Masih ingat soal wacana akan dihapusnya Ujian Nasional mulai 2017 ini? Akhir tahun lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan bahwa rencana ini dilakukan untuk memenuhi putusan Mahkamah Agung pada 2009 lalu.
Di mana dalam putusan tersebut pemerintah diperintahkan untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana prasarana serta akses informasi.
Meski baru sebatas wacana, kabar ini menjadi salah satu yang cukup populer pada akhir tahun lalu. Dan tentu saja Kompasianer pun memiliki beberapa pendapat berbeda soal rencana moratorium Ujian Nasional ini. Berikut ini adalah 5 pendapat Kompasianer tentang rencana dihapusnya Ujian Nasional.
1. Mengubah Paradigma UN dari Sudut Pandang Berbeda
Menurut Paulus, bila UN ditiadakan, kesenjangan mutu pendidikan akan semakin lebar. Sekolah-sekolah di daerah akan tetap diam dalam paradigmanya bahwa “kita memang ketinggalan”, dan tidak akan berusaha mengejar ketertinggalan tersebut.
Bagi Paulus, Ujian Nasional harus dilaksanakan, bukan untuk mengevaluasi siswa, tapi untuk mengevaluasi pemerintah, guru, dan stakeholder pendidikan. Tanpa ujian nasional, pemerintah juga tidak akan ada beban dan kewajiban untuk menghasilkan guru-guru terbaik bagi bangsa ini, dan batasan geografis akan selalu menjadi alasan yang bisa dimaklumi.
Tanpa ujian nasional, guru-guru juga akan berleha-leha, mengajar tanpa perlu mengejar sebuah standar dan tidak perlu mengevaluasi diri sendiri. Tanpa ujian Nasional, Universitas-universitas negeri di daerah juga tidak akan terpacu untuk menghasilkan guru-guru yang benar benar berkualitas.
2. UN: "Hancurkan Etika dan Moral Pendidikan Kita"
Dengan menjadi momok yang menakutukan, siswa mulai mencari bocoran untuk menghadapi UN, sampai rela mengeluarkan uang 1 juta untuk satu mapel saja dan rela menunggu sampai jam 1 malam untuk bertemu dengan sang penjual soal tersebut.
Ketika model soal ada 20 soal setiap kelasnya, hebatnya bocoran soal juga berjumlah 20 kunci soal dan setiap model kunci soal akan disertakan bunyi kalimat pada soal nomor 1, aneh bukan ?!, Sampai sebegitunya UN merusak Etika dan Moral pada anak-anak bangsa ini.
Bahkan menurut Michael, secara konsep UN ini memang melanggar aturan. Keberhasilan seseorang didalam pendidikan tidak bisa di lihat secara intelektualnya saja.
UN harus dihapus karena merusak sendi-sendi "Etika dan Moral" pada dunia pendidikan khususnya siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas, walikota dan bupati serta gubernur karena akan menghasilkan generasi muda yang tak jujur, korup dan arogan. Lebih berbahaya lagi karena ketidak jujuran dan arogansi ini yang mengajarkan adalah orang-orang yang sangat berpengaruh di dalam kehidupan generasi muda yaitu orang tua dan guru.
3. Jalan Tengah untuk Ujian Nasional
Menurut Blasius Mengkaka jika intensitas penilaian, berikut hasil penilaian dalam UN dilangsungkan secara tertib dan teratur, maka sekolah dengan kategori akreditasi yang sudah maju dan tinggi sebaiknya dihapuskan.
Secara de fakto, kualitas pendidikan di Indonesia berbeda-beda, seturut kondisi wilayah dan topografi serta sejarah pemerintahan. Apabila pemerintah memutuskan untuk menghapus Ujian Nasional maka sebaiknya perlu dilaksanakan secara berangsur-angsur dan tidak boleh secara serentak.
Apabila pemerintah memutuskan untuk menghapus pelaksanaan Ujian Nasional (UN) maka perlu dilaksanakan secara berangsur-angsur. Mulai dari sekolah-sekolah dengan akreditasi A, bertaraf nasional dan internasional.
Penghapusan Ujian Nasional juga harus memperhitungkan soal status wilayah-wilayah di Indonesia. Wilayah daerah terisolir, tertinggal, daerah konflik dan daerah perbatasan mungkin Ujian Nasional masih berlaku untuk beberapa tahun.
4. Penghapusan UN Jangan Sekadar Urusan Teknis dan Administatif
Menurut Imam, UN hanya menjadi beban mental dan psikis tahunan bagi siswa, guru dan orang tua. Sehingga orientasi belajar hanya untuk sukses UN. Maka, tidak heran jika demi nilai UN, beberapa oknum sekolah, dinas maupun siswa dan orangtua melakukan berbagai macam kecurangan.
Padahal, jika UN digunakan sebagai instrumen evaluasi pendidikan, sungguh tidak menyasar lagi. Evaluasi berbeda dengan ujian. Evaluasi bicara perbaikan desain pembelajaran untuk peningkatan mutu ke depannya. Evaluasi tidak hanya menilai pada hilir atau hasil akhir, tetapi juga hulu dan proses yang berlangsung.
5. Bagaimana Jadinya Sekolah Tanpa Ujian Nasional?
Pertama, pemerintah tidak berhasil menghilangkan kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Kedua, efektivitas penyelenggaraan UN tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaraan. Ketiga, terjadi dikotomi mata pelajaran UN dan non-UN. Keempat, UN membuat kita mementingkan hasil daripada proses.
Masih banyak kegiatan pembelajaran yang juga penting. Namun UN ini seakan-akan jadi benalu. perhatian pemangku pendidikan tercurah ke UN. Perhatikan ketika UN diselenggarakan, ada kunjungan pejabat, terutama ke sekolah-sekolah favorit. Hal ini mencerminkan seolah-olah UN ini merupakan perhelatan akbar dan seolah-olah kegiatan yang lain tidak penting.
(YUD)