Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Patrialis Akbar Ditangkap, Haruskah Ketua MK Mundur karena Lalai?

8 Februari 2017   16:08 Diperbarui: 8 Februari 2017   23:12 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar ditahan usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 25 Januari lalu dan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar adalah sasarannya.

Patrialis diduga menerima suap terkait pengujian Undang-Undang 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di mahkamah Konstitusi yang berakar pada kebijakan impor daging.

Buntut kasus ini Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat didesak untuk mundur dari jabatan karena dianggap lalai dan gagal menjalankan fungsi pengawasan internal MK terlebih lagi hakim MK.

Hal ini diutarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengutarakan setidaknya ada tiga alasan mengapa Arief harus mundur dari jabatan Ketua MK. Pertama seperti yang disebutkan sebelumnya karena telah lalai menjalankan fungsi pengawasan.

Kedua, Arief dianggap gagal menempatkan MK sebagai penjaga konstitusi dan ketiga Arief gagal dalam menjaga kewibawaan dan kredibilatas MK.

Melihat desakan ini, kami tertarik untuk membuat jajak pendapat dengan melontarkan Pro Kontra melalui opini "Patrialis Ditangkap, Ketua MK Harus Mundur." Dari jajak pendapat ini diketahui sebanyak 3 Kompasianer setuju dengan opini yang diutarakan dan 6 lainnya menyatakan bertentangan.

Mahfud Syaifullah adalah salah satu yang menyatakan setuju jika Ketua MK harus mundur karena terjadinya OTT ini. Menurutnya, kasus OTT KPK terhadap Patrialis Akbar telah sedikit memasuki lubang-lubang kecil untuk mengoreksi, membedah, bahkan mereformasi tatanan para praktisi hukum yang seharusnya sudah tidak menjalankan budaya yang merugikan kepentingan bersama.

Dalam konteks kasus ini, Mahfud memberikan dukungan pada hasil kinerja evaluasi Ketua MK pada anggota atau praktisi hukum di lembaganya. Dengan tertangkapnya Patrialis Akbar tentu ini membuka pintu-pintu atau bahkan menguak isu lainnya yang tenggelam oleh media.

"Sebagai ketua lembaga hukum yang memiliki corong atau pengaruh terbesar dalam proses aktualisasi hukum yang ada di Indonesia, sudah sepantasnya sesuai dengan konsekuensi demoralisasi dari publik terhadap lembaga MK harus me reformasi keseluruhan sistem maupun struktural internal. Karena otoritas kekuasaan merupakan tanggung jawab besar bagi seorang pemimpin menakhodai suatu lembaga," ungkap Mahfud.

Namun ada sebuah cerita menarik saat terjadinya OTT itu. Pada saat ditangkap, tak ada transaksi suap, apalagi bukti uang di tangan Patrialis bahkan ia berani bersumpah atas nama Tuhan.

"Demi Allah saya betul-betul dizalimi. Saya tidak pernah menerima uang satu rupiah pun," ucap Patrialis pada 27 Januari lalu setelah diperiksa KPK.

Kembali pada hasil jajak pendapat yang disajikan, Kompasianer lain yang setuju jika Ketua MK wajib mundur adalah Adjat R. Sudradjat. Menurutnya ini berhubungan dengan tanggung jawab moral apalagi posisi Ketua MK sebagai seorang pimpinan lembaga yang menjunjung tinggi keadilan.

"Hakim memang bukan TNI yang punya jargon 'tidak pernah ada prajurit yang salah,' namun sebagai pimpinan lembaga yang menjunjung tinggi keadilan, dan tegaknya supremasi hukum, tentu saja dalam kasus seperti ini, tanggung jawab moral ketua yang membawahi anggotanya, patut ditunjukkan kepada masyarakat," tulis Adjat.

Kendati demikian, Kompasianer yang menyatakan berseberangan jumlahnya lebih banyak. Setidaknya ada 6 Kompasianer yang mengutarakan demikian, salah satunya adalah Inda Duzich Pitkanen. Ia menilai jika Ketua MK tidak terlibat atas kasus ini mengapa harus dipaksa mundur? Apalagi budaya mundur dalam politik dan jabatan di Indonesia bukanlah hal lazim seperti di Jepang.

"Jadi, kalau budaya mundur karena malu dan lalai dalam melakukan fungsi pengawasan, semestinya sudah ratusan bahkan ribuan pejabat yang harus mundur selama Indonesia menjadi negara merdeka. Kalau mau dibudayakan budaya mundur karena kelalaian kerja dan pengawasan, musti jelas mau dimulai kapan? Melingkupi institusi apa saja? Kriterianya apa? Prosedurnya gimana? Dan jangan tebang pilih sesuka2 perut pemegang kuasa dan yang berkepentingan scr politik saja," tulisnya.

Ia menambahkan bahwa poin yang paling penting adalah bagaimana sebuah sistem kontrol masyarakat diatur sedemikian rupa untuk menjamin praktik budaya mundur secara formal tidak menjadi sebuah alat politik.

Memang, budaya kerja di Indonesia ini sangat berbeda dengan Jepang. Jepang sangat mengagungkan "rasa malu" dan tanggung jawab mereka terhadap pekerjaan. Ketika mereka lalai atau gagal menjalankan tanggung jawab, maka tidak heran jika mereka menyatakan mundur dari jabatan. Sebut saja mantan Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari yang pada awal tahun 2016 lalu mengumumkan pengunduran diri saat dituduh menerima suap.

Selain Inda, Kompasianer lain yang berpendapat bahwa Ketua MK tidak perlu sampai mundur dari jabatannya adalah Ibrahim L. Kadir yang mengatakan bahwa posisi Patrialis Akbar di sini adalah sebagai oknum Mahkamah Konstitusi yang melakukan pelanggaran. Lalu untuk apa Ketua MK mundur jika ia tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini.

"PA kena OTT bila terbukti benar dan sah maka dia adalah Oknum. Sementara pejabat yang sedang menjabat tidak berubah statusnya menjadi Oknum, karena memang tidak ada apa-apa. Lalu buat apa mundur? Mundur itu harus sesuai konstitusi, dengan alasan yang tepat. Lagian, Ketua MK kan tidak bersalah bahkan tidak merasa salah, buat apa mundur?" tulis Ibrahim.

Memang, hampir setahun berlalu, isu soal dugaan korupsi yang dilakukan Patrialis Akbar ini dilupakan publik, atau bahkan ada yang tak menaruh perhatian sama sekali terhadap persoalan ini, sebelum Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap.

Patrialis diduga menerima suap dari pengusaha Basuki Hariman terkait uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitus. Melalui pemeriksaan Majelis Kehormatan MK, Patrialis mengaku membocorkan draf putusan uji materi melalui Kamaludin, terduga perantara suap yang diduga orang dekatnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan, draf putusan yang berpindah tangan itu sama dengan draf putusan asli MK yang belum dibacakan. Padahal draf putusan perkara adalah rahasia negara.

(YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun