Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sisi Lain Hilman dan Seluruh Bawaan yang Melekat Padanya

22 November 2017   16:41 Diperbarui: 23 November 2017   11:20 11306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setya Novanto bersama Hilman Mattauch. Tribunnews.com

Nama Hilman Mattauch sebelumnya tidak dikenal oleh publik. Tapi untuk para jurnalis yang "ngepos" di gedung parlemen namanya tentu sudah tidak asing lagi. Selama kurang lebih dua tahun sejak 2014, ia berada di posisi tertinggi kepengurusan Press Room DPR/MPR. Ia adalah seorang jurnalis televisi swasta dengan status sebagai kontributor. Tapi sejak kecelakaan yang dialami Setya Novanto beberapa waktu lalu, namanya muncul di hampir seluruh media nasional. Bukan sebagai jurnalis, tapi sebagai tersangka atas kecelakaan yang terjadi yang melibatkan Setya Novanto.

Menjadi seorang tersangka atas kecelakaan sebenarnya adalah hal yang lumrah. Apalagi jika individu tersebut memang berada di belakang kemudi saat kejadian. Tapi yang menjadi menarik adalah, kecelakaan ini yang seolah dijadikan rekayasa dan jadi momentum untuk mengulur waktu oleh Setya Novanto demi menghindari pemeriksaan KPK. Tak perlu dijelaskan lagi seperti apa kejadian ini dan apa saja yang ada atau terjadi di belakangnya, tapi kali ini kami akan mencoba mengulas sisi lain seorang Hilman Mattauch berdasarkan ulasan yang ditulis oleh Kompasianer.

Sorang Kompasianer bernama Rahmat Abadi pada 2016 lalu menulis kisah tentang Hilman Mattauch. Ia membuat sebanyak tiga seri tulisan yang berkesinambungan. Isinya, menceritakan tentang bagaimana sepak terjang seorang kontributor televisi swasta ini di gedung parlemen.

Kala itu tahun 2014 saat pemilihan ketua Press Room gedung parlemen, Hilman mendapat suara tertinggi. Ia adalah figur yang di luar dugaan bisa memikat para jurnalis yang selama ini bekerja meliput di DPR/MPR. Padahal tidak banyak yang mengenal sosok insan pers kelahiran dusun Kayu Agung, Palembang, Sumatera Selatan ini. Karir jurnalisme yang ditapakinya cenderung biasa-biasa saja. Tidak tampak keistimewaan yang membedakannya dengan kelaziman para pewarta pada umumnya.

Lantas apa yang membuatnya bisa mendulang suara terbanyak dalam pemilihan yang demokratis itu? Menurut Rahmat Abadi -penulis artikel ini- Hilman tidak lahir dari ruang kosong. Pribadi yang humble, tidak pilah-pilih saat berteman, pendengar yang baik, memiliki rasa empati, simpati, dan solidaritas yang tinggi adalah modal penting yang dimilikinya. Inilah yang menjadi daya tarik dan dapat "memikat" para warga Press Room untuk memilihnya pada 2014 silam.

Hilman terpilih dengan suara mayoritas. Itulah yang tak terbantahkan saat pemilihan dalam dinginnya Cisarua silam. Dengan suara mayoritas, mau tak mau ia harus menggerakkan roda paguyuban. Kendati dinilai "politis" roda ini harus terus bergerak maju berkesinambungan.

Masa kepemimpinan Hilman tidak berjalan mulus. Ancaman dan hambatan datang silih-berganti. Seakan hendak merongrong kekuasaan, mendegradasi hingga menjatuhkannya di tengah jalan. Setiap gerakannya dimaknai sebagai manuver politik oleh rekan sejawatnya, para insan pers yang juga beroperasi di gedung parlemen. Dalam masa yang seharusnya masih haru-biru bulan madu Hilman dan Rakyat Press Room, jauh sebelum masa kepengurusan ini akan berakhir, ketidakpuasan ternyata sudah berurat akar.

Ketidakpuasan akan kepemimpinan Hilman di Press Room muncul sejak awal. Penulis menceritakan ada beberapa kawan wartawan yang bercerita padanya tentang ketidakpuasan ini. Ada masa-masa sulit di awal masa tugas Hilman. Bahkan gerakan-gerakan yang berniat "mengganggu" kepemimpinannya pun sudah muncul dengan berkoar atas nama ketidakpuasan. Hilman sudah "digoyang" sejak ia terpilih. Siapa yang melakukan? Mereka yang ada di bawah kepemimpinannya. Rongrongan demi rongrongan muncul dalam senyap. Manis di depan, menusuk di belakang. Itu yang dipersepsikan oleh penulis atas usaha kudeta kepemimpinan Hilman.

Hilman terperangkap dalam sebuah lakon misterius dari mereka yang sejatinya "nyata" di hadapannya. segelintir "pembantu" ternyata sosok-sosok bertopeng. Bagai bunglon, gemerlap cahaya malam membuat mereka sulit untuk dikenali. Jangankan untuk mencari tahu seperti apa jati diri mereka, warna kulit dan pakainnya pun sulit untuk didefenisikan.

Tapi, Hilman adalah kontributor yang tough. Kerasnya hidup menjadi seorang jurnalis sudah mendarah daging dalam dirinya. Perlu Anda ketahui bahwasanya dalam profesi jurnalis pun ada kasta-kasta tak terlihat. Kontributor yang jauh lebih berpeluh mengais berita di sudut-sudut kota dipandang sebelah mata.

Pada suatu ketika dalam acara kumpul wartawan di Pulau Dewata, seperti biasa, Hilman mondar-mandir mengurus semuanya. Bahkan seorang petinggi pun berkata "Hilman lagi, Hilman lagi. Ada banyak orang loh di Press Room."

Perkataan seorang petinggi ini dimaknai sebagai "ketidaksukaan" pada Hilman oleh orang-orang yang merongrong kekuasaan di bawahnya. Tapi persepsi penulis artikel ini dan beberapa wartawan berbeda. Ia menilai bahwa itu adalah bukti yang menunjukkan sejatinya Hilman memang melakukan fungsinya sebagai pemimpin Press Room. Menjalankan tugas serta amanah yang diberikan kepadanya sebagai pejabat, untuk melayani rakyat press room, wakil rakyat dan setjen di Parlemen.

Sedangkan ke mana mereka yang merong-rong itu? Tidak elokkah andai kekurangan dan kelemahan didiskusikan, didialogkan dan dibahas secara internal? Bukankah mereka begitu dewasa untuk sekedar memahami kondisi satu sama lain? Ketimbang mengumbar aib di depan publik yang juga belum tentang sahih, tidakkah mereka adalah bagian dari aib itu sendiri?

Sementara mereka tidak ada rasa memiliki, kecuali bagi Hilman sebagai figur dan "rakyat press room" sendiri yang tertatih menanggung seluruh beban dari sempitnya paradigma tentang berorganisasi, berpolitik dan bercengkerama dengan publik Press Room sebagaimana lazimnya.

Press room memang tak bisa lagi dipandang sederhana, struktur di sana sudah sebegitu kompleks dengan konteks-konteks lain yang bersinggungan. Bukan lagi sekadar paguyuban dan perkumpulan, tapi di sana ada sebuah gengsi dan sesuatu yang "menjanjikan". Prestise bagi siapapun yang memegang pucuk kepemimpinan.

Karena itu menjadi hal yang wajar jika banyak orang yang begitu berambisi menjadi pemegang tertinggi di ruangan itu. Hal yang lumrah yang kemudian membuat persoalan-persoalan yang muncul seperti kudeta kepemimpinan menjadi hal biasa. Posisi menjadi hal yang menentukan. Mereka yang menduduki jabatan kepengurusan Press Room sedikit banyaknya memiliki persinggungan langsung dengan para Anggota DPR, MPR dan DPD. Persinggungan inilah yang salah satunya dipandang memiliki nilai "lebih". Dari persinggungan, muncul kedekatan. Dari kedekatan, muncul "keuntungan", baik bagi pribadi, maupun institusi tempat mereka bekerja, tempat mereka mencari nafkah.

Hilman pasti sudah sadar sejak awal. Hilman sudah terlanjur dicap "bermain" dengan kekuasaannya. Mereka bahkan tidak lagi membedakan antara Hilman sebagai ketua sekaligus pengurus Press Room dengan Hilman yang dipikiran sempit mereka sebagai orang yang "melacurkan" kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Kinerja press room menjadi tidak maksimal akibat rongrongan mereka yang haus akan kekuasaan. Mereka berani berencana mengkudeta, playing victim dengan manis di depan dan menusuk di belakang. Mereka yang melakukannya adalah sama sama insan pers yang bahkan secara kasta boleh dibilang lebih tinggi dari seorang kontributor.

Hilman yang begitu memberi harapan di awal masa kepengurusan harus "dinistakan" dengan berbagai cara. Cara-cara yang sepatutnya tidak lazim, karena perbedaan persepsi tidak diselesaikan dengan argumen, melainkan sentimen. Hingga cara-cara yang licik dengan mengutak-atik keabsahan dan legalitas Sang Kontributor di tempat ia bekerja. Mempersoalkan "surat tugas" dengan mengaduk-aduk dapur kantor orang lain.

Tulisan selengkapnya bisa Anda akses melalui tautan berikut ini:

(yud)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun