kisah kita seperti menggenangi pelupuk mata,
tak hendak beranjak
sekalipun terpapar oleh ragu, cemas dan reruntuhan hati...
Pagi baru saja menemukan jalannya, ketika kudapati sepasang sandal usang  teronggok di sudut halaman rumah.
Tadi malam, saat kututup pintu rumah pukul sepuluh malam, benda itu tak ada.Â
Milik siapa? Mengapa ada di situ?Â
Dua pertanyaan ini - kali ini - menemani kebiasaanku menyapu halaman pagi-pagi benar. Aku menyukai aktivitas ini. Selalu kulakukan sesudah selesai menyiapkan sarapan buat cinta semata wayangku, Nathan. Remaja delapan  belas tahun yang mengingatkanku pada satu sosok serupa dengannya.
"Selamat pagi,Bunda" suara itu...
Reflek sapuku terlempar.
"Kamu..." bergetar segenap perasaanku.Â
Masih pantaskah ia memanggilku Bunda, jika perih luka pengkhianatan empat  tahun lalu masih membalut hidupku.
Kupandangi dia dengan pikiran dan perasaan kosong...
"Bunda, maafkan Papa," suara itu segera menyeretku pada kesadaran pagi.
Ia mendekatiku. Aku memilih mundur banyak langkah, walaupun ingin sekali aku memeluknya. Ingin sekali aku menghamburkan rinduku. Ingin.Â
Tapi sekelebat wajah perempuan dan perasaan sakit yang mengaduk-aduk sukma, raga dan jiwaku kala itu, serta kenyataan yang membawa dia menjauh dari hidupku dan  Nathan, berhasil memutus keinginan tiba-tibaku.
"Untuk apa datang?" Nathan berteriak sambil berlari mendekatiku. Tangannya yang kini sama kukuhnya dengan dia yang berada di hadapanku, melingkar erat di pundakku. Nathan telah berusaha melindungiku.Â
"Tak pantas lagi Papa datang buat kami," terdengar suara Nathan menahan tangis.
"Papa tidak pernah tahu betapa Bunda kehilangan Papa, tapi harus tetap hidup dan menghidupiku," kali ini aku yang menangis di pelukan Nathan.
Dia yang selama hampir lima belas tahun kami panggil Papa, ayah dari Nathan anakku, diam mematung.Â
Lima belas tahun aku berhasil merawati biduk rumah tanggaku, hingga tahun berikutnya, tepat  empat tahun, badai  menghampiri biduk  kami, retak lalu hancur berkeping-keping, oleh sahabat terdekatku, Fani. Juga oleh dirinya sendiri, dia, lelaki yang sempat kami panggil Papa.
"Nathan,maafkan Papa,Nak. Papa merindukan kalian, sungguh merindukan kalian."
"Pagi ini aku datang, karena sesungguhnya aku telah ditinggal oleh Fani  enam bulan lalu. Dia telah dipanggil Tuhan karena kecelakaan."Â
Marah sekali aku mendengar perkataannya. Kugenggam pikiran dan perasaanku kuat-kuat. Aku tak boleh terpuruk.Â
Kulepaskan tangan Nathan. Beranjak pergi menjauh dari mereka. Kulihat dia menyalami anaknya, entah perbincangan apa yang sempat dikatakan pada anaknya.Â
Bagiku, tak ada alasan apapun untuk kuperkenankan tentramku terkoyak lagi. Sekalipun atas peristiwa pagi ini. Masih sempat kulihat, dia mengambil sandalnya, pergi tinggalkan halaman. Mobilnya terparkir dekat warung nasi kuning depan rumah dan aku tak memperhatikannya tadi.Â
Sesungguhnya, antara aku, kamu dan kenangan kita, siapa yang menjadi pecundang,Bre?
Pupus malam, 29 April 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H