Pungli alias pungutan liar seolah telah menjadi budaya yang melekat di Indonesia. Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam sebuah instansi pemerintah menyalahgunakan posisinya untuk mendapatkan "uang sampingan."
Kebiasaan pungutan liar ini kerap menjadi keluhan di masyarakat. Masyarakat kerap merasa dipersulit dalam sebuah birokrasi dan kemudian dimintai sejumlah uang pelicin agar apa yang tengah mereka proses bisa berjalan dengan lancar.
Inilah yang telah menjadi kebiasaan dan seakan mendarah daging dalam kehidupan kita. Dan nampaknya, masyarakat pun malah cenderung pasrah karena mereka memang hampir tidak memiliki daya untuk melawan.
Melihat hal ini Presiden Joko Widodo tidak tinggal diam dan menyatakan akan memberantas pungutan liar, berapa pun jumlahnya.
"Bukan hanya lima ratus rupiah atau satu juta. Sepuluh ribu pun akan saya urus," kata Presiden dikutip dari Antara, Minggu (16/10).
Sebegitu parahnya kah fenomena pungli ini sampai-sampai pimpinan tertinggi di negeri ini harus turun gunung? Sepertinya jawabannya memang "iya."
Bahkan menurut Syahirul Alim, fenomena pungli ini bisa dikatakan sebagai kebiasaan "korupsi berjamaah" dan pungli ini kemudian menjadi satu-satunya masalah yang justru bisa membentuk karakter birokrasi semakin berbelit, memakan waktu lama dan penuh dengan aroma KKN.
Praktik pungli memang sudah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia dan tidak hanya terjadi dalam lingkungan birokrasi pemerintah, tapi sudah merambah menjadi bagian dari budaya masyarakat.
"Bagaimana tidak, kita seringkali melihat fenomena pungli yang dilakuka kelompok tertentu dalam masyarakat ketika kita misalnya memiliki usaha tertentu," tulis Syahirul.
Bahkan pungli seolah menjadi semacam budaya struktural yang telah menjadi fakta sosial secara turun temurun. Tapi apakah sulit memberantas pungli hingga ke akarnya? Sepertinya itu semua bergantung pada tekad, komitmen dan usaha seluruh pihak mulai dari masyarakat hingga tatanan pemerintahan.
Jika pemberantasan pungli dikatakan sangat sulit dilakukan, maka jawabannya tidak. Sebenarnya memberantas pungli sangat mudah asalkan ada kemauan yang benar-benar kuat seperti yang dikatakan Kompasianer Amirudin Mahmud. Dalam memberantas pungli ada beberapa hal yang wajib dilakukan oleh semua pihak. Pertama adalah persoalan mental. Moral bangsa ini harus direvolusi. Nilai kejujuran, tanggungjawab, mandiri dan kerja keras harus tertanam dalam setiap individu.
Kedua, adalah persoalan birokrasi yang harus segera direformasi. Berkaitan dengan hal ini, KemenPAN-RB memiliki tanggungjawab penuh dan harus tegas pada mereka yang melakukan pungli. Sanksi harus ditegakkan.
Ketiga, mendukung satgas saber pungli dalam segala tindakan, hal ini untuk mempermudah dan mempercepat kerja satgas dalam memberantas pungli.
Menjadi rahasia umum memang bahwa pungli terjadi di mana-mana. Tidak hanya sekadar terkait dengan pelayanan publik, di banyak tempat pun kita bisa menemukannya contoh kecilnya saja parkir ilegal yang biasa kita temui sehari-hari. Jadi pungli ini memang seolah sudah biasa terjadi di depan mata.
Oleh karena itu beberapa waktu lalu pemerintah membentuk tim satgas saber pungli untuk memberantas pelaku pungutan liar yang ada di Indonesia. Ini patut diapresiasi karena bisa menjadi sebuah amunisi baru dalam upaya penegakkan hukum dan perbaikan birokrasi.
Namun tentunya kebijakan hukum dengan dibentuknya Saber Pungli ini tidak bisa dijalankan dengan setengah hati. Harus ada tindakan nyata yang dilakukan langkah demi langkah agar pungli benar-benar berhasil diberantas atau setidaknya jumlahnya berkurang di negeri ini.
Tapi kemudian sebuah pertanyaan besar muncul, apakah satgas yang dibentuk ini hanya "hangat-hangat kotoran ayam?" Apakah dalam perjalanannya memberantas pungli mereka akan kehabisan nafas duluan sebelum sampai tujuan? Bisa saja ini terjadi.
Mungkin saja bagi sebagian kalangan, langkah cepat yang diambil oleh presiden membentuk tim yang dipimpin oleh Menko Polhukam Wiranto ini dianggap sebagai langkah besar dan dapat memberantas pungli dengan cepat. Namun berbeda dengan Sholehudin Abdul Aziz yang meragukan nyali tim Saber Pungli untuk benar-benar memberantas hingga ke akarnya?
Sholehudin meyakini bahwa hampir 80 persen praktik pungli terjadi di seluruh kementerian, lembaga dan institusi lainnya. Meski dibentuknya satgas Saber Pungli ini akan memberikan efek luar biasa, Sholehudin ragu satgas ini memiliki banyak "nafas" untuk konsisten menggelar razia dan operasi tangkap tangan praktik pungli.
Pasalnya ada beberapa hal yang membuat Sholehudin ragu di antaranya, pertama omzet praktik pungli ini sangat besar dan menjadi lumbung uang bagi oknum tertentu. Ladang ini tidak akan mudah mereka relakan begitu saja, pasti ada perlawanan dari pihak-pihak terkait.
Kedua, kehadiran praktik pungli ini didukung dengan adanya bekingan yang kuat baik dari aparat maupun non aparat. Tidak jarang ketika akan dilakukan razia, mereka sudah tahu duluan sehingga petugas pulang dengan tangan hampa.
Ketiga, kuat tidaknya dukungan pimpinan untuk tim Saber Pungli ini juga sangat menentukan. Kesukesan kinerja tim sangat bergantung pada konsistensi pimpinan teratas yang mendorong terus agar tim ini bergerak sehingga tidak hanya "hangat-hangat kotoran ayam."
Seperti yang dikatakan sebelumnya, kebijakan ini tidak bisa dijalankan dengan setengah hati. Segala hal yang dapat memperkecil jumlah terjadinya pungli harus dilakukan. Pungli adalah korupsi dalam skala yang lebih kecil. Tapi korupsi tetaplah korupsi, segala pelanggaran harus mendapatkan sanksi dan jangan sampai timbul mindset bahwa pungli adalah praktik yang wajar dilakukan. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H