[caption caption="Seorang siswi tengah menjalani Ujian Nasional. Kompas/Adrian Fajriansyah"][/caption]Ujian Nasional yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi momok menakutkan, kini disambut tanpa kegaduhan. Pasalnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan sejak 2015 lalu memutuskan UN tidak lagi menjadi sepenuhnya penentu kelulusan siswa.
Tolok ukur untuk lulus atau tidaknya seorang siswa dalam jenjang pendidikan kini ditentukan sendiri oleh pihak sekolah yaitu dengan menggabungkan nilai Ujian Nasional, Ujian Sekolah, serta atribut-atribut lainnya.
Namun bukan berarti dengan begitu siswa bisa menyepelekan Ujian Nasional meski saat ini UN hanya menjadi cermin untuk melihat kemampuan siswa setelah tiga atau enam tahun dalam jenjang pendidikan.
Tentu saja setiap tahunnya, UN menjadi satu topik yang hangat untuk diperbincangkan. Banyak sekali pandangan-pandangan dan anggapan mengenai ujian ini. Ada pihak yang pro pada penyelenggaraan UN dan tidak sedikit juga yang kontra. Kompasianer juga tentu memiliki opininya masing-masing dan berikut ini adalah pendapat Kompasianer tentang penyelenggaraan Ujian Nasional.
1. UN, Antara Prestasi dan Integritas
Ujian Nasional kali ini hanya dimaksudkan untuk beberapa hal yaitu pemetaan mutu pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya serta menjadi ukuran dalam pemberian bantuan kepada satuan pendidikan.
Memang, kali ini UN tidak semenakutkan tahun-tahun sebelumnya. Amirudin Mahmud dalam ulasannya mengatakan, Ujian Nasional sudah sepatutnya bisa dijalankan dengan baik dan berkualitas.
Rencana pemerintah yang akan mengeluarkan indeks integritas juga patut mendapatkan apresiasi. Menurut Amir, indeks ini dapat mengukur sehauh mana tingkat kecurangan yang terjadi dalam satu sekolah.
Misalnya ketika indeks integritas satu sekolah rendah juga dengan nilai rata-rata rendah, maka instansi tersebut patut dipertanyakan. Bisa jadi sekolah tersebut menggunakan kunci jawaban Ujian Nasional. Tapi jika angka indeks integritasnya tinggi meskipun nilai rata-ratanya rendah, maka kemungkinan siswa di sekolah tersebut menjalani UN dengan jujur.
UN bukan untuk lulus 100 persen tapi lakukanlah dengan kejujuran 100 persen. Karena UN tidak lagi menjadi syarat tunggal untuk kelulusan.
2. Ujian Nasional dan Revolusi Mental Pendidikan
[caption caption="Ujian Nasional kini tidak lagi jadi tolok ukur tunggal kelulusan. Sumber: Ujiannasional.org"]
Idris juga melihat ada atmosfer yang berbeda pada Ujian Nasional tahun ini dan sebelumnya. Ia menilai UN tidak lagi membuat siswa mejadi begitu stres. Siswa terlihat lebih enjoy dan relatif tidak menimbulkan keresahan di kalangan peserta didik.
Oleh karena itu, kejujuran 100 persen menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai. Ujian Nasional kali ini diharapkan menjadi salah satu sarana Revolusi Mental yang menjunjung tinggi integritas.
Revolusi Mental ini berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Berbagai penyakit bangsa harus dihilangkan seperti korupsi, suap menyuap, dll. Dan salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah dengan tidak mencontek, menghilangkan plagiarisme, juga dengan memperlihatkan kejujuran di Ujian Nasional.
3. Kembalikan UN Sebagai Indikator Mutu, Bukan Syarat Kelulusan
UN seharusnya menjadi jembatan emas siswa untuk meningkatakn kompetensi. Itulah yang dikatakan MJK Riau. Ia menambahkan sejatinya, UN adalah jalan untuk meneguhkan komitmen untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sayangnya, UN kerap dilihat sebagai hal yang menakutkan sehingga jalan irasional sering diambil para siswa. Tidak sedikit siswa yang menempuh jalan gelap dengan cara jual beli kunci jawaban atau soal.
Bukan prestasi tinggi yang didapat dari kerja gotong-royong atau situasi kondisi pragmatis lainnya. Kejujuran adalah modal utama. Namun demikian perlu ada langkah terobosan untuk mempersiapkan mental para siswa dalam menghadapi Ujian Nasional.
Ada banyak usaha untuk persiapan ini seperti pendekatan pengembangan sekolah yang ramah anak, menghilangkan kekerasan di lingkungan sekolah, juga komitmen tinggi terhadap perhatian pada anak didik yang terus dikembangkan.
Kemudian yang paling penting adalah aturan. Aturan perlu diterjemahkan secara benar dan dilaksanakan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan, bukan untuk menghantui masyarakat atau siswa. Maka sudah selayaknya aturan bisa mengembalikan UN sebagai indikator mutu, bukan syarat kelulusan siswa.
4. Ujian Nasional: Kita Terjajah Neoliberalisme!
[caption caption="Ilustrasi Ujian Nasional. Sumber: Tribunnews.com"]
Ketika membicarakan Ujian Nasional mungkin tidak banyak yang tahu bahwa UN adalah wuud sistem pendidikan yang di bawah kendali kaum kapitalis neoliberal. UN adalah manifestasi dan bagian dari rezim High-Stakes Testing yang diselenggarakan untuk kepentingan akuntabilitas dan efisiensi.
Kedua prinsip ini (akuntabilitas dan efisiensi) sebenarnya adalah karakteristik dua korporasi managerialist yang berorientasi pada keuntungan. Dengan tujuan akhir adalah hitung-hitungan untung-rugi.
Sederhananya, ini adalah tuntutan pemilik modal terhadap yang berhutang agar yakin bahwa modal yang dipinjamkan ada hasilnya. Sehingga, mereka tetap mau berhutang karena dianggap satu-satunya jalan untuk memajukan pendidikan.
Bahkan Tomy menegaskan dalam tulisannya jika Mendikbud masih percaya bahwa UN adalah untuk kepentingan anak bangsa, itu adalah anggapan yang keliru.
Anak-anak malah mengalami depresi dan tekanan beban mental yang mendalam karena ujian seperti ini.
Ada beberapa solusi yang ditawarkan Tomy, Pertama tetapkan saja lakukan model testing seperti Ujian Nasional tapi rubah ini menjadi voluntary atau suka rela. Artinya hanya yang mau saja ikut test.
Kedua, tetap laksanakan Ujian Nasional hanya sebagai sarat masuk perguruan tinggi saja. Dan ketiga, Putuskan mata rantai sistem pendidikan kita dari pengaruh dan campur tangan kaum kapitalisme dengan memutuskan untuk menghapus Ujian Nasional.
Sebagai gantinya bisa diciptakan sistem evaluasi yang justru berfokus pada peningkatan nilai nilai humanistik serta higher order thinking skills
5. Terbongkar, Anak Kreatif Malah Pilih Ujian Nasional Paket C?
Ujian penyetaraan atau Paket C seringkali dipandang sebelah mata. Banyak pihak yang menilai bahwa siswa yang mengikuti UNPK (Paket C) dianggap tidak lebih baik dari pada siswa yang mengikuti ujian reguler. Namun anggapan ini tidak sepenuhnya benar.
Dalam sebuah artikelnya, Kompasianer Mercy mengatakan bahwa UNPK sebenarnya memiliki kualitas yang patut untuk diperhitungkan.Â
Bahkan menurut Mercy ujian penyetaraan ini tidak bisa dianggap "ecek-ecek" karena pada pelaksanaannya, pengawas UNPK adalah 100 persen guru formal yang tidak punya kepentingan dengan siswa peserta UNPK.
Bagaimana dengan materi soal ujian? Perlu diketahui bahwa Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional dibuat oleh satu badan resmi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Soal ujian dibuat oleh Badan Nasional Standar Pendidikan sehingga dijamin kualitas soal setara.
Berdasarkan tulisan Mercy, peserta homeschooling juga kerap mengikuti ujian paket C alias UNPK. Dan dari sinilah terlihat bahwa UNPK sebenarnya semakin bergengsi. Pasalnya tidak sedikit public figure yang berbakat mengikuti ujian penyetaraan ini. Mereka sangat sadar, sekalipun tidak memilih sekolah reguler atau formal, kualitas UNPK juga tidak bisa dikesampingkan.
---
Itulah beberapa opini Kompasianer yang tertuang dalam artikel seputar Ujian Nasional 2016 ini. Lepas dari pro dan kontra Ujian Nasional, kita berharap pemerintah dapat menemukan metode terbaik untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H