[caption caption="Pebalap F1 asal Indonesia, Rio Haryanto. Sumber : Kompas.com"][/caption]Indonesia mengukir sejarah. Februari lalu Rio Haryanto secara resmi melaju di ajang balap jet darat, Formula 1 dan akan tampil selama satu musim penuh. Rio menjadi pebalap pertama dari Indonesia yang berhasil melaju di ajang tahunan ini. Rio resmi bergabung dengan tim Manor Racing dan bersanding dengan Pascal Wehrlein sebagai partner tim.
Kepastian Rio melaju di Formula 1 ini pada awalnya tidak berjalan mulus. Jalan berliku dihadapi Rio untuk mendapatkan satu tempat duduk sebagai pengemudi profesional. Masalah utamanya adalah dana. Ya, tidak sedikit dana yang diminta oleh pihak Manor Racing agar pemuda asal Solo ini dapat berlaga di arena F1. Rio harus membayar 15 juta Euro atau setara sekitar Rp 225 miliar untuk "membeli" satu cockpit selama musim 2016.
Dana ini memang terbilang sangat besar. Apalagi tuntutan Manor Racing agar Rio bisa membayarkan dana tersebut dalam tenggat waktu yang pendek. Kemenpora sebagai kementerian yang bertanggung jawab akan hal ini juga tidak berdiam diri. Imam Nahrawi berjanji akan menggelontorkan dana untuk turut membantu agar Rio dapat melaju di arena F1. Pertamina juga sebagai BUMN ikut menjadi sponsor dan hingga saat ini baru sejumlah 5,2 juta Euro yang telah disetorkan pemerintah kepada Manor Racing.
Sebagai warga negara, kita harus turut bangga melihat salah satu bagian dari kita dapat melaju di sirkuit dalam ajang balap bergengsi di dunia. Namun, di balik itu semua kita juga tentu memiliki opini sendiri terkait proses Rio Haryanto hingga Ia dapat berlaga di Formula 1 ini. Berikut ini adalah 8 opini terpilih Kompasianer yang diambil dari topik pilihan Rio Haryanto Melaju di F1.
1. Politisasi Pembalap Rio Haryanto Seharga 1000 Teknopreneur
Rp225 miliar bukanlah angka yang kecil. Angka inilah yang menjadi harga untuk memastikan berlaganya Rio Haryanto di balap F1. Hanny Setiawan menilai bahwa Rio Haryanto menjadi salah satu objek politisasi oleh pihak-pihak yang mencari ketenaran. Menariknya, Hanny juga membandingkan harga kursi F1 ini dengan biaya yang dibutuhkan pemerintah untuk mencetak teknopreneur. Menurut Hanny, dana yang digelontorkan kepada Rio dapat dikatakan sebagai biaya tenggelam (sunk cost). Berbeda jika dana tersebut digunakan untuk berinvestasi pada 1.000 teknopreneur di Indonesia.
Jika pemerintah terlihat berhati-hati dalam menggelontorkan dana kepada Rio, langkah itu menjadi sangat wajar karena memang momentum ini sangat rentan terjadi politisasi oleh pihak-pihak yang menginginkan panggung politik. Ia juga menekankan agar Rio tidak terjebak dalam pusara politik yang hanya akan membuat semakin rumit proses mengejar prestasi.
2. Rio Haryanto (Indonesia) Diperas Manor Racing
[caption caption="Rio Haryanto beraksi di sirkuit F1. Sumber : olahraga.kompas.com"]
3. Rio Haryanto di antara Manor, Menor, dan Minor
Manor Racing bisa dikatakan sebuah tim yang masih "bayi" dalam ajang Formula 1. Tim ini baru terlibat dalam ajang F1 sejak tahun 2012 lalu dan terlihat masih belum menemukan tajinya di ajang ini. Memang tidak ada yang mengesankan dari tim ini, bahkan pada musim 2015 Manor Racing minim poin. Hal ini menjadi poin yang disoroti oleh Arnold Adoe. Ia menganggap Manor Racing merupakan tim yang masih minor dalam prestasi dan reputasi. Namun, di sisi lain ada keuntungan yang bisa diambil. Karena melalui tim ini Indonesia memiliki pebalap pertama berlaga di ajang F1.
Rio Haryanto menjadi salah satu dari 10 pebalap Asia yang mencicipi ajang bergengsi ini. Bahkan di musim ini, Rio menjadi satu satunya pebalap dari benua Asia. Dengan gelontoran dan yang tidak sedikit, artinya Rio akan tampil menor atau mencolok dalam balapan ini. Tidak ada yang salah memang, karena kebanyakan bagi pebalap muda hal itu menjadi salah satu modal utama. Kendati demikian, Arnold beranggapan akan sangat muluk-muluk jika berharap Rio menuai prestasi di musim perdananya. Berharap Rio dapat mendulang poin dan tidak diganti di musim pertamanya ini sudah cukup bagi kita.
4. Rio Haryanto, Kenapa Tak Kau Tiru Anggun dan Radja Nainggolan?
[caption caption="Rio Haryanto saat menjuarai seri GP2. Sumber : kompas.com"]
Namun, Win Wan Nur mengatakan jika Rio adalah seorang profesional, akan sangat wajar jika meletakkan kepentingan profesi lebih tinggi dari kepentingan negara. Memang kala itu kepastian Rio melaju di F1 sangat tersendat karena masalah dana dan birokrasi pemerintah. Bahkan ia menyarankan agar kemampuan dan prestasi Rio tidak mubazir, Rio bisa mengikuti jejak Anggun C. Sasmi atau Radja Nainggolan dan jika hal itu benar-benar terjadi, negara masih tetap bisa berbangga pada Rio karena ada darah Indonesia yang berlaga di balapan bergengsi dunia.