Setiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memeringati Hari Kebangkitan Nasional. Merujuk pada sejarah, Harkitnas diperingati atas berdirinya organisasi pergerakan nasional, Budi Oetomo pada 1908 silam.
Budi Oetomo dianggap mengawali kebangkitan pergerakan nasional Indonesia, namun sebenarnya kebangkitan ini telah jauh berawal dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam pada 1905.
Tentu saja sebagai salah satu hari besar nasional, Harkitnas menjadi momen yang tepat untuk berkaca. Melihat reflesksi diri sebagai bangsa dan menjawab pertanyaan "apakah yang diharapkan dari Harkitnas telah bisa kita raih?"
Sayangnya tidak sedikit pihak yang menilai bahwa cinta tanah air saat ini mengalami kemerosotan dan menganggap bangsa ini berada dalam keterpurukan. Dan tentu saja Kompasianer juga memiliki pendapat masing-masing soal keadaan bangsa saat ini. Berikut ini adalah 5 refleksi dari Kompasianer di Hari Kebangkitan Bangsa.
1. Mempertanyakan Nasionalisme Kita
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Syahirul Alim saat melihat kondisi dan semangat nasionalisme bangsa saat ini. Menurutnya, Nasionalisme bisa saja diapresiasi melalui kecintaan kita kepada tanah air, baik melalui dukungan dan kepercayaan terhadap hasil-hasil bumi atau pun apa saja karya kreatif anak bangsa yang berasal dari negeri sendiri.
Nasionalisme juga bisa berarti memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas hasil karya anak-anak bangsa, baik itu produk, hasil pemikiran, hasil pekerjaan, atau apapun bentuknya yang penting kita selalu menghargai hasil karya anak bangsa. Lalu bagaimana dengan masih dilakukannya impor pangan, impor barang? bahkan impor pekerja asing? Atau mungkin impor ideologi?
Dulu, kebangkitan nasional lahir ditengah kesewenang-wenangan praktik kolonialisme terhadap pribumi. Bentuk kolonialisme pada dasarnya merupakan dominasi penguasa pribumi dan memperalatnya untuk memperkaya diri sendiri.
Bangsa ini kini sudah terlampau nyaman dengan kehidupan pribadinya sendiri-sendiri, sehingga tak pernah menyadari bahwa kolonialisme “gaya baru” itu sudah lahir, bahkan jauh sebelum mereka lahir.
Kolonialisme “gaya baru” telah mengikis tradisi, budaya, norma dan juga gaya hidup bangsa kita. Kita tidak pernah menyadari bahwa kolonialisme saat ini telah mengganti bahasa “kooptasi” dengan “kerjasama”, istilah “penjajahan” diperhalus dengan “pembangunan ekonomi”, “pemaksaan” dianggap sebagai “gejala modernisasi dan demokratisasi, bahkan “keagamaan” digantikan dengan “kemanusiaan”.
2. Hari Kesadaran (Kebangkitan) Nasional; Esok Lebih Penting dari Kemarin
Menurutnya, Kesadaran Nasional mungkin lebih pas. Mengingat banyak orang Indonesia hari ini yang "kurang sadar", "belum sadar" atau "kelebihan sadar" dalam hal apapun, urusan apapun. Walau banyak juga yang sudah "cukup sadar" tentang dirinya, tentang sekitarnya.
sebagai bangsa, saat ini kita tengah dirundung berbagai urusan yang sedikit banyak dapat mencederai jati diri bangsa Indonesia. Kesadaran nasional berangkat dari keprihatinan kita terhadap masalah dan fenomena yang terjadi di Indonesia.
Dengan kesadaran nasional, kita diingatkan untuk melakukan refleksi diri terhadap perilaku, aturan, dan kebijakan masa lalu yang barangkali salah.
Sadar akan pilihan yang sudah diambil. Sadar akan tantangan yang ada. Sadar bahwa potensi baik jauh lebih penting dari masa lalu yang buruk. Sadar bahwa kita tidak hidup sendirian. Sadar akan pentingnya menyiapkan hari esok yang lebih baik dari hari kemarin.
3. Kebangkitan Bangsa Tidak Terlepas dari Teknologi
Pertama, investasi pada human capital.Human capital bukan hanya bicara tentang manusia sebagai pekerja, tetapi manusia sebagai bagian dari pengambil keputusan dalam meningkatkan kehidupan dirinya dan masyarakatnya. Human capital berkonsentrasi pada pendidikan dan pelatihan manusia untuk bisa bersama-sama mengambil perannya di dalam kemajuan.
Kedua, sains dan teknologi merupakan hal penting yang merubah kehidupan manusia. Siapa yang unggul dalam sains dan teknologi akan mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami kemajuan.
Ketiga, inovasi dan kewirausahaan merupakan pendorong kuat dalam kemajuan bangsa. Inovasi tanpa kewirausahaan akan bernama invensi, dan itu belum bisa berdampak apa-apa.
Keempat, kemiskinan yang minimal akan melahirkan keamanan dan kenyamanan dalam masyarakat. Upaya-upaya untuk meminimalkan kemiskinan harus terus-menerus dilakukan oleh semua pihak.
20 Mei ini, kita harus mulai melangkah secara nyata. Masing-masing manusia adalah mahluk yang unik, yang mempunyai keunikan tersendiri untuk melangkah maju. Setiap manusia Indonesia adalah berbeda. Justru perbedaan itu adalah sebuah tenaga yang besar untuk menggerakkan roda kebangkitan bangsa Indonesia.
4. Budaya Feodal di Peringatan 108 Harkitnas
Bagaimana pejabat itu memiliki “kelas atau kedudukan” tersendiri sehingga sering bisa berbuat aneh-aneh dan aman. Budaya ini harusnya bukan menjadikan bangga malah malu untuk melindungi pelanggar. Pihak-pihak yang harusnya memberi contoh malah memberikan yang buruk, dan kadang orang sederhana yang memberikan inspirasi positif.
Ada juga yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi malah menghujat dan merusak. Seperti contohnya mahasiswa yang mengamuk. Susy mempertanyakan intelektualitas mereka. Jika hanya mengandalkan otot, apa bedanya dnegan preman?
Memalukan sebagai negara demokrasi, negara besar dan negara maju. Peringatan hari nasional yang fenomenalpun diwarnai dengan merusak fasilitas negara, mengapa tidak pernah mengutuk maling berdasi? Sikap kritis yang sama sekali tidak pada tempatnya. Jangan heran kalau jadi pejabat maling, menekan pihak lemah, dan mencari keuntungan sendiri.
Kita adalah bangsa Indonesia yang didirikan dengan lumuran darah dan keringat, jangan dicemari dengan kepentingan diri sendiri dan kelompok. Karena hal ini malah sangat bertentangan. Momen Harkitnas ini sangat tepat untuk berubah.
5. Di Tahun 2016 Biasakan Yang Benar Bukan Membenarkan Yang Biasa
Indah Pradhika menilai bahwa Indonesia harus bangkit dari masalah pendidikan, masalah korupsi, masalah kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan apabila pemerintah dan masyarakat sama-sama berusaha dalam meningkatkan derajat dan martabat bangsa.
Ada berbagai cara bisa kita lakukan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini bisa kita mulai dari diri kita sendiri dengan cara introspeksi diri dan menyadari kesalahan kita masing-masing. Jika hal ini sudah kita biasakan, maka secara keseluruhan moral bangsa Indonesia akan menjadi baik dan dengan sendirinya bangsa indonesia akan menjadi bangsa yang besar.
Selain itu pemerintah juga hendaknya memperbaiki keadaan yang kini terjadi. Salah satunya adalah kebijakan-kebijakan yang diambil hendaknya berpihak terhadap masyarakat bukan justru menguntungkan kaum kapitalis bahkan cenderung merugikan rakyat. Karena pemimpin yang merakyat bukan dinilai dari penampilan semata, tetapi dari pemikiran, kebijakan, dan tindakan yang pro rakyat.
Kini saatnya bekerja nyata dan mandiri dengan cara baru penuh inisiatif, bukan hanya mempertahankan dan membenarkan cara-cara lama sebagaimana yang telah dipraktikkan selama ini. Hanya karena telah menjadi kebiasaan sehari-hari, bukan berarti sesuatu telah benar dan bermanfaat. Kita harus membiasakan yang benar bukan sekedar membenarkan yang biasa. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H