Polemik mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar yang memiliki dua paspor atau berkewarganegaraan ganda kemudian mengular pada munculnya wacana agar Indonesia memberlakukan asas dwiwarganegara.
Wacana ini sebenarnya sudah sejak lama digaungkan. Para diaspora (orang Indonesia yang berada di perantauan) berharap Indonesia dapat menerapkan asas dwikewarganegaraan ini. Pasalnya, para diaspora menginginkan segala kemudahan dengan menyandang warga negara asing namun tetap ingin membela negara sebagai warga negara Indonesia.
Para diaspora pun dianggap memiliki potensi besar di luar negeri untuk ikut memajukan Indonesia. RUU yang mengatur masalah tentang kewarganegaraan pun sudah masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang menolak dilegalkannya dwikewarganegaraan di Indonesia.
Oleh karena itu, Kompasiana melakukan jajak pendapat dengan melontarkan opini "Indonesia Terapkan Asas Dwikewarganegaraan" dan hasilnya 4 Kompasianer menyatakan pro dan 10 Kompasianer menyatakan Kontra.
Martinus A.S. Tokan adalah salah satu Kompasianer yang mendukung jika Indonesia bisa menerapkan asas dua warganegara ini. Menurutnya, dengan mengedepankan tujuan pembangunan tidak ada salahnya jika kewarganegaraan ganda ini tidak dijadikan polemik.
"Untuk pembangunan ke arah yang lebih baik kenapa tidak? Kesampingkan saja dwiwarganegaranya, ambil ilmu dan pengalamannya untuk mengembangkan Indonesia menjadi lebih baik," tulis Martinus.
Memang di luar negeri ada sebuah keinginan kuat para diaspora dari Indonesia untuk melegalkan asas ini. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun menuturkan bahwa pemerintah berkewajiban merespon keinginan tersebut karena diaspora adalah salah satu aset bangsa.
Pemerintah kabarnya tengah berupaya melakukan pemetaan pada diaspora. Kartu diaspora pun tengah direncanakan untuk dibuat agar semakin memudahkan pemetaan tersebut.
"Terdapat aspirasi yang kuat dari diaspora yang tinggal di luar negeri agar pemerintah memberlakukan dwikewarganegaraan," ujar Retno dikutip dari Kompas.comÂ
Selain Martinus, Kompasianer lain yang mendukung pemberlakukan dwikewarganegaraan ini adalah Daniel Linwood. Menurutnya orang Indonesia yang berada di luar negeri dan menjadi warga negara asing kebanyakan memiliki kemampuan yang bisa dimanfaatkan untuk perkembangan bangsa Indonesia.
"Kalau mau memanfaatkan kemampuan orang Indonesia yang telah menjadi WNA, tentunya harus memberi peluang bagi mereka untuk bisa mendapatkan fasilitas menjadi WNI.
Tapi hal ini tentunya tidak untuk diobral, dan tentu dengan syarat tertentu," tulis Daniel.
"Orang Indonesia yang telah menjadi WNA kebanyakan adalah yang punya kemampuan lebih, sehingga kemampuan lebih tersebut mungkin dibutuhkan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik," ungkapnya.
Pemerintah jika memang ingin menerapkan asas dwikewarganegaraan maka perlu merevisi UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, jika akan dilakukan revisi sebaiknya tidak revisi total.
Ia menyarankan agar dilakukan kajian mendalam serta menyisir pasal-pasal yang dianggap bermasalah serta tidak sesuai dengan persoalan saat ini.
"Revisi jangan revisi total. Lihat aturan, sisir pasal-pasal yang dianggap masalah dan tak sesuai dengan persoalan faktual," kata Hikmahanto sebagaimana diberitakan Kompas.comÂ
Dari hasil jajak pendapat Kompasiana, terlihat bahwa jumlah yang menolak asas ini lebih banyak. Sebanyak 10 Kompasianer menyatakan penolakan dan salah satunya adalah Luhut Simor.
Ia menentang asas ini dengan alasan orang Indonesia yang ingkar atas kepintaran, pendapatan, kebebasan, bahkan agama menjadi seenaknya karena memiliki kemampuan ganda alias hermaprodit.
"Apalagi dengan bangsa lain yang ingin jadi warga Indonesia jadi gado-gado, enggak punya kewarganegaraan Indonesia aja berani bikin onar di Indonesia, mulai dari Narkoba, Illegal Logging, Illegal Minings, Illegal Fishing, Illegal Trade, Smuggling bahkan Terorisme diciptakan di negeri ini karena alasan perkenalan dan persahabatan dll.," tulis Luhut.
"Negeri kita adalah negeri Bersahabat, pasti semuanya bisa diatur menjadi warga negara Indonesia sesuai ketentuan Nasional," tambah Luhut.
Pakar Hukum Hikmahanto Juwana pun memberikan komentar spesifik tentang pemberlakuan dwiwarganegara ini. Menurutnya permasalahan yang dialami Arcandra Tahar tidak bisa begitu saja dijadikan pemicu untuk revisi UU No. 12 tahun 2006 tersebut.
"Pak Arcandra isunya WNI yang kehilangan warga negara lalu menjadi pejabat publik. Kalau di UU Kewarganegaraan tidak ada seperti itu. Ini tidak bisa menjadi pemicu apalagi untuk mengakomodasi Dwi kewarganegaraan," ujar Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, wacana mengakomodasi dwi kewarganegaraan harus dilakukan secara hati-hati. Meski pemerintah nantinya mengamini dwi kewarganegaraan, kata dia, harus dilakukan secara selektif.
"Banyak masalah ketika WNA mau jadi WNI. Ketika mengalami kesulitan mau tidak pemerintah turun tangan," ucap Hikmahanto dikutip dari Kompas.comÂ
Selain Luhut, Kompasianer yang menyatakan tidak setuju dengan dua kewarganegaraan ini adalah Yeni Fadill.
"Hidup adalah pilihan. Begitu juga status kewarganegaraan. Loyalitas suatu bangsa itu hal yang krusial. Jangan plin plan. Jangan mendua apalagi status warga negara," tulis Yeni.
Indonesia dalam undang-undang telah menetapkan aturan tentang tata cara untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Hal itu diatur dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2006.
Berdasarkan UU tersebut tentang kewarganegaraan, syarat yang perlu dipenuhi adalah tinggal 5 tahun berturut-turut atau minimal 10 tahun tidak berturut-turut. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H