"Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup!
(Menjadi perempuan harus mempunyaibanyak kecakapan agar mampu hidup!)”
Dewi Sartika
Tak salah jika banyak lagu-lagu di Indonesia yang mengangkat soal perempuan khususnya perjuangan serta kecintaan Ibu kepada anaknya. Sejak dulu, perempuan sering mendapatkan diskriminasi gender sehingga dianggap inferior dibanding laki-laki. Berkat perkembangan peradaban, gerakan untuk menyamakan posisi pria dan wanita terus terjadi, gaungnya adalah tanggal 8 Maret tahun 1900 karena pada saat itu ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional.
kaum hawa di Indonesia khususnya Jawa juga merasakan ketimpangan gender. Mereka kerap dikaitkan dengan rumah, kamar, dan dapur sehingga menegaskan posisi mereka terbatas pada masalah rumah tangga tanpa mendapat kesempatan untuk bekerja, belajar, berpolitik, dan lain sebagainya. Banyak juga wanita Indonesia di zaman penjajahan disulap untuk melayani nafsu para serdadu yang tidak bisa tersalurkan kepada wanita Eropa akibat ketimpangan jumlah perempuan dan laki-laki eropa di Hindia Belanda.
Tak jarang mereka dipekerjakan sebagai Nyai, sebutan untuk pengasuh anak orang-orang Eropa sekaligus melayani hasrat biologis majikannya. Terkadang para Nyai adalah anak-anak di dalam rumah orang-orang Eropa. Ada juga kaum hawa yang dijadikan gundik atau pekerja seks bagi serdaru Belanda.
Situasi buruk tersebut menempa seorang Pahlawan Indonesia bernama R.A Kartini yang terus menyuarakan kesamaan gender antara wanita dan laki-laki Jawa – karena saat itu belum dikenal nama Indonesia--, Kartini menjadi satu sosok pejuang perempuan Indonesia yang terus dielu-elukan hingga kini. Pada abad ke 19, Ia sering menulis mengenai keadaannya di Indonesia beserta perempuan pada masa itu.
Gagasan Kartini tentang kesetaraan gender sebagai salah satu perwujudan peningkatan kualitas hidup terus dilanjutkan oleh beberapa pahlawan wanita asal Kota Bandung, Dewi Sartika sebagai salah satu pionir pendidikan untuk kaum hawa dengan mendirikan sekolah istri. Pembangunan sekolah tersebut tak lepas dari kebijakan politik etis yang dilakukan oleh Belanda yang membangun tempat belajar agar rakyat Indonesia menjadi manusia yang pintar dan nantinya dengan suka rela masuk ke dalam Kerajaan Belanda.
Perkembangan pola pikir pada kalangan wanita pribumi mulai menuai hasil, mereka berani membuat organisasi-organisasi perempuan dan membuat Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di Yogyakarta tahun 1935. Kedua kongres ini membahas masalah rumah tangga serta masalah-masalah sosial yang bersinggungan dengan kaum hawa demi tercapainya kemajuan dan keadaban bangsa. Lalu dilanjutkan pada 22 Desember 1938 yang ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional.
Kini perjuangan wanita zaman dulu mulai menuangkan hasil. Para perempuan mulai merambah ke pucuk-pucuk sebuah organisasi maupun institusi. Tengok saja Megawati Soekarnoputri, ia berhasil menduduki posisi sebagai Presiden Indonesia pada periode 2001-2004.
Selanjutnya, Anda yang bekerja di sebuah institusi akan menemukan beberapa atasan yang terkadang berasal dari kaum perempuan. Guna menghormati posisinya yang lebih tinggi, Anda pasti akan memanggilnya Ibu, padahal wanita tersebut belum tentu sudah menikah dan memiliki anak. Begitupun dengan Guru wanita, walaupun ia masih muda dan belum memiliki anak, pasti orangtua murid akan menyapanya dengan sebutan “Ibu”. Sehingga makna Ibu bukan lagi seorang wanita yang memiliki anak lagi.
Namun masalah gender belum juga usai, faktanya ada beberapa kasus yang membelenggu wanita untuk berkarya di Indonesia. Wacana tes keperawanan untuk sebagai syarat kelulusan siswa menjadi salah satu contohnya. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, banyak yang menentang wacana tersebut dengan alasan tidak ada korelasi antara keperawanan dan kecerdasan siswa.
Lebih jauh lagi, kita masih diingatkan dengan kasus pernikahan anak di usia dini seperti yang dilakukan oleh Syekh Puji dengan Lutfiana yang kala itu masih berusia 12 tahun. Wanita tersebut harus merelakan waktu bermainnya untuk membagi waktunya dengan pria yang bernama lengkap Puji Widianto. Kasus mantan bupati Garut, Aceng HM Fikri menjadi contoh kasus laiinya. Pria ini menikahi Fany Octora (18) namun setelah umur pernikahan mereka menginjak usia empat hari, Aceng langsung menceraikan Fany.
Lalu negara khususnya pada saat orde baru senang dengan tindakan mengkonstruksi ideologi. Ideologi jender yang waktu itu mengidentifikasikan wanita yang bekerja dibalik layar yang berasal dari kepentingan negara dan mempertahankan kekuasaan dan kontrolnya atas masyarakat. Peran tersebut dilakukan melalui lembaga-lembaga kewanitaan saat itu.
Konsep tentang ibuisme adalah salah satu contoh kedudukan wanita saat itu. Menurut Madelon Djajadiningrat (1987), konsep ibuisme adalah konsep yang mencakup unsur-unsur ekonomis, politis dan kultural. Menurut Maria Mies (1986) perempuan diberi definisi sosial sebagai ibu rumah tangga yang tergantung sama suami untuk penghidupan mereka, terlepas dari apakah mereka de facto ibu rumah tangga atau bukan.
Kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang menunjukan bahwa perjuangan perempuan untuk benar-benar merdeka dari rasa takut akan perbedaan gender masih terus berlanjut. Hingga perjuangan Kartini benar-benar terealisasi sebagaimana keinginannya.
(LUK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H