol "delete" di komputernya. Ia mulai mengurangi ragam kata-kata sifat dalam tulisannya.
Memangkas kata sifat dan menggantinya dengan menguatkan alur, cerita dan karakter. Magic of Three tadi, maksudnya. Kita pun akan merasakan hal serupa pada cerpen "Tiga Cerita Satu Malam" yang dibuat oleh Sapta Arif.
Sapta Arif mencoba menggabungkan ketiga bagian ceritanya dengan saling mengaitkan antara satu dengan lainnya. Caranya, seperti bagaimana dengan apa yang Dan Brown lakukan: memanfaatnya narator mendominasi cerita. Dengan begitu, tentu saja, dapat meminimalisasi kata sifat yang hadir melalaui setiap karakter.
(Hay)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H