Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Kisah Inspiratif Perjuangan Seorang Ibu demi Menghidupi Anak-anaknya

22 Desember 2016   21:03 Diperbarui: 23 Desember 2016   17:19 10372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berapa Hari Ibu kita lewati bersama ibu? Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya. Tak dapat disangkal, ibu adalah orang yang pertama kali mencintai kita apa adanya. Bahkan sejak di dalam kandungan pun, ia adalah orang pertama yang tulus menyayangi dan rela mengorbankan jiwa raganya agar anaknya tetap sehat dan selamat sampai nantinya lahir ke dunia.

Setelah anaknya lahir, kasih sayang ibu pun bertambah dimulai dari erangan tangis ketika melihat kita keluar dari rahimnya. Ibu terlihat sangat bahagia seakan-akan ia telah melupakan rasa sakitnya ketika berjuang melawan maut demi melahirkan kita.

Seorang ibu tidak pernah menginginkan hadiah mewah dari anaknya. Bahagianya sang ibu datang dari hal-hal sederhana. Asal anaknya selalu menuruti nasihat dan membalas perlakuannya dengan baik, ia sudah senang. Kesenangan ini kadang tidak terlihat langsung di wajahnya, tetapi terukir dengan indah di hatinya.

Saat ia sedih pun, jarang langsung ia tunjukkan pada anak-anaknya. Seolah-olah ia selalu terlihat bahagia, padahal siapa yang tahu apa yang ia rasakan sebenarnya. Yang jelas, kebahagiaan anaknya adalah kebahagiaan dirinya juga, tak perlu harus sekeras apapun ia lakukan agar anaknya bisa tersenyum.

Tak peduli profesi, tingkat sosial atau usia, seorang ibu tetaplah ibu. Memperingati hari ibu (22/12) ini, beberapa Kompasianer memiliki kisah serta makna tersendiri mengenai sosok ibu yang dapat menginspirasi orang-orang di luar sana.

Kompasianer Tom Artandi mengisahkan tentang seorang ibu yang ia temui ketika ia sedang makan nasi uduk di sebuah tenda warung makan. Ibu itu melintas di depan Tom dengan gerobak yang di dorongnya.

Lalu tanpa ragu Tom memanggil sang ibu. Sesaat kemudian, walaupun pada awalnya ibu itu terlihat bingung, Tom berhasil membuat ia menghampirinya. Tanpa pikir panjang, Tom langsung memesankan nasi uduk tiga bungkus untuk ibu dan kedua anaknya yang tertidur pulas di dalam gerobak tersebut. Raut wajahnya menunjukan kegembiraan yang luar biasa dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Dengan wajah cokelat yang tersirat kelelahan tetapi terlihat ramah, sang ibu bercerita tentang suaminya yang telah meninggal karena sakit berkepanjangan yang tidak bisa disembuhkan karena mereka tidak mempunyai biaya untuk berobat ke dokter. Gerobak tua tersebut adalah harta satu-satunya peninggalan sang suami yang berprofesi sebagai pemulung. Malangnya, kini sang ibu harus sendirian berjuang keras untuk menghidupi dua anaknya yang selalu dibawa kemanapun ia pergi.

Setiap hari sang ibu berkeliling perumahan untuk mencari sisa-sisa barang, menyusuri jalan raya, sambil membawa dan menghibur dua anaknya yang masih kecil. Dari wajahnya, terlihat sosok yang dengan sangat tegar menjalani kerasnya hidup.

"Lepas segala ambisi dan nafsu duniawi, jatuh tersungkur di hadapan ketulusan seorang hamba, hamba yang begitu tulus menjalani hidupnya. Dengan semua ujian hidup yang begitu berat, dia tetap tersenyum menghadapi kerasnya kehidupan, tak ada iri dan dengki terhadap sekelilingnya yang hidup jauh lebih beruntung, dan dengan ikhlas ia berkata: Tuhan Maha Adil." papar Tom.

Kisah menginspirasi lain datang dari Kompasianer Irwan Bajang. Irwan memiliki seorang langganan penjual sayur dekat rumahnya yang bernama Bu Yani. Bu Yani memiliki lebih dari 10.000 koleksi buku di rumahnya. Ia sering membeli sayur di tempat Bu Yani sampai suatu saat ia jarang datang dan mendengarkan cerita Bu Yani lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun