Tapi hal ini tentunya tidak untuk diobral, dan tentu dengan syarat tertentu," tulis Daniel.
"Orang Indonesia yang telah menjadi WNA kebanyakan adalah yang punya kemampuan lebih, sehingga kemampuan lebih tersebut mungkin dibutuhkan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik," ungkapnya.
Pemerintah jika memang ingin menerapkan asas dwikewarganegaraan maka perlu merevisi UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, jika akan dilakukan revisi sebaiknya tidak revisi total.
Ia menyarankan agar dilakukan kajian mendalam serta menyisir pasal-pasal yang dianggap bermasalah serta tidak sesuai dengan persoalan saat ini.
"Revisi jangan revisi total. Lihat aturan, sisir pasal-pasal yang dianggap masalah dan tak sesuai dengan persoalan faktual," kata Hikmahanto sebagaimana diberitakan Kompas.comÂ
Dari hasil jajak pendapat Kompasiana, terlihat bahwa jumlah yang menolak asas ini lebih banyak. Sebanyak 10 Kompasianer menyatakan penolakan dan salah satunya adalah Luhut Simor.
Ia menentang asas ini dengan alasan orang Indonesia yang ingkar atas kepintaran, pendapatan, kebebasan, bahkan agama menjadi seenaknya karena memiliki kemampuan ganda alias hermaprodit.
"Apalagi dengan bangsa lain yang ingin jadi warga Indonesia jadi gado-gado, enggak punya kewarganegaraan Indonesia aja berani bikin onar di Indonesia, mulai dari Narkoba, Illegal Logging, Illegal Minings, Illegal Fishing, Illegal Trade, Smuggling bahkan Terorisme diciptakan di negeri ini karena alasan perkenalan dan persahabatan dll.," tulis Luhut.
"Negeri kita adalah negeri Bersahabat, pasti semuanya bisa diatur menjadi warga negara Indonesia sesuai ketentuan Nasional," tambah Luhut.
Pakar Hukum Hikmahanto Juwana pun memberikan komentar spesifik tentang pemberlakuan dwiwarganegara ini. Menurutnya permasalahan yang dialami Arcandra Tahar tidak bisa begitu saja dijadikan pemicu untuk revisi UU No. 12 tahun 2006 tersebut.
"Pak Arcandra isunya WNI yang kehilangan warga negara lalu menjadi pejabat publik. Kalau di UU Kewarganegaraan tidak ada seperti itu. Ini tidak bisa menjadi pemicu apalagi untuk mengakomodasi Dwi kewarganegaraan," ujar Hikmahanto.