Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memutar Kembali Ingatan 1965

21 Juli 2016   13:04 Diperbarui: 21 Juli 2016   13:10 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengadilan rakyat internasional atas kejahatan kemanusiaan periode 1965 memutuskan bahwa Indonesia dinyatakan bersalah dan harus bertanggung jawab atas kejahatan HAM berat pada 1965-1966.

Disebutkan bahwa kejahatan yang terjadi adalah genosida atau upaya dan tindakan untuk memusnahkan golongan penduduk tertentu. Di mana kejahatan ini dialami oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).

Dalam putusan ini dijelaskan juga bahwa ada keterlibatan Soeharto dalam pembantaian 1965. Disebutkan bahwa Soeharto merupakan menara komando yang memiliki kontrol de facto atas ibu kota dan angkatan bersenjata.

Tragedi 1965 ini tentu menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia. Namun bangsa yang besar bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Oleh karena itu berikut ini adalah beberapa catatan yang bisa mengingatkan kita kembali akan peristiwa 1965 silam.

1. Hal-hal di Balik Pembunuhan Massal 1965 yang Perlu Anda Ketahui

KOMPAS.com/NAZAR NURDIN Sejumlah keluarga dari eks korban 1965 menaburkan bunga di atas liang lahat. Mereka juga melantunkan doa untuk para jenazah yang telah terkubur tersebut.
KOMPAS.com/NAZAR NURDIN Sejumlah keluarga dari eks korban 1965 menaburkan bunga di atas liang lahat. Mereka juga melantunkan doa untuk para jenazah yang telah terkubur tersebut.
Tragedi pembantaian 1965 memang menjadi masa kelam bangsa Indonesia. Namun di balik kejadian ini ada beberapa hal yang perlu diketahui. Muwaffiqol Fahmi merangkumnya dalam sebuah artikel pada 2013 lalu. Menurut catatannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama adalah adanya skenario politik. Kejadian ini berhubungan dengan peran Amerika Serikat sebagai sutradara. AS menyerahkan daftar nama orang-orang PKI untuk menjadi target dan dari sinilah berawalnya genosida.

Kedua di balik skenario politik ini ada kepentingan untuk menggulingkan Soekarno. AS dan Soeharto memiliki simbiosis mutualisme dalam upaya meruntuhkan PKI.

Meski tragedi ini telah berlalu dan Indonesia diputuskan bersalah melalui Pengadilan Rakyat Internasional dampak tragedi ini masih terasa. Korbannya adalah masyarakat indonesia. Masih ada banyak hal yang diutarakan oleh Muwaffiqol tentang apa saja yang ada di balik pembunuhan massal 1965. Anda bisa membaca selengkapnya pada artikel tersebut. 

2. Tragedi 1965 yang Belum Usai

Lipsus.Kompas.com
Lipsus.Kompas.com
Yunus Harefa menilai bahwa tragedi 1965 sebenarnya hanya serpihan dari potongan tragedi kemanusiaan lain yang masih belum usai. Ada banyak tragedi yang masih terkatung-katung tanpa ada kejelasan. Sebut saja tragedi Semanggi, tragedi Mei 1998, Talangsari 1989, dan Wamena 2003.

Ironi memang, karena kasus-kasus ini belum menemukan titik terang penyelesaiannya. Tragedi yang sudah disebut di atas hanya segelintir dari banyak tragedi yang sudah ditutup dan dikubur dalam-dalam, berupaya menghilangkan rasa untuk menguaknya.

Pemerintah juga seharusnya memberikan sikap dan memperlihatkan adanya upaya penyelesaian. Bukan membuat kasus-kasus ini hanya menjadi tumpukan kertas yang kemudian dibuang ke tong sampah.

Sedangkan yang rakyat bisa lakukan hanyalah berpasrah pada mereka yang menegakkan hukum.

3. Tribunal 1965: Keadilan Bagi yang Terlupakan

Rivan Awal Lingga Massa dari Front Pancasila melakukan aksi di depan Tugu Tani, Jakarta, Senin (18/4). Kompas.com
Rivan Awal Lingga Massa dari Front Pancasila melakukan aksi di depan Tugu Tani, Jakarta, Senin (18/4). Kompas.com
Trauma yang tidak pernah usai, dan negara tidak pernah mengakui. Itulah yang dikatakan Ad Agung pada ulasannya. Pengadilan Rakyat Internasional pada 2015 lalu menggelar sidang atas pelanggaran HAM di Indonesia tahun 1965-1966.

Dalam pengadilan yang dilakukan di Deen Haag tahun lalu ini dikatakan bahwa bukti-bukti terkait telah terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) yang didapat dari proses Tribunal dapat diteruskan bagi investigasi oleh pengadilan nasional maupun Mahkamah Pidana/Pengadilan HAM Internasional, yaitu untuk melakukan penelitian menyeluruh, memeriksa kasus dan kesaksian dari korban yang masih hidup, hingga mendapatkan resolusi hukum.

Dan sebenarnya, dalam hukum internasional larangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bagian prinsip dasar hukum internasional yang diakui. Artinya, negara memiliki kewajiban di bawah hukum internasional untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab dalam kejahatan tersebut.

Artinya, Indonesia dalam hal ini adalah pemerintah harus melakukan upaya peradilan untuk menyelesaikan kasus 1965 ini.

4. IPT 65 Diantara Kepungan Empat Kelompok

TRIBUNNEWS/HERUDIN Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan bersama Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkum HAM Yasonna Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti
TRIBUNNEWS/HERUDIN Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan bersama Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkum HAM Yasonna Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti
Pada 2015 lalu, Kompasianer Aan Anshori berkesempatan untuk hadir dalam diskusi tentang peristiwa 1965. Peristiwa puluhan tahun lalu yang menewaskan ribuan tertuduh PKI ini masih dalam keadaan gamang.

Dalam diskusi ini, ada 4 kelompok besar yang menyikapi peristiwa 1965. Kelompok pertama adalah kelompok antirekonsiliasi. Mereka setidaknya mempunyai beberapa pandangan. Pertama, PKI adalah satu-satunya dalang G30S.

PKI dan pengikutnya harus terus dibelenggu dan diawasi gerakannya, termasuk juga keturunannya. Bahkan kelompok ini tidak merasa diskriminasi terhadap Korban merupakan hal penting untuk dibicarakan. apa yang Korban alami merupakan balasan setimpal atas perilaku mereka selama ini

Kelompok kedua adalah pro-rekonsiliasi yang didalamnya terdapat 3 faksi; konservatif, moderat dan progresif. Faksi konservatif menyesalkan peristiwa ini namun menganggap PKI adalah pengkhianat negara. Faksi moderat menganggap PKI merupakan korban keadaan. Dan Faksi Progresif menganggap bahwa militer melakukan kesalahan atas tragedi ini.

Kelompok ketiga yang mengampanyekan anikebangkitan PKI merupkana tugas suci yang harus digelorakan terus menerus dan Kelompok keempat adalah mereka yang menganggap bahwa sejarah tidak perlu diluruskan karena sudah dianggap benar dan membincang ulang peristiwa ini hanya membangkitkan ingatan lama yang berujung pertumpahan darah.

Ia melihat bahwa IPT 1965 merupakan upaya meneruskan apa yang dulu belum sempat diselesaikan oleh Gus Dur, terutama untuk menguji klaim kebenaran masing-masing pihak atas Peristiwa 65, melalui mekanisme hukum yang fair dan transparan.

5. Nasib Korban Tragedi 1965 : Masih Adakah yang Peduli?

Kristian Erdianto 13 keluarga korban pelanggaran berat HAM masa lalu mendatangi halaman depan gedung Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan RI, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (31/3/2016).
Kristian Erdianto 13 keluarga korban pelanggaran berat HAM masa lalu mendatangi halaman depan gedung Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan RI, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (31/3/2016).

Penangkapan dan penahanan pada para aktivis dan simpatisan PKI terjadi antara tahun 1965 hingga 1973. Dalam rentang waktu 1965-1967 terjadi pula pembunuhan secara besar besaran dan mencapai angka 500 ribu jiwa.

Jefri Anto mencatat bahwa peristiwa ini dilatar belakangi Gerakan 30 September PKI yang berisi atas pertentangan dua kutub politik saat itu yaitu PKI dan Angkatan Darat. Kedekatan PKI dengan Soekarno tentu membahayakan peta politik saat itu. PKI melontarkan isu propaganda dan tubuh AD sendiri pun terpecah.

Tragedi 1965 menyisakan penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi orang-orang yang menjadi korban dari tragedi tersebut. Puluhan tahun berlalu masyarakat Indonesia masih phobia terhadap komunisme. Hal ini akibat dari stigma buruk terhadap PKI dan Komunisme yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.

Dalam artikelnya ini Jerfri menerangkan bahwa upaya Gus Dur yang ketika menjabat sebagai presiden untuk rekonsiliasi seolah dilakukan hanya setengah-setengah. Meski sempat meminta maaf, tidak ada tindak lanjut atas peristiwa ini.

Saat ini yang perlu dilakukan oleh masyarakat khususnya generasi muda terkait upaya rekonsiliasi korban kekerasan dan eks tapol Tragedi 65 adalah dengan “meluruskan” kembali pemahaman kita tentang sejarah Tragedi 65.

Pemahaman yang bijak tentang sejarah tragedi 65 setidaknya diharapkan dapat menghapus stigma buruk yang telah bertahan sampai puluhan tahun. (YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun