Dengan bahasa dan kisah yang tampaknya sederhana namun pesannya tak tersurat, cerpen “Luana, Apa Cita-citamu?” menggedor pembacanya dengan pertanyaan eksistensialis. Fiksianer, masihkah Anda punya cita-cita?
Dengan huruf-huruf itulah kemudian si aku “menghidupkan” peradaban. Orang-orang jadi berbicara menanggapinya—ada yang memuji, ada yang mencaci. Huruf-huruf tak lagi berisik karena mereka merasa dihidupkan.
Meskipun pendek, cerpen ini terbaca utuh sebagai sebuah cerpen. Paduan narasi dan dialog yang cerdas menggiring pembaca untuk terus membacanya sampai akhir walaupun kalimat terakhir cerpen ini sebaiknya tak perlu ada untuk menghindari adanya “pesan tersurat” yang sebenarnya bisa dibaca pembaca. Terlepas dari hal itu, yang lebih penting, pembaca jadi membayangkan huruf-huruf yang bisa berbicara. Anda sebagai bloger, adakah huruf-huruf mengusik Anda ketika Anda lama tak menulis?
*
Surealisme bisa jadi hanya bentuk. Sebagian pembaca fiksi mementingkan isi, bukan bentuk. Namun, bukankah cakrawala kita jadi bertambah luas ketika mengetahui ada hal-hal lain selain yang tergambar dalam pikiran kita? Dan imajinasi, siapa yang tidak mengingat kata-kata Einstein—imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan? Fiksianer, selamat berimajinasi. (NH)