Dari sini dapat terlihat bahwa masyarakat dihadapkan oleh pengadilan pers atau trial by press, karena media massa menggembar-gemborkan kasus Mirna, seorang biasa namun punya segalanya. Warga digiring opininya dalam kasus Mirna.
Berbeda dengan perjuangan Salim menentang kebiadaban penguasa, tak ada yang media yang meliput segigih saat mendokumentasikan segala pernak-pernik kematian Mirna akibat sianida. Seakan kasus Salim hanyalah kasus kecil yang tidak ada nilainya di mata media.
Jalannya sidang kopi sianida yang terjadi sampai 32 episode terlihat amat seru, saling lempar argumen antara JPU dan tim kuasa hukum Jessica terus terjadi. Dari pengamatan Ujang Ti Bandung, argumen keduanya berlandaskan pada rasionalisme dan empirisme.
JPU selalu memaparkan tudingan kalau Jessica adalah otak pembunuhan ini dengan menampilkan konstruksi bukti logis, artinya bukti yang ditampilkan bukanlah bukti langsung yang terlihat oleh panca indera manusia atau empirik. Tetapi pada praktiknya JPU menggunakan bukti-bukti rasional.
Tim kuasa hukum Jessica melakukan cara yang sebaliknya, mereka memiliki prinsip bahwa seseorang yang didakwa hanya bisa dilakukan dengan bukti empirik. Sehingga, lewat landasan empirismenya, Otto dan kolega menuding JPU hanya berteori.
Peran saksi ahli dalam kasus ini juga amat membingungkan. Para saksi ahli dengan bidang keilmuan yang hampir mirip, tetapi mereka saling menuding satu sama lain. Mereka terlihat masuk dalam pusaran kepentingan Jessica dan Mirna dalam pengadilan ini.
Namun hakim bukan hanya menggunakan nalar semata, nalar itu juga dilandaskan pada bukti empirik yang dirangkai, mulai dari kopi Mirna yang dikuasai oleh Jessica sejak diantarkan oleh pelayan, perubahan warna kopi sebelum dan setelah berada di penguasaan Jessica, Jessica tidak mau mencicipi kopi Mirna, dan gestur Jessica ketika Mirna sekarat.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, JPU bermain logika untuk merajut fakta-fakta yang tercerai-berai tersebut. Contohnya dengan pengandaian jika pelaku adalah pelayan toko, sudah pasti kopi akan dibuang tak bersisa untuk menghilangkan jejak. Penggabungan antara empirisme yang tercerai-berai dikolaborasikan dengan fakta-fakta logis yang ada, menghasilkan sebuah konstruksi bukti atau rangkaian bukti tak lagsung.
Sayangnya menurut pengamatan Ujang, tim kuasa hukum Jessica tidak bisa membuat bangunan logika yang membantah logika yang dibuat oleh JPU. Ini terlihat dari kata-kata Otto yang mengatakan bahwa racun sianida bisa saja sudah ada sejak dapur pembuatan kopi. Mengapa tak berlogika? Karena ia hanya mengeluarkan pernyataan seperti itu tanpa ada variabel pendukung seperti yang JPU rangkai.
Akhirnya dengan segala drama yang tersaji, Hakim menjatuhi hukuman 20 tahun terhadap Jessica. Masyarakat bersuka cita dengan adanya vonis ini, setidaknya mereka tidak lagi dicekoki oleh agenda media yang terus menerus menjejali khalayak dengan kasus kopi sianida.
Namun menurut Anton Nugraha, hukuman yang diberikan oleh hakim kelewat cepat. Ia melihat serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh Jessica selama di Australia harusnya bisa memberatkan hukuman Mirna.