Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama FEATURED

(Karena) Puisi Itu Doa dan (Mungkin) Doa adalah Puisi

16 Juli 2017   08:05 Diperbarui: 21 Maret 2018   11:33 3221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang menarik dari puisi Sang Pecinta Malam yang ditulis Mim Yudiarto adalah penggunaan kata “mu” yang dimaksudkan: namamu dan dengkurmu. Adakah itu ditujukan kepada YME atau sebatas, tanpa sedikitpun merendahkan, karib sahaja? Sebab, jika memang itu ditujukan kepada Tuhan, mengapa itu ditulis dengan huruf kecil? Adakah ini hanya kekeliruan redaksional semata? 

Menuju sesuatu yang terperosok di antara batu batu
Yaitu namamu yang ditulis dengan lafal-lafal rindu

Tapi, dari citraan yang coba Mim Yudiarto gambarkan: suasana malam yang sunyi dan keheningan, kita dibawanya ke suatu tempat berbatu yang jauh, yang barangkali belum pernah kita datangi.

Saat terbangun sepi sudah pergi
Diusir oleh suara dengkurmu yang selalu melewati sepertiga malam baru datang

Entah perenungan seperti apa yang ingin dihadirkan Mim Yudiarto. Namun, jelas ini yang kita tahu: sepertiga malam adalah waktu “yang istimewa”. Pada waktu itulah yang dianjurkan untuk benar-benar memohon dan berdoa. Perjalanan iman inilah yang mungkin Mim Yudiarto jelaskan.

Senyap sedang merambat di udara yang mampat
Ini rindu berpetualang menekuni jalannya yang berliku

*** 

kutemani cemasku / pelesiran ke tanah kelahiran / mengintip haru lebaran. Tiga larik itu ditulis Daeng Khrisna pada puisinya yang berjudul Lebaran. Kerinduan akan kampung halaman memang kental dari apa yang dibangun: cemas, pelesiran, tanah kelahiran dan haru. Keempat kata itu tersusun dengan ketenganan yang ingin diteriakan dengan lantang dan kencang.

Pulang kampung, khususnya untuk masyarakat kita, adalah semacam ritus yang secara tersirat kita lakukan setiap akhir bulan Ramadan. Harapannya tentu satu: memohon maaf kepada (dan atas) apa yang telah kita lakukan masa lalu dan (mungkin) masa yang akan datang.

kutemani sunyi
liburan ke dadaku
dosa-dosa meringkuk di sana
dikepung kemustahilan
lebaran dan harapan
tak tahu cara memaafkan
sunyi geleng-geleng kepala
menyalami teman baruku:
si putus asa.

Tidak ada keinginan yang sempurna. Mau itu, dapat ini. Kadang kegagalan dalam mendapatkannya adalah putus asa yang belum diberi semangat. Namun, dari bagian akhir puisi Daeng Khrisna ini, semua yang bergerak cepat (baca: waktu) akan selalu ada teman yang menemani dan selalu ada tempat sendiri: sunyi yang berlibur di dada, lebaran dan harapan tak tahu cara memaafkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun