Perkataan seorang petinggi ini dimaknai sebagai "ketidaksukaan" pada Hilman oleh orang-orang yang merongrong kekuasaan di bawahnya. Tapi persepsi penulis artikel ini dan beberapa wartawan berbeda. Ia menilai bahwa itu adalah bukti yang menunjukkan sejatinya Hilman memang melakukan fungsinya sebagai pemimpin Press Room. Menjalankan tugas serta amanah yang diberikan kepadanya sebagai pejabat, untuk melayani rakyat press room, wakil rakyat dan setjen di Parlemen.
Sedangkan ke mana mereka yang merong-rong itu? Tidak elokkah andai kekurangan dan kelemahan didiskusikan, didialogkan dan dibahas secara internal? Bukankah mereka begitu dewasa untuk sekedar memahami kondisi satu sama lain? Ketimbang mengumbar aib di depan publik yang juga belum tentang sahih, tidakkah mereka adalah bagian dari aib itu sendiri?
Sementara mereka tidak ada rasa memiliki, kecuali bagi Hilman sebagai figur dan "rakyat press room" sendiri yang tertatih menanggung seluruh beban dari sempitnya paradigma tentang berorganisasi, berpolitik dan bercengkerama dengan publik Press Room sebagaimana lazimnya.
Press room memang tak bisa lagi dipandang sederhana, struktur di sana sudah sebegitu kompleks dengan konteks-konteks lain yang bersinggungan. Bukan lagi sekadar paguyuban dan perkumpulan, tapi di sana ada sebuah gengsi dan sesuatu yang "menjanjikan". Prestise bagi siapapun yang memegang pucuk kepemimpinan.
Karena itu menjadi hal yang wajar jika banyak orang yang begitu berambisi menjadi pemegang tertinggi di ruangan itu. Hal yang lumrah yang kemudian membuat persoalan-persoalan yang muncul seperti kudeta kepemimpinan menjadi hal biasa. Posisi menjadi hal yang menentukan. Mereka yang menduduki jabatan kepengurusan Press Room sedikit banyaknya memiliki persinggungan langsung dengan para Anggota DPR, MPR dan DPD. Persinggungan inilah yang salah satunya dipandang memiliki nilai "lebih". Dari persinggungan, muncul kedekatan. Dari kedekatan, muncul "keuntungan", baik bagi pribadi, maupun institusi tempat mereka bekerja, tempat mereka mencari nafkah.
Hilman pasti sudah sadar sejak awal. Hilman sudah terlanjur dicap "bermain" dengan kekuasaannya. Mereka bahkan tidak lagi membedakan antara Hilman sebagai ketua sekaligus pengurus Press Room dengan Hilman yang dipikiran sempit mereka sebagai orang yang "melacurkan" kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Kinerja press room menjadi tidak maksimal akibat rongrongan mereka yang haus akan kekuasaan. Mereka berani berencana mengkudeta, playing victim dengan manis di depan dan menusuk di belakang. Mereka yang melakukannya adalah sama sama insan pers yang bahkan secara kasta boleh dibilang lebih tinggi dari seorang kontributor.
Hilman yang begitu memberi harapan di awal masa kepengurusan harus "dinistakan" dengan berbagai cara. Cara-cara yang sepatutnya tidak lazim, karena perbedaan persepsi tidak diselesaikan dengan argumen, melainkan sentimen. Hingga cara-cara yang licik dengan mengutak-atik keabsahan dan legalitas Sang Kontributor di tempat ia bekerja. Mempersoalkan "surat tugas" dengan mengaduk-aduk dapur kantor orang lain.
Tulisan selengkapnya bisa Anda akses melalui tautan berikut ini:
(yud)