Jakarta - Beberapa waktu lalu sebuah situs pelelangan keperawanan dengan alamat nikahsirri.com menjadi perbincangan publik. Situs yang didirikan oleh Aris Wahyudi ini menyediakan akses bagi lelaki untuk memilih wanita perawan sekaligus menikahinya secara siri.
sangat mengejutkan, motto "mengubah zina menjadi ibadah" mampu menarik ratusan bahkan ribuan orang bergabung di dalamnya. Mereka rela mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah demi bisa menjadi client dan memilah wanita dari "katalog" yang ada di sana.
Alih-alih menjadi biro jodoh, situs nikahsirri.com malah juga berisi konten-konten seksual yang keberadaannya dilarang oleh Undang-Undang. Situs ini juga diblokir oleh Kominfo karena dianggap meresahkan masyarakat dan cenderung melakukan eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak.
Menurut pendirinya, prosedur yang diterapkan bagi member untuk mendapatkan "jodoh" sama seperti situs-situs pencari jodoh lainnya. Tapi jika ditelaah, proses tawar menawar yang bisa dilakukan di dalamnya malah lebih mirip prostitusi terselubung.
Para pengguna yang ingin melelang keperawanannya disebut sebagai mitra. Para mitra ini bisa mengunggah data diri beserta foto-foto pribadi mereka. Kemudian para client --sebutan untuk pengguna yang mencari pasangan--, bisa menyeleksi dengan bebas dan melakukan tawar menawar harga sampai muncul kata sepakat.
Lantas apa untungnya terlibat dalam pelelangan perawan lewat situs ini sampai sampai jumlah penggunanya mencapai angka ribuan? Kompasianer Zainal berpendapat bahwa sesungguhnya Nikahsirri.com hanya menghadirkan kerugian bagi kita. Menurut Zainal, nikah siri secara bahasa berarti sembunyi atau rahasia. Sebab jenis perkawinan ini pada umumnya dilaksanakan dengan hanya dihadiri kalangan terbatas. Secara sembunyi dan diam-diam tanpa adanya pegawai pencatat nikah atau KUA.
Inilah yang juga menjadi catatan penting. Kontroversi sah dan tidaknya perkawinan seperti ini seakan mempertegas adanya ambiguitas hukum di tengah masyarakat muslim Indonesia, antara hukum formal dan hukum agama.
Jika dilihat perspektif fikih, pernikahan ini memang sah dilaksanakan jika telah terpenuhi syarat dan rukunnya tanpa harus mencatatkan perkawinan di KUA. Tapi secara hukum formal, belum sah pernikahan sepasang sejoli tanpa diakui oleh hukum perdata yang tentu saja berimplikasi pada konsekuensi administrasi suatu pernikahan.
Jika ditelaah lebih jauh pernikahan bukanlah masalah sederhana yang mengikat antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan sejatinya adalah suatu kontrak atau akad. Hal ini tentu menimbulkan berbagai dampak hukum lainnya. Untuk menjaga akibat dampak hukum yang timbul tentu harus dilakukan dan dicatat secara resmi.
Nikah siri memang tengah menjadi fenomena di tengah masyarakat apalagi untuk mereka yang meyakini bahwa memiliki istri lebih dari satu merupakan anjuran agama yang diperbolehkan. Memang tidak ada larangan tertulis baik dari agama maupun hukum negara tentang jumlah istri yang boleh dipersunting oleh lelaki. Namun sepertinya konteks laki-laki beristri lebih dari satu ini harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Bagi Kompasianer Syahirul Alim menikah dalam konteks ajaran Islam lebih cenderung dimaknai "zauj" (menyatukan kedua pasangan yang berbeda jenis), karena jelas bahwa dalam seluruh dimensi kehidupan, hampir seluruh hal yang tampak adalah "berpasangan". Dengan demikian, pemaknaan "zauj" lebih dimaksudkan untuk selalu menjaga keseimbangan alam, karena segala sesuatu di alam raya ini, hakikatnya berpasang-pasangan.
Makna filosofi dari nikah atau "zauj" tidak sesederhana yang dibayangkan oleh pemilik situs nikahsirridotcom yang dengan tagline-nya menyebut, "mengubah zinah menjadi ibadah", ini bahkan lebih menyesatkan dari sekadar pemaknaan nikah sirri tersebut. Nikah seolah-olah hanya persoalan pelampiasan seks yang tak terkendalikan, sehingga ada semacam ajakan lebih baik nikah sembunyi-sembunyi daripada zina terang-terangan.
Namun ada satu hal yang menarik. Jika kita melihat dari perspektif teknologi informasi dan digital marketing, apa yang dilakukan situs nikahsirri.com ini adalah hal biasa. Ini bisa dibilang sebagai sebuah layanan jasa perantara dalam sebuah ekonomi modern. Tapi sayangnya menurut Kompasianer Wawan Kuswandoro cara pandang modernis seperti ini seringkali bertabrakan dengan nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat. Di sinilah pengetahuan tentang ilmu sosial seharusnya mendapat porsi besar, sehingga inovasi seperti ini tidak "mendahului zamannya" dan menjadi blunder bagi sang inovator.
Wawan menambahkan bahwa pemilik situs nikahsirri.com sebagai pencetus konsep "digital marketing berkonten aktivitas kultural keagamaan" atau "aktivitas kultural keagamaan yang disajikan secara digital marketing", rupanya menganut pemikiran yang mendasarkan aktivitas sosial (termasuk pernikahan) sebagai aktivitas berlatar ekonomi, sebuah pandangan yang berbau Marxis dan terasa agak "kasar" walau tak sepenuhnya keliru.
Pengorganisasian aktivitas sosial kultural bernilai keagamaan semacam yang dilakukan situs nikahsirri.com ini memang sensitif dan rentan karena akan mudah dituding sebagai praktik human trafficking atau women trafficking bahkan hingga dicap sebagai praktik prostitusi terselubung. Tapi semua itu kembali pada persepsi masing-masing individu yang melihatnya dari sudut pandang mana. Apakah dari ekonomi, atau dari norma kesusilaan. Karena kedua entitas ini tidak bisa saling ditabrakkan, dua entitas ini harus berjalan seiringan yakni menjalankan ekonomi yang berdampingan dengan norma kesusilaan.
(yud)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H