Seorang sastrawan, Budi Dharma, dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa karya-karya yang baik dan menukik bisa lahir dari upaya pengarang yang mampu mengendapkan dan merenungkan realitas lingkungan di sekitarnya*. Konteksnya pada saat itu memang tengah membahas kehadiran sastra digital. Barangkali satu waktu bisa kita debatkan: membandingkan karya sastra cetak dan sastra digital. Karena bagi sebagian orang ini terasa usang, mungkin, karena dari sana (baca: sastra digital) telah melahirkan banyak pengarang-pengarang bagus. Baik itu secara kualitas dan kuantitas.
Namun, yang dimaksud Budi Dharma dalam wawancaranya, "pada hakikatnya semua bisa dianggap sastra, hanya mana yang bisa dimasukkan kanon (mahakarya) mana yang tidak. Sastra digital kebanyakan tanpa renungan,... lebih banyak instan daripada pengendapan pemikiran."
Bisa saja Budi Dharma benar, bisa juga tidak. Benar jika melihat betapa banyak (kuantitas) karya-karya lahir. Dalam satu hari seseorang bisa menulis dua-tiga karangan. Bisa juga tidak, barangkali, karena sedikit banyaknya tidak ada yang memerhatikan secara serius para pengarang di sastra digital dengan karya-karya baik (kualitas).
Sastra digital bisa tumbuh dan berkembang seperti sekarang karena wadah (tempat menuliskannya) tersedia banyak. Sosial media seperti Facebook, misal, dengan fitur Notes (dan, entah mengapa ketika sudah diberikan fitur seperti Notes orang-orang malah lebih suka menuliskannya di kolom status?). Â Kompasiana dengan Fiksiana-nya juga. Ada banyak pengarang dan karangan yang hadir di sana setiap harinya. Banyak, walau kadang kualitas dan kuantitas perbandingannya jarang berbanding lurus.
Tapi, bukankah tidak ada karya yang langsung lahir secara baik? Kunci dari berkarya, ucap Pandji Pragiwaksono, adalah berproses. "Mulai dulu aja, lalu bikin yang lebih baik," katanya dalam sebuah pertunjukan spesial Juru Bicara.
Seperti yang tadi sempat kami sampaikan, jika Fiksiana adalah tempat pengarang dan karangan lahir dengan jumlah yang tidaklah sedikit. Mungkin setiap pengarang tidak melulu bisa menghasilkan karya yang baik, namun paling tidak kita tahu sudah sampai batas mana kualitas karya mereka. Untuk itulah kami ingin mengenalkan (untuk yang belum kenal, tentu) para Fiksianer yang-paling-tidak bisa merepresntasikan bahwa karya-karya mereka mesti kalian waspadai. Sebab berbahaya. Amat sayang bila dilewatkan begitu saja. Selebihnya, kami serahkan pada sidang pembaca sekalian.
Andi Wi
Akhir tahun lalu baru saja Andi Wi membuat buku kumpulan prosa yang telah dipilih dan pilah hasil dari kumpulan tulisannya di Fiksiana: Ritual Lima Menit. Sebagai Prosasis yang karyanya tampak getir sekaligus manis ini, Andi Wi mahir membuat realitas dan fiksi hanya setipis benang. Kadang kita tertawa-tawa sendiri tiap membaca karya. Padahal, bisa jadi, kita tengah menertawai diri sendiri.
Bandyoko
Terbilang baru, sebab baru bergabung 10 Januari 2016. Tapi, barangkali, ia telah lama menggeluti dunia kepenyairan. Puisi-puisi Bandyoko adalah cerminan realitas, yang kalau kita baca, seperti dekat dan lekat. Diksi yang digunakan Bandyoko dalam puisinya juga terbilang ketat. Tidak ada kata yang digunakan secara sia-sia.
Akan sangat menarik bila satu waktu puisi-puisi itu dikumpulkan, dibukukan. Bila dibayangkan, ketika membacanya kita tengah berada di dunia yang selama ini kita tidak sadari: bahwa semua itu memang terjadi. Semoga terealisasi.
Sanad
Tugas seorang penulis adalah meyakini apapun yang ia tulis. Itu adalah tulisan John Steinbeck, tujuh tahun setelah ia menerima nobel sastra pada 2 Juni 1969. Bagaimanapun caranya, memang itulah tugas pengarang. Sulit, memang, tapi tidak ada yang mudah untuk keseriusan. Dan, apa yang Sanad upayakan pada karangan-karangannya tidak sekadar bisa kita apresiasi, melainkan juga memang itu hasil keseriusan yang menakjubkan.
Sanad selalu bisa membawa pembacanya dari awal cerita hingga akhir untuk meyakini apa yang ditulisnya. Ketenangannya dalam mengambarkan kejadian atau adegan, dialog-dialog yang menguatkan karakter tiap tokoh dan, tentu saja cerita yang menarik.
Mim Yudiarto
Produktif, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan aktivitas Mim Yudiarto di Fiksiana. Pernah seorang bijak berkata, "produktif adalah satu dari banyak cara untuk menemukan 'bentuk' karya kita". Dan itulah yang dilakukan Mim Yudiarto. Apa yang dilakukannya perlu dicontoh oleh banyak orang sekiranya ingin mendalami sesuatu. Cobalah mulai sekarang. Tiru semangatnya.
Wahyu Sapta
Sastra populer mulai mendapat "pasar" sendiri yang tidak sedikit. Berkembangnya sastra populer tentu sejalan dengan apa update sekarang ini. Punya latar cerita yang segar. Wahyu Sapta sepertnya tahu betul itu. Karya-karyanya seputar percintaan dan persahabatan menggambarkan apa yang tengah dialami oleh anak muda kini. Namun, yang membuat menarik adalah keresahannya.
Ini penting. Menangkap dan menuliskan keresahan yang umum dialami banyak orang tidak mudah. Memahami telebih dulu realitasnya dan membuatnya menjadi segar.
Pringadi Abdi Surya
Puisi-puisi Pringadi memiliki pesan artistik. Memadukan kekayaan rasa dan berpikir yang unik. Puisinya bercerita, seperti dongeng. Menyenangkan membaca puisi-puisi semacam itu. Karena pesan yang ingin disampaikan akan samar-samar dan menimbulkan multi-interpretasi. Puisinya menjadi hidup dan layak diperbincangkan di ruang-ruang diskusi.
***
Tentu masih banyak lagi Fiksianer lainnya yang karya-karyanya patut dibaca dan diperhitungkan. Misalnya, Livia Halim dengan gaya surealisme; Fitri Manalu dengan kultur pop; Ikwanul Halim dengan dongeng-dongeng singkat; Pelangi dengan puisi rindu yang tidak mendayu-dayu. Juga tentu, karya karangan dari semua Fiksianer. Sebab Fiksiana itu tempat untuk semua orang berekpresi.
Jika boleh meminjam istilah Budi Dharma, menulis itu seperti puncak gunung es, ia bisa dikerjakan cepat, tetapi telah melalui perenungan dan pengendapan yang panjang. Nanti pembaca bisa rasakan lewat teks, apakah itu pengendapan atau perenungan yang baik. Itu berarti pembaca yang baik. (HAY)
*) Wawancara Putu Fajar Arcana dengan Budi Dharma dimuat di Harian Kompas edisi 12 April 2015, dengan judul "Menu Sastra Serba Instan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H