Adakah puisi itu merupakan doa terbaik yang bisa dibuat manusia? Kira-kira penggambaran semacan itu yang dihadirkan Joko Pinurbo lewat buku kumpulan puisinya: Haduh, Aku Di-follow. Puisi-puisi di twitter (baca: puitwit) itu dibuat dan dikumpulkan dalam periode tahun 2012 lewat akun twitter miliknya.
Puisi-puisi Joko Pinurbo memang terlihat seperti bercandaan biasa yang sering kita jumpai di sosial media. Namun, membaca Haduh, Aku Di-follow selaiknya membaca buku kumpulan doa-doa pendek. Buku yang sering kita baca di pengajian-pengajian atau di langgar sewaktu kecil. Setiap puisi yang tidak lebih dari 140 karakter itu menjadi mudah kita ucap dan hapalkan (kalau perlu). Temanya pun beragam: kopi, senja, celana, batu, sungai dan lain-lain. Tapi, Joko Pinurbo mampu mengemasnya menjadi topik yang dekat dan lekat pada diri kita. Sebagai contoh:
Aku bukan editor yang baik,
Tuhanku. Tiap malam kuralat mimpiku dan tetap saja keliru. (20.12 - 21 jun 12)
Amin itu
Keturunan iman. (20.52 - 26 jul 12)
Malam Paskah.
Bulan adalah hosti yang
Akan dipecah-pecah dan
Dibagikan kepada
Ribuan malam (9.40 -- 7 Apr 12)
Doa keliru seorang ateis:
Tuhan, percayakah engkau bahwa aku seorang ateis? (23.44 -- 28 Jan 12)
Sebagaimana doa, puisi pada akhirnya menjadi penghayatan iman yang sebenarnya bisa diperkaya.
Pada sebuah wawancara, Joko Pinurbo mengatakan, bahwa puisi-puisi yang dibuatnya semacam refleksi kritis mengenai iman. Mungkinkah kita mengubah merevisi cara beriman kita (lewat puisi) supaya lebih baik, lebih kaya?
Sebab doa, biar bagaimanapun, merupakan satu dari sekian banyak cara untuk berinteraksi dengan Tuhan. Dan puisi, barangkali, bisa menjadi salurannya.
***
Ada kisah menarik dari Abdul Muthalib, kakek dari Nabi Muhammad saat Perang Gajah. Ketika itu ia menggunakan syair sebagai cara untuk meminta pertolongan Allah, sebelum akhirnya memenangkan perang itu sendiri. Begini petikan kisahnya:
Abrahah bersama pasukan gajah lainnya berhasil mengambil seluruh unta milik pasukan Quraisy di Mekkah. Kemudian, Abdul Munthalib menghadap Abrahah untuk berbicara baik-baik guna mengambil unta miliknya. Abrahah tahu, Abdul Muthalib adalah tokoh terkemuka Quraishy dari Bani Hasyim. Singkat cerita, setelah sebentar berbincang denga Abdul Muthalib, akhirnya Abrahah mengembalikan unta miliknya. Hanya miliknya sahaja.
Sekembalinya Abdul Muthalib dan unta-untanya dari tempat Abrahah, ia memerintahkan pasukannya pergi meninggalkan Mekkah dan mencari pegunungan atau perbukitan untuk sembunyi dan menyelamatkan diri. Abdul Muthalib tahu, bahwa tidak mungkin pasukannya bisa mengalahkan pasukan Abrahah yang jumlahnya sangat banyak. Jika pun terpaksa bisa jadi sia-sia.
Setelah yang lain pergi, Abdul Muthalib bersama beberapa orang Quraishy malah menuju Ka'bah untuk berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya. Sambil memegang pintu Ka'bah, Abdul Muthalib bersyair:
Ya Allah, seorang hamba saja membela untanya maka belalah rumah-Mu
Mereka tak akan berjaya, tipu daya mereka pasti sirna oleh tipu daya-Mu
Berkaitan dengan urusan mereka dan kiblat kami, kami berserah pada-Mu.
Dan seperti yang kita tahu: gajah-gajah besar Abrahah tiba-tiba menolak untuk diarahkan ke Mekkah. Gajah-gajah tersebut jadi bergerak liar. Ketika mereka tengah sibuk mengatur gajah-gajah, Allah mengirimkan burung-burung ababil dari arah laut, menyerang pasukan gajah Abrahah.*
Dari syair dan dalam keadaan seperti itu, kita akan paham: doa menjadi sarana untuk memperoleh jalan keluar atas kehendak-Nya.
***
Pringadi Abdi membuka puisi Muhammad dengan larik penuh ketegasan dan (mencoba ingin) tidak lagi dibantahkan: Kau adalah peristiwa direncanakan. Dari puisi itu, Pringadi Abdi mencoba menceritakan bahwa Muhammad adalah utusan, sekaligus Pemimpin Akhir Zaman, yang jauh-jauh hari telah disiapkan-Nya. Oleh karenanya, larik kedua disambungnya dengan sejak awal semesta.
Andai cinta berbentuk, barangkali, ia menjelma susunan kata yang dilantunkan dengan penuh keikhlasan. Dua larik terakhir, Pringadi Abdi mengungkapkannya kecintaanya – ketulusan yang tak bisa ditawar – dengan manis sekali: meski bukan yang pertama mengenal air mata / tapi Kaulah tempat terakhir kuteteskan cinta.
Dari puisi itu jelas bahwa, disamping mendoakan, ternyata mencintai apa yang dicintai-Nya sama baiknya dengan memohon rahmat dan kemuliaan. Itulah yang kita cari dan harapkan, bukan?
***
Yang menarik dari puisi Sang Pecinta Malam yang ditulis Mim Yudiarto adalah penggunaan kata “mu” yang dimaksudkan: namamu dan dengkurmu. Adakah itu ditujukan kepada YME atau sebatas, tanpa sedikitpun merendahkan, karib sahaja? Sebab, jika memang itu ditujukan kepada Tuhan, mengapa itu ditulis dengan huruf kecil? Adakah ini hanya kekeliruan redaksional semata?
Menuju sesuatu yang terperosok di antara batu batu
Yaitu namamu yang ditulis dengan lafal-lafal rindu
Tapi, dari citraan yang coba Mim Yudiarto gambarkan: suasana malam yang sunyi dan keheningan, kita dibawanya ke suatu tempat berbatu yang jauh, yang barangkali belum pernah kita datangi.
Saat terbangun sepi sudah pergi
Diusir oleh suara dengkurmu yang selalu melewati sepertiga malam baru datang
Entah perenungan seperti apa yang ingin dihadirkan Mim Yudiarto. Namun, jelas ini yang kita tahu: sepertiga malam adalah waktu “yang istimewa”. Pada waktu itulah yang dianjurkan untuk benar-benar memohon dan berdoa. Perjalanan iman inilah yang mungkin Mim Yudiarto jelaskan.
Senyap sedang merambat di udara yang mampat
Ini rindu berpetualang menekuni jalannya yang berliku
***
kutemani cemasku / pelesiran ke tanah kelahiran / mengintip haru lebaran. Tiga larik itu ditulis Daeng Khrisna pada puisinya yang berjudul Lebaran. Kerinduan akan kampung halaman memang kental dari apa yang dibangun: cemas, pelesiran, tanah kelahiran dan haru. Keempat kata itu tersusun dengan ketenganan yang ingin diteriakan dengan lantang dan kencang.
Pulang kampung, khususnya untuk masyarakat kita, adalah semacam ritus yang secara tersirat kita lakukan setiap akhir bulan Ramadan. Harapannya tentu satu: memohon maaf kepada (dan atas) apa yang telah kita lakukan masa lalu dan (mungkin) masa yang akan datang.
kutemani sunyi
liburan ke dadaku
dosa-dosa meringkuk di sana
dikepung kemustahilan
lebaran dan harapan
tak tahu cara memaafkan
sunyi geleng-geleng kepala
menyalami teman baruku:
si putus asa.
Tidak ada keinginan yang sempurna. Mau itu, dapat ini. Kadang kegagalan dalam mendapatkannya adalah putus asa yang belum diberi semangat. Namun, dari bagian akhir puisi Daeng Khrisna ini, semua yang bergerak cepat (baca: waktu) akan selalu ada teman yang menemani dan selalu ada tempat sendiri: sunyi yang berlibur di dada, lebaran dan harapan tak tahu cara memaafkan.
***
Jadi, sudahkah kamu menuliskan puisi untuk mendoakan segala kebaikan mantan bersama pasangan barunya dan (kelak) mereka akan bahagia? (HAY)
*) Kisah tentang Abdul Muthalib diambil dari buku "Atlas Jejak Agung Muhammad SAW." yang ditulis Dr. Syauqi Abu Khalil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H