Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jika Harga Rokok 50 Ribu, Benarkah Jumlah Perokok Akan Berkurang?

13 September 2016   10:23 Diperbarui: 15 September 2016   19:57 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana kenaikan cukai rokok belum lama ini ramai sekali diperbincangkan publik dan media. Kabarnya, dinaikannya cukai rokok ini membuat harga rokok bisa mencapai Rp 50 ribu per bungkusnya.

Bukan berasal dari pemerintah, wacana ini muncul dari hasil kajian akademis dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia. Dari hasil kajian tersebut, dikatakan bahwa dengan menaikkan harga rokok per bungkusnya maka pemerintah dapat menekan angka jumlah perokok di Indonesia.

Namun tentu saja kajian ini menuai perdebatan. Tidak sedikit pihak yang mendukung agar pemerintah benar-benar menaikkan harga rokok tapi tidak sedikit juga yang menentang.

Pemerintah sendiri melalui Menteri Keuangan membantah wacana kenaikan harga rokok yang mencapai angka Rp 50 ribu ini, namun pemerintah pun tidak membantah bahwa ada rencana untuk menaikkan cukai rokok dalam beberapa waktu mendatang.

Melihat kejadian ini Kompasiana pun membuat jajak pendapat dengan melontarkan statement bahwa "harga rokok 50 ribu, maka jumlah perokok di Indonesia akan berkurang". Dari hasil jajak pendapat ini menunjukkan bahwa pihak yang pro dan kontra dengan statement yang dilontarkan memiliki jumlah yang sama yaitu 21 suara.

Salah satu Kompasianer yang setuju dengan statement ini adalah Agus Samsudrajat. Menurutnya dengan menaikkan harga rokok hingga mencapai angka 50 ribu per bungkusnya maka besar kemungkinan jumlah perokok di Indonesia akan berkurang. Kenaikan harga rokok ini juga akan berdampak pada generasi muda yang mengonsumsi rokok.

"Terutama anak-anak generasi baru akan berpikir lebih panjang manfaat dan kerugiannya. Sudah jelas ribuan bukti menyatakan bahwa asap rokok sangat berbahaya dan manfaatnya sangat kecil," tulis Agus.

"Asalkan pembatasan umur untuk membeli dan mendapatkan rokok harus diawasi ada sanksi bagi pelanggar. Jadi bukan hanya aturan tanpa tindak lanjut seperti yang sudah-sudah," lanjutnya.

Melihat gonjang-ganjing harga rokok ini Sri Mulyani memberikan penjelasan. Ia menuturkan, Kemenkeu belum membuat aturan baru mengenai harga jual rokok. Meski demikian, Sri Mulyani mengaku sedang mengkaji soal kenaikan tarif cukai ini.

"Saya paham ada hasil kajian salah satu pusat kajian ekonomi soal apa yang disebut sensitivitas kenaikan harga rokok terhada konsumsi rokok," ujar Sri Mulyani dikutip dari Kompas.com 

Selain Agus, Kompasianer lainnya yang mengatakan pro dengan statement yang dilontarkan Kompasiana adalah Febri Fajar Pratama. Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah jika menaikkan harga rokok lebih tepat ditujukan untuk menekan angka kematian yang disebabkan karena rokok.

"Walau memang kebijakan ini nantinya akan memberikan dampak yang besar bagi para pelaku industri rokok yang sudah punya nama, yang banyak menjadi bahan pertimbangan adalah ketika kita berbicara mengenai para petani tembakau yang juga pasti terkena dampak," tulis Febri.

"Kemudian dari segi pendapatan Negara, cukai rokok merupakan penyumbang terbesar. Hal tersebut menjadi tantangan pemerintah bila memang ingin berkomitmen untuk mewujudkan Indonesia sehat dan terbebas dari asap rokok. Saya harap pemerintah bisa memberikan win-win solution agar kebijakan ini nantinya tidak menjadi bumerang," lanjutnya.

Memang, jika melihat dari sisi produsen, menaikkan harga rokok per bungkusnya akan memberikan dampak negatif dan dipercaya bukan sebagai langkah yang bijak. Pasalnya ada banyak sekali faktor yang harus dipertimbangkan termasuk nasib para petani tembakau.

Salah satu produsen rokok nasional pun turut memberikan komentar. PT HM Sampoerna Tbk melalui perwakilannya menilai rencana kenaikan cukai rokok harus dipertimbangkan secara menyeluruh.

"Perlu kami sampaikan bahwa kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana," ujar Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communications Sampoerna dikutip dari Kompas.com 

Menurut Elvira, aspek yang perlu diperhatikan sebelum menaikkan cukai rokok adalah semua mata rantai industri tembakau yang meliputi petani, pekerja, pabrik, pedagang, hingga konsumen.

Memang bukan hanya dari produsen rokok yang mengatakan demikian, Kompasianer pun ada yang memiliki pendapat serupa. Salah satunya adalah Edy Sutrisno. Menurutnya pemerintah harus meninjau ulang kebijakan harga rokok ini. Pasalnya jika hanya untuk mengurangi jumlah perokok, bukan seharusnya dengan menaikkan harga tetapi jumlah pabrik yang harus dikurangi.

"Yang perlu dikaji adalah bahwa rokok di Indonesia adalah penyumbang pajak terbesar dari cukai rokok. Apa bila harga dinaikkan kemudian jumlah perokok berkurang apakah masukan pada negara juga berkurang padahal negara juga butuh uang yang salah satunya bersumber dari perokok, yang perlu di ingat lagi bahwa indonesia merupan sumber tembakau terbesar lantas mau dikemakan tembakau tersebut kalu produksi rokok berkurang," tulis Edy.

Bahkan ia melanjutkan bahwa pemerintah seharusnya membuat ulang regulasi yang pas agar bisa menyelesaikan polemik rokok ini misalnya dengan larangan merokok usia di bawah umur, regulasi harga rokok antara penjual dan pembeli, dsb.

Senada dengan Edy, Kompasianer Dewantara pun mengemukakan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa aktivitas merokok sendiri harus diakui bisa sangat merugikan orang lain ketika dilakukan sembarangan, tapi dibutuhkan ruangan yang nyaman dan besar sehingga para perokok lebih terkontrol.

"Perihal rokok yang digambarkan sebagai sumber penyakit, saya sebagai perokok mengakuinya. Ketika terlalu banyak akan menyebabkan dada sesak. akibatnya beberapa tahun belakangan ini porsi rokok sudah berjuang untuk dikurangi. pertanyaan lanjutannya adalah, benarkah rokok menjadi penyebab tunggal seperti yang diiklankan?" tulis ujar Dewantara.

"Tidak ada faktor tunggal tapi banyak sisi kita melihat penyebab sebuah penyakit. Belum kita melihat bahwa rokok adalah hiburan untuk menurunkan tensi, walaupun sekali lagi tidak perlu terlalu banyak mengkonsumsinya," lanjutnya.

Terakhir menurutnya yang perlu dipertimbangkan adalah dampak sosial dari kenaikan harga rokok yang berimbas pada petani tembakau dan pekerja pabrik, serta toko kelontongan pinggir jalan yang juga harus mendapat perhatian.

Kenaikan harga rokok ini memang hanya sekadar hasil kajian, namun jika pemerintah ingin menaikkan cukai rokok maka harus memperhatikan banyak hal yang akan mendapatkan pengaruhnya. Harus ada win-win solution antara pengusaha, konsumen dan pihak lain yang dilibatkan seperti para petani tembakau (YUD).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun