Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kurasi Fiksiana: Perihal Kejenuhan dan Semangat yang Ingin Dikalahkan

7 Februari 2017   10:46 Diperbarui: 7 Februari 2017   17:46 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gilbert Garcin @kulturtava

Itu juga dilakukan Desol pada cerpennya “Hilang”; “Curhat Lelaki di Ujung Malam” yang ditulis Tilaria Padika; dan “Percakapan dengan Hologram” yang ditulis Ikhwanul Halim. Adakah benar terjadi kejenuhan pada para penulis untuk melulu mengangkat “romantisme” sebagai tema besar tulisannya? Setidaknya mungkin pertanyaan Radar Panca Dharma diawal bisa menjawabnya: dengan terus menuliskannya.

***

Adakah waktu sebagai musuh abadi laki-laki? Menunggu seakan ditakdirkan sebagai satu-satunya pilihan laki-laki. Bahkan ada sebuah frase: siapa bisa bersahabat dengan waktu, harapanmu bisa jadi milikmu. Ketiga cerpen ini amat baik menawarkan cerita itu: “Uban Om Ardi” yang ditulis Ika Septi; “Lelaki yang Melawan Lelakinya” yang ditulis S. Aji; dan “Warisan Sang Kakek” yang ditulis Nenny L. Sinaga.

Tapi absennya konflik yang tidak tuntas seakan mengganggu jalannya cerita. Seperti pada cerpen “Uban Om Ardi”, tokoh yang diceritakan si Om Ardi itu hanya dikenalkan di awal tanpa proses yang terjadi di batang tubuh isi cerpennya. Kemudian cerpen “Lelaki yang Melawan Lelakinya” diakhiri dengan sedikit pemaksaan, walau bisa dimaklumkan. Semacam ada bagian yang tidak (tuntas) disampaikan. Mungkinkah kita bisa memahami pernyataan seperti ini: “Sebab saya pernah hidup sebagai perempuan.”

Berbeda dengan kedua cerpen sebelumnya, cerpen “Warisan Sang Kakek”. Sosok sang Kakek dihadirkan dengan cara mengingatnya. Dari caranya marah, dari caranya menasehati dan dari caranya bersikap. Ingatan-ingatan itulah yang menjadikan sang Kakek itu ada. Pada akhirnya, waktu jua yang bisa menjawabnya.

Itu juga yang coba ditawarkan Pairunn Adi pada puisinya yang berjudul “Lukisan Semu”. Perlawanan batinnya dengan waktu secara terang-terangan dijelaskan pada beberapa bait puisinya. Dan, sampai pada akhirnya ia tahu kerinduannya perlu diobati. Lamun mengiris rindu / mengutuk pergimu / Yang membakar tubuhku / hingga menjadi abu.

*** 

Akankah kejenuhan seorang penulis bermula dari mereka yang tidak lagi melakukan proses kreatif tatkala mengeksekusi karyanya?

Sebagai pembaca pada umumnya, barangkali melihatnya secara bebas dalam hal waktu maupun intensitas menemukan karya. Sedangkan yang lain, entah pengelola atau mereka yang benar-benar serius akan menimbang apa yang mungkin disajikan antara karya yang satu dengan yang lain. Akankah sebatas makanan yang dibutuhkan sewaktu pagi untuk sarapan?

Namun, setidaknya kami akan terus berterimakasih kepada penulis serta pembaca yang masih setia menikmati seluruh karya yang ada di kanal Fiksiana. Kebersamaan antara penulis dan pembaca, barangkali, yang menjaga nyala api semangat untuk terus berkarya. (HAY)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun