kisah kita seperti menggenangi pelupuk mata,
tak hendak beranjak
sekalipun terpapar oleh ragu, cemas dan reruntuhan hati...
Pagi baru saja menemukan jalannya, ketika kudapati sepasang sandal usang  teronggok di sudut halaman rumah.
Tadi malam, saat kututup pintu rumah pukul sepuluh malam, benda itu tak ada.Â
Milik siapa? Mengapa ada di situ?Â
Dua pertanyaan ini - kali ini - menemani kebiasaanku menyapu halaman pagi-pagi benar. Aku menyukai aktivitas ini. Selalu kulakukan sesudah selesai menyiapkan sarapan buat cinta semata wayangku, Nathan. Remaja delapan  belas tahun yang mengingatkanku pada satu sosok serupa dengannya.
"Selamat pagi,Bunda" suara itu...
Reflek sapuku terlempar.
"Kamu..." bergetar segenap perasaanku.Â
Masih pantaskah ia memanggilku Bunda, jika perih luka pengkhianatan empat  tahun lalu masih membalut hidupku.
Kupandangi dia dengan pikiran dan perasaan kosong...
"Bunda, maafkan Papa," suara itu segera menyeretku pada kesadaran pagi.
Ia mendekatiku. Aku memilih mundur banyak langkah, walaupun ingin sekali aku memeluknya. Ingin sekali aku menghamburkan rinduku. Ingin.Â