Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kurasi Fiksiana: Perihal Kejenuhan dan Semangat yang Ingin Dikalahkan

7 Februari 2017   10:46 Diperbarui: 7 Februari 2017   17:46 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gilbert Garcin @kulturtava

Akhir puisi itupun menegaskan: Dipandu sabar di diriku / Seperti tanah, angin dan air / Kuharap disemogakan / Amin Amin Amin

Itu juga terdapat pada puisi “Cinta Ikan Akuarium” yang ditulis Sahrul Padarie. Fokus cerita itu adalah kecintaan seekor ikan yang hidup di akuarium kepada bunga yang ada di meja (dekat akuarium itu ada).

Setidaknya dari liku-liku kehidupanku / Wahai kau bunga di pojok meja itu / Kumengerti bahwa mencintaimu / Bagiku jauh / Duniamu begitu luas / Sedangkan aku begitu sempit

Akankah puisi ini dibuat semacam alegori penulis para orang yang dikasihinya? Entah, hanya penulis dan kepada siapa puisinya dituju. Adakah sudut pandang lain pada puisi tersebut?

***

Radar Panca Dharma pernah menulis (sekaligus mempertanyakan) pada pengantar Cerpen Pilihan KOMPAS edisi ke-20: bagaimana bisa bertahan sebuah karrya yang mengedepankan idealism dalam roamantisme yang arkaik dan bebal?

Cerpen-cerpen yang kadung dibuat seromantis “Cekcok” yang ditulis Rai Sukmaning, misalnya. Sejak awal cerpen itu sudah menegaskan: Aku sama sekali tak ingat apa saja yang dibicarakan oleh Ali Topan kemarin malam. Rasanya dia bicara soal kisah cintanya yang kandas atau semacamnya. Tapi itu tak penting lagi buatku. Lagi pula, aku sudah cukup mendengar teorinya soal bagaimana menghadapi perempuan.

Sikapnya sudah jelas kalau untuk apa mendengar lagi kisah sedih jika kita pun setiap kali bisa merasakan sedih? Kesedihan tidak bisa dibanding-bandingkan, bukan?

Atau bisa juga kita lihat pada cerpen “Lelaki Kelabu dan Pohon Diagonal” yang ditulis Granito Ibrahim. Dialog imajiner seorang bernama Mila membawanya pada hal-hal yang mungkin tidak akan terjadi. Angan-angan, mungkin.

Seperti mati, namun ada yang bekerja diam-diam pada tubuhnya, sebuah perjalanan menembus alam mimpi.

Namun, yang jadi menarik adalah cerpen itu seakan mengingatka bahwa ada yang bisa kita lakukan meski itu sebatas imajinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun