Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Patrialis Akbar Ditangkap, Haruskah Ketua MK Mundur karena Lalai?

8 Februari 2017   16:08 Diperbarui: 8 Februari 2017   23:12 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali pada hasil jajak pendapat yang disajikan, Kompasianer lain yang setuju jika Ketua MK wajib mundur adalah Adjat R. Sudradjat. Menurutnya ini berhubungan dengan tanggung jawab moral apalagi posisi Ketua MK sebagai seorang pimpinan lembaga yang menjunjung tinggi keadilan.

"Hakim memang bukan TNI yang punya jargon 'tidak pernah ada prajurit yang salah,' namun sebagai pimpinan lembaga yang menjunjung tinggi keadilan, dan tegaknya supremasi hukum, tentu saja dalam kasus seperti ini, tanggung jawab moral ketua yang membawahi anggotanya, patut ditunjukkan kepada masyarakat," tulis Adjat.

Kendati demikian, Kompasianer yang menyatakan berseberangan jumlahnya lebih banyak. Setidaknya ada 6 Kompasianer yang mengutarakan demikian, salah satunya adalah Inda Duzich Pitkanen. Ia menilai jika Ketua MK tidak terlibat atas kasus ini mengapa harus dipaksa mundur? Apalagi budaya mundur dalam politik dan jabatan di Indonesia bukanlah hal lazim seperti di Jepang.

"Jadi, kalau budaya mundur karena malu dan lalai dalam melakukan fungsi pengawasan, semestinya sudah ratusan bahkan ribuan pejabat yang harus mundur selama Indonesia menjadi negara merdeka. Kalau mau dibudayakan budaya mundur karena kelalaian kerja dan pengawasan, musti jelas mau dimulai kapan? Melingkupi institusi apa saja? Kriterianya apa? Prosedurnya gimana? Dan jangan tebang pilih sesuka2 perut pemegang kuasa dan yang berkepentingan scr politik saja," tulisnya.

Ia menambahkan bahwa poin yang paling penting adalah bagaimana sebuah sistem kontrol masyarakat diatur sedemikian rupa untuk menjamin praktik budaya mundur secara formal tidak menjadi sebuah alat politik.

Memang, budaya kerja di Indonesia ini sangat berbeda dengan Jepang. Jepang sangat mengagungkan "rasa malu" dan tanggung jawab mereka terhadap pekerjaan. Ketika mereka lalai atau gagal menjalankan tanggung jawab, maka tidak heran jika mereka menyatakan mundur dari jabatan. Sebut saja mantan Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari yang pada awal tahun 2016 lalu mengumumkan pengunduran diri saat dituduh menerima suap.

Selain Inda, Kompasianer lain yang berpendapat bahwa Ketua MK tidak perlu sampai mundur dari jabatannya adalah Ibrahim L. Kadir yang mengatakan bahwa posisi Patrialis Akbar di sini adalah sebagai oknum Mahkamah Konstitusi yang melakukan pelanggaran. Lalu untuk apa Ketua MK mundur jika ia tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini.

"PA kena OTT bila terbukti benar dan sah maka dia adalah Oknum. Sementara pejabat yang sedang menjabat tidak berubah statusnya menjadi Oknum, karena memang tidak ada apa-apa. Lalu buat apa mundur? Mundur itu harus sesuai konstitusi, dengan alasan yang tepat. Lagian, Ketua MK kan tidak bersalah bahkan tidak merasa salah, buat apa mundur?" tulis Ibrahim.

Memang, hampir setahun berlalu, isu soal dugaan korupsi yang dilakukan Patrialis Akbar ini dilupakan publik, atau bahkan ada yang tak menaruh perhatian sama sekali terhadap persoalan ini, sebelum Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap.

Patrialis diduga menerima suap dari pengusaha Basuki Hariman terkait uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitus. Melalui pemeriksaan Majelis Kehormatan MK, Patrialis mengaku membocorkan draf putusan uji materi melalui Kamaludin, terduga perantara suap yang diduga orang dekatnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan, draf putusan yang berpindah tangan itu sama dengan draf putusan asli MK yang belum dibacakan. Padahal draf putusan perkara adalah rahasia negara.

(YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun