Pendidikan seharusnya menjadi jalan individu menuju kesempatan yang setara. Pentingnya pendidikan berkualitas tidak dapat disangkal---ia adalah motor penggerak perubahan untuk meningkatkan kualitas hidup dan memberdayakan individu.Â
Namun, di tengah harapan ini, pendidikan masih menjadi arena ketidaksetaraan dan masalah struktural. Sejumlah tantangan dan kesenjangan menghalangi terwujudnya pendidikan berkualitas, menciptakan jurang pemisah antara mereka yang mampu dan yang miskin. Kesenjangan ini tidak hanya menghambat potensi individu, tetapi juga merusak cita-cita pendidikan inklusif.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjamin kesejahteraan pendidikan akan terus dibenahi dalam gerakan Merdeka Belajar. Meski ia mengakui, perubahan menyeluruh itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.Â
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalankan tugas memimpin gerakan Merdeka Belajar-- Nadiem Anwar Makarim saat berpidato pada upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024 , Kamis (2/5/2024) , di Jakarta, dikutip dari Kompas.id .
Lalu, apa saja tantangan pendidikan yang harus kita kawal bersama?
Mahal dan Sulitnya Akses Pendidikan
Pendidikan yang berkualitas adalah hak asasi semua orang. Namun, kenyataan berkata lain. Meski pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, mengupayakan pendidikan gratis untuk setiap pencapaiannya, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji--seperti dilansir Kompas.id , terbatasnya jumlah sekolah negeri memaksa anak-anak dari keluarga tidak mampu menempuh pendidikan di sekolah swasta, yang berarti mereka harus mengeluarkan biaya. Bahkan di sekolah negeri, pungutan liar masih sering terjadi karena minimnya biaya operasional untuk mendukung kegiatan pendidikan yang berkualitas.
Sejauh ini, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Jhonny Simanjuntak mengungkap sudah ada lebih dari 2.000 sekolah swasta yang mendaftar dalam program sekolah gratis. Mengutip Tribunnews , program ini akan dijalankan Pemprov DKI Jakarta per tahun 2025.
Kesenjangan Pendidikan: Ketimpangan yang Memprihatinkan
Kesenjangan pendidikan di Indonesia terlihat kentara ketika menyoroti wilayah-wilayah luar Jawa, seperti Papua. Data dari penelitian Universitas Papua yang dipublikasikan di Kompas.id menunjukkan, anak-anak putus sekolah di empat provinsi baru di wilayah Papua mencapai 314.606 jiwa. Minimnya sarana prasarana, kurangnya jumlah guru, dan ketiadaan dukungan fasilitas seperti buku cerita, bahan terbuka kontekstual, serta tempat mengajar yang layak, menjadi faktor utama penyebab terputusnya pendidikan.
Guru-guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T menekankan soal masalah infrastruktur dalam mendukung kegiatan belajar mengajar. Di pedalaman Papua, misalnya, banyak anak-anak yang belum sempat mengenyam pendidikan--ditambah sederet sekolah yang masih belum aktif berkegiatan. Menghimpun Kompas.id , perkampungan yang belum terjangkau listrik dan internet masih jamak ditemui, termasuk sulitnya akses jalan menuju ke sekolah.
Setiap wilayah, menurut pemaparan Sekretariat Negara , memang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sesuai kondisi demografi, ekonomi, politik, sosial budaya dan geografis, terutama 3T. Buruknya akses transportasi, listrik, dan koneksi internet menghambat pemerataan kualitas pendidikan.Â
Pemerataan dan Kesejahteraan Guru
Kesejangan pendidikan tidak hanya dirasakan sebagai peserta didik, melainkan juga guru. Ironisnya, menurut data Kompas.id, masih ada guru di Papua yang belum lancar membaca dan belum mampu mengajar secara komprehensif. Hal ini tentu memperparah ketertinggalan pendidikan di Papua dan menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan dalam mewujudkan masyarakat pendidikan yang merata.
Selain soal kualitas pendidik, kesejahteraan guru juga jadi salah satu pilar yang kerap terabaikan. Kesenjangan profesionalitas guru, yakni yang berstatus ASN, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan honorer, berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kualitas mengajar.Â
Nadiem Makarim mengakui hingga kini masih terus menyempurnakan tata kelola guru dan dosen. Penyempurnaan dilakukan dengan fokus pada peningkatan kompetensi, distribusi, kesejahteraan, hingga pengembangan karier guru. Nadiem dan Kemenpan-RB juga berkonsolidasi untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, salah satunya dengan target 1 juta guru honorer diangkat menjadi PPPK hingga 2024.Â
Game Changer: Wujudkan #SemuaBisaBelajar
Di balik semua tantangan pendidikan ini, terdapat peluang besar bagi kita untuk memperbaiki dan bergerak bersama. Kita sepakat bahwa pendidikan bukan hanya tentang konsep mengajar dan belajar, tetapi juga memaksimalkan potensi setiap individu.
Pendidikan inklusif adalah aksi terdekat kita untuk mengamalkan sila kedua Pancasila, yakni menjunjung manusia adil dan beradab; memastikan semua orang punya hak yang sama, semua berhak dihargai, semua punya kesempatan.
#SemuaBisaBelajar adalah cerita baru di Kompasiana yang masuk ke dalam edisi pertama payung program Game Changer. Kompasiana mendukung perubahan nyata untuk Indonesia dengan mengedepankan aksi kolaboratif.
Game Changer akan berkolaborasi bersama para Kompasianer yang memiliki kapasitas sebagai agen perubahan di komunitasnya. Inisiatif ini juga melibatkan optimalisasi sumber daya dan ekosistem di Kompasiana dengan partisipasi aktif dari para Kompasianer .
Edisi pertama The Game Changer mengusung kampanye sosial yang mengangkat isu "aksesibilitas pendidikan di Indonesia" . Dalam edisi pertama ini, Kompasiana telah berkolaborasi dengan Kompasianer Dayu Rifanto ( selengkapnya bisa baca di sini ).
Wujudkan #SemuaBisaBelajar bersama Game Changer. Cerita Baru Dimulai di sini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H