[caption caption="Ilustrasi RA Kartini. Wikimedia"][/caption]21 April adalah momentum yang sangat tepat untuk mengingat sebuah sejarah. Sejarah tentang kebangkitan kaum hawa yang berjuang akan kesetaraan.
21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Ya, Raden Adjeng Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879 merupakan sosok pahlawan untuk wanita. Ia memperjuangkan kebebasan, persamaan hak, hukum dan derajat antara wanita dengan pria.
Berkat perjuangannya, saat ini tidak ada lagi batasan antara pria dan wanita. Tidak ada lagi tembok besar penghalang yang memisahkan kebebasan otoritas antara laki-laki dan perempuan. Semuanya kini sama, setara dalam segala hal.
Oleh karena itulah Kartini didaulat sebagai salah satu pahlawan dan hari lahirnya (21 April) dikenang sebagai hari kebangkitan kaum hawa, Hari Kartini.
Dalam memperingati Hari Kartini pada 21 April kemarin, Kompasiana juga mengundang Kompasianer untuk menuliskan segala hal tentang Hari Kartini, baik opini, reportase, puisi, dll. Dan berikut ini adalah 7 suara Kompasianer yang tertuang dalam artikel untuk Hari Kartini.
1. Menelaah Essensi Hari Kartini
Hari Kartini ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 yang disahkan pada tanggal 2 Mei 1964. Keputusan tersebut menetapkan bahwa Kartini merupakan Pahlawan Kemerdekaa Indonesia serta penetapan 21 April sebagai Hari Kartini.
Kompasianer Septiambar dalam artikelnya menjabarkan bahwa Kartini merupakan seorang turunan dari kalangan ningrat di tanah Jawa. Pemikiran Kartini ini tertuang melalui surat-surat yang dikirim kepada sahabatnya kala itu. Namun sayang hingga saat ini menurut Septiambar ada kegagalan dalam memaknai surat-surat tersebut.
Kegagalan dalam memaknai surat ini bisa dirasakan karena hingga sekarang perayaan Hari Kartini hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan perempuan yang kesannya hanya bersifat teknis tetapi mengesampingkan esensi perjuangan Kartini yang sebenarnya.
Contohnya adalah konde dan kebaya. Peringatan Hari Kartini sangat identik dengan penggunaan pakaian adat ini. Sebenarnya ada cita-cita mulia di balik konde dan kebaya. Meski yang dikenakan Kartini membatasi ruang gerak, tapi tidak membatasi pemikirannya.
Kemudian juga soal emansipasi perempuan. Kartini telah memberikan ruang kebebasan untuk kaum perempuan untuk berkembang dalam perannya di rumah tangga, pekerjaan, dll. Meski demikian, Septiambar menilai cita-cita Kartini saat ini telah menjad nyata. Wanita kini tidak lagi dipandang sebelah mata.
2. Menggugat "Hari Kartini"
[caption caption="Gabungan buruh memperingati Hari Kartini. Kompas.com/HERU SRI KUMORO"]
Ninok mengajak pembaca untuk kembali berpikir kritis mengenai masalah ini. Dalam ulasannya ia sedikit menengok ke belakang di masa pra kemerdekaan sebelum Kartini lahir. Pada masa itu sebenarnya ada banyak sekali pejuang wanita yang berjuang untuk kemerdekaan.
Sebut saja Dewi Sartika (1884-1947) yang mendirikian sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910). Kemudian ada juga Rohana Kudus (1884-1972) yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan Rohana School.
Artinya tidak hanya R.A. Kartini yang berjuang di bidang pendidikan atau jika dibalik, kaum wanita yang berpartisipasi dalam perjuangan segala bidang tidak hanya Kartini namun ada sejumlah tokoh lain.
Oleh karena itu menurut Ninok akan lebih sesuai jika Hari Kartini diganti dengan Hari Emansipasi Wanita. Karena sesungguhnya bukan hanya Kartini yang telah berjasa besar dalam perjuangan kaum hawa.
3. Pesan Penting bagi Pria dalam Memaknai Hari Kartini
Memaknai Hari Kartini tentu saja bukan hanya urusan baju untuk Kartinian. Ada kontemplasi, ada perenungan. Hari Kartini bisa menjadi cermi bagi perempuan untuk berikhtiar menjadi wanita yang terdidik. Itulah yang dituliskan Hadi Santoso dalam ulasannya.
Memang, Hari Kartini bukan sekadar soal kebaya, konde atau hal lain yang berbau soal wanita. Di Hari Kartini juga ternyata ada porsi pelajaran penting untuk memaknai Hari Kartini bagi seorang pria.
Hadi menceritakan pengalamannya saat berbincang dengan seorang dokter. Menurut sejarah, R.A. Kartini meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Tentu saja melihat hal ini menyiratkan bahwa Kartini masih berjuang hingga akhir hayatnya, setidaknya untuk anaknya sendiri.
Berdasarkan data yang didapat Hadi, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ada 60 ibu hamil meninggal setiap tahunnya. Penyebabnya adalah penanganan yang tidak tepat.
Dari sinilah pria harus ambil bagian. Pria harus memberikan perhatian lebih banyak pada istri saat kehamilan. Seorang suami wajib tahu segala hal tentang kandungan istri. Tentu saja agar tidak ada kendala dalam kehamilan sang istri.
Memaknai Hari Kartini untuk menggugah kepedulian terhadap keselamatan ibu melahirkan adalah porsi besar yang harus dilahap oleh kaum pria.
4. Tantangan Kartini Masa Kini: (Masih) Persoalan Domestik
[caption caption="Ilustrasi Kartini masa kini. Sumber: Kompas"]
Bahkan salah satu rekannya mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang langsung anti ketika menyatakan gender, atau jika ada kata gender langsung identik pada perempuan.
Menurut Kartika memang benar, ketika ada kata gender, dipastikan disposisi akan langsung diberikan kepada perempuan. Namun daya antipati ini bisa dikurangi bergantung pada pola komunikasi kita.
Pemahaman di otak perempuan mengenai kesetaraan gender harus benar-benar matang, sehingga mampu menjelaskan kesetaraan gender dengan komunikasi yang lebih baik. Sehingga dapat menjelaskan dengan berbagai padanan kata yang lebih dipahami kaum laki-laki yang katanya lebih resisten terhadap pemahaman ini.
Ia juga menyarankan pada kaum pria agar segera meninggalkan pemiliran bahwa wanita statusnya berada di bawah pria. Tinggalkan pola pikir bahwa wanita terlalu emosional, wanita tidak jago strategi bahkan wanita tidak berani mengambil risiko dan keputusan.
5. Berjumpa dengan Para "Kartini"
21 April nin ternyata beberapa wanita menyinggahi rumah Hendri Teja. Tapi bukan hadir secara fisik, melainkan hadir dalam susunan kalimat yang membentuk beberapa buku.
Hendri berkisah soal beberapa novel yang ia baca. Tentu saja novel atau buku ini bersangkutan dengan Hari Kartini yang tengah diperingati.
Buku pertama adalah Kartini: Kisah yang Tersembunyi. Dalam buku ini diceritakan bahwa surat-surat Kartini ternyata berkisah lebih luas lagi. Banyak yang ia tulis mengenai sosial, otonomi, persamaan hukum dan pendidikan. Melalui novel ini, penulisnya Aguk Irawan MN juga bertutur tentang seorang perempuan yang dituduh antek-antek Yahudi tetapi menginspirasi.
Buku kedua berjudul Namaku Dahlia. Menceritakan tentang perempuan yang berasal dari dusun Lubuk Beringin. Buku ini berkisah tentang stigma perempuan Melayu kampung yang dibinasakan dengan cara paling santun--belajar sambil beraktivitas.
Ketika perempuan lain di dusun memutuskan pergi ke kota atau menjadi TKW, mereka justru memilih beratahan dan membangun harapan. Dahlia meyakinkan bahwa tidak harus ke kota untuk menjadi jutawan.
Buku ketiga berjudul Pinangan dari Selatan. Novel ini berkusah tentang warisan dendam beradab-abad pada 66 gadis keturunan Yang Mulia Dombu. Gadis ini harus memulihkan keseimbangan semesta dengan membunuh 666 laki-laki jahat dalam jangka 66 purnama.
Menurut Hendri, membaca kisah Kartini dalam buku tersebut membuatnya semakin sepakat pada novel guratan Fitrawan Umar yang berjudul Yang Sulit Dimengerti Adalah Perempuan.
6. Kartini Meratap!
[caption caption="Ilustrasi. Sumber: womensecret"]
Contohnya dalam kalimat “Agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri” dalam Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902.
Kekuatiran Kartini memang benar. Agama kini dipelintir dan dinistai oleh segelintir orang untuk meraup keuntungan pribadi. Agama kemudian dijadikan arena untuk adu domba sesama umat beragama.
Tjipta juga menegaskan jika ingin merayakan Hari Kartini maka pahamilah isi hatinya. Tidak ada salahnya jika merayakan Hari Kartini dengan kebaya atau berpakaian ala Kartini. Kemudian menulis dan membacakan puisi yang merupakan simbol kebangkitan kaum perempuan juga patut dihargai. Namun yang tidak kalah penting adalah memahami, menghayati dan mengaplikasikan pesan-pesan moral yang diutarakannya lewat surat-surat.
Pada Hari Kartini setidaknya sebait isi suratnya mampu menggugah dan mencerahkan hati untuk menempatkan agama di tempat yang mulia.
7. Kepada Kartini yang Bangun Siang Hari
Giri Lumakto memiliki pandangan berbeda menyikapi Hari Kartini ini. Menurutnya, Kartini di era gadget sudah sangat berbeda. Kartini yang dahulu digambarkan seorang perempuan berani kini penerusnya menjadi pemalas yang bangin di siang hari.
Bahkan Kartini-kartini muda pun meminta lebih banyak waktu untuk tidur. Alasan utamanya tentu mereka lelah. Lelah bersekolah, dll.
Jadilah mereka Kartini muda di masa depan, ibu-ibu rumah tangga yang bangun siang. Anak mereka bangun lebih dahulu dari mereka. Sarapan tidak usah lagi dibuat oleh tangan handal seorang ibu. Cukup pergi keluar dan membeli sarapan. Kartini modern boleh saja tidur seharian. Jika dan hanya jika ia bekerja semalam suntuk.
---
Itulah beberapa artikel dari Kompasianer dalam menyambut Hari Kartini 21 April kemarin. Semoga esensi sesungguhnya dari Hari Kartini bisa kita maknai dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H