Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah, Laku, dan Cinta Seorang Ibu...

19 Desember 2022   08:50 Diperbarui: 19 Desember 2022   09:21 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tentang ibu, serupa samudera raya, tak pernah kehabisan kisah, laku dan cinta yang layak dan pantas kutuliskan untuknya...

Meski berpuluh tahun lamanya telah berlalu, masih seperti kemarin saja aku merasakannya. Ibu dengan sosok sederhana yang sangat setia merawati aura rumah agar selalu bersih, damai dan sejahtera telah menjadi patronku ketika semesta mendukungku dipanggil ibu. 

Ibuku perempuan yang menawarkanku banyak hal untuk mengalami hidup dan kehidupan ini. Jika kami anak-anaknya jatuh tersandung karena tidak cukup hati-hati saat melangkah, nyaris tak pernah marah meledak-ledak. 

Hanya bertanya arif," Sakit,Nak" dan aku meringis .

Katanya lagi,"Lain kali lebih hati-hati, biar ga lagi merasakan sakit." 

Hanya itu. Kalimat sangat sederhana, tapi bagi kami anak-anaknya itu adalah kalimat sakti untuk kami senantiasa berhati-hati dalam segala hal, agar tak pernah merasakan sakit, kecuali sakit itu diciptakan oleh diri sendiri.

Pernah, sekali waktu kakak perempuanku datang dengan tangisan ke pangkuan ibuku. Menagadu atas sakit yang dirasa karena suaminya tak setia pada komitmen berumah tangga mereka. 

Ibuku memeluknya lamaaa.... Lama, tapi tidak ikut menangis walaupun mungkin hatinya luka karena anak perempuannya datang dengan kisah pilu. 

Katanya penuh sayang setelah kakakku kehabisan air mata," Setiap peristiwa ada sebabnya. Kamu boleh menenangkan diri di rumah ini, setelah itu, pulanglah.Bertanyalah pada diri sendiri apa sebab semua yang boleh terjadi atasmu. Temukan jawaban itu, lalu boleh datang lagi ke Ibu, untuk menyampaikannya."

O My God, bagaimana ibu bisa keluarkan kata-kata seperti itu, Sementara kami anak-anak perempuan lainnya, sudah terlebih dulu menghakimi kakak iparku itu, walaupun senyatanya kami tak pernah tahu siapa yang salah dan siapa yang benar di antara mereka.

Dan bapakku? Beliau seorang guru sepertinya sangat memahami maksud ibuku. 

Bapakku hanya menambahkan, " Berumah tangga itu belajar seumur hidup,Nak. Belajar memahami pasangan masing-masing yang setiap detik ,setiap waktu dengan mood yang nyaris ga pernah sama. Pelajari terus hingga maut memisahkan."

Mereka mendidik kami lebih pada refleksi diri jika apa yang terjadi tidak seturut keinginan diri sendiri. 

Pernah aku memergoki ibuku mengusap air matanya sambil menyiapkan sarapan. 

"Ibu kenapa?" kupeluk sayang beliau, karena sampai aku mahasiswa semester satu, aku ga pernah lihat ibu menangis. Baru sepagi itu.

"Ibu lelah sekali. Ingin tidur saja rasanya. Kalau ibu ga bisa lagi masakin buat kalian, kamu yang gantikan ya."

Seperti tersengat lebah, aku merasakan sakit yang dalam dari pesan beliau, sakit sekaligus takut ,jika ibu benar-benar tak bisa lagi masak buat kami anak-anaknya. Akh...

Bertahun-tahun lamanya telah berlalu, tapi semua kenangan atasmu tak pernah usai, tak pernah habis seperti air di samudera raya.

Terima kasih,Ibu...

dedicated for our lovely Mom: Rahayu Noorana Djau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun