"Ga bisa,Bun. Natya ga bisa..." aku menghamburkan tangisanku di bahu perempuan pemilik keteduhan hatiku. Tiga tahun bukan waktu pendek untuk menyembuhkan luka batin yang berdarah-darah.
Bunda melepaskan pelukanku, mempersilakan Rayya masuk dan meninggalkan  kami berdua di ruang tamu.Â
Sunyi. Tak ada yang memulai, dan aku tak ingin pula memulai. Harusnya, kuusir dia, kumaki-maki atau apalah yang sejenis dengan luapan amarah dan kecewa, tapi aku memilih diam. Aku terlalu lelah dengan semua tentangnya. Mungkin hari ini adalah hari terbaik buatku, walaupun aku sudah tak menginginkan demi dan atas nama apapun dalam hidupku.
"Tampar aku, Tya, Maki-maki aku, Tya, atau apapun yang ingin kau perbuat untuk silih segala dosaku," dia berlutut di depanku.Â
Jiwaku bergetar. Sungguh, lelaki di hadapanku ini pernah sangat kupuja, sangat kusayang dan sangat kuhargai. Sejak kuliah hingga wisuda, kami selalu mengukir kenangan manis. Segala janji tentang kebaikan masa depan hidup sudah kami sematkan di hati, pikiran dan perasaan. Bahkan, kami saling suport untuk mendapatkan pekerjaan selepas wisuda. Dia memperoleh pekerjaan yang cukup bagus sebagai akunting di perusahaan ternama, namun sayang kami harus terpisah jarak. Dia bekerja di ibu kota propinsi, sementara aku diterima sebagai jurnalis di sebuah stasiun televisi, tetap di kotaku ini. Tetapi, manusia hanya bisa berencana, selebihnya urusan Dia, sang pemilik kehidupan.Â
Segala rencana indah tentang kehidupan berumah tangga harus berhenti pada tanda titik, lantaran Rayya memutuskan jalinan hati secara sepihak, dengan alasan tidak sanggup LDR. Padahal, belum setahun dia bekerja di perusahaan tersebut. Tapi aku mencium aroma ketidaksetiaan. Dan benar, seorang sahabat mengabarkan bahwa Rayya telah menduakan aku. Hatiku patah. Tak pernah kusangka, begitu gampang dia berpindah ke lain hati. Seperti sia-sia semua perjalanan empat tahun di kampus bersamanya. Aku menjadi tak percaya lagi pada sebuah relationship.
"Tiga tahun lalu, aku terlalu bodoh meninggalkanmu,Tya. Â Tiga tahun pula aku sesali." Rayya mulai mencerca dirinya sendiri.Â
"Maafkan aku,Natya," dia mencoba meraih tanganku. Aku menghindar halus.
"Duduk saja, Rayya. Tak usah berlutut." balasku dengan mencoba kuat. Terngiang kata-kata ibu untuk belajar menhadapi kenyataan.
"Aku tak memerlukan penjelasan apapun lagi,Rayya. Aku juga tak ingin tahu, apa maksud kedatanganmu," kali ini aku berani menatap matanya. masih dengan mencoba kuat.
 "Aku sudah memaafkanmu sejak hatiku kau patahkan."Â