Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

4 Reaksi Kompasianer atas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

12 April 2016   12:50 Diperbarui: 13 April 2016   01:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi BPJS Kesehatan. TRIBUNNEWS/HERUDIN"][/caption]Terhitung 1 April lalu, iuran BPJS Kesehatan secara resmi mengalami kenaikan. Penyesuaian iuran ini berlaku efektif sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016.

Adapun yang mengalami kenaikan premi adalah peserta kelas I dan kelas II sedangkan kelas III tidak mengalami kenaikan. Sebenarnya awalnya pemerintah berencana untuk menaikkan iuran untuk semua kelas. Namun hal ini berubah dengan berbagai pertimbangan.

Menurut pihak BPJS, kenaikan iuran ini dipicu oleh defisit anggaran yang dialami BPJS Kesehatan tahun 2015 yaitu hampir senilai 5,85 triliyun dan potensi defisit tahun 2016 yang mencapai 11 triliyun. Atas dasar inilah kemudian keputusan untuk menaikkan tarif iuran perbulan diambil.

Tentu saja, meski telah dipastikan, rencana kenaikan iuran ini sudah menuai reaksi dari masyarakat. Ada sebagian yang mendukung, namun ada juga yang menolak lantaran pelayanan yang diberikan saat ini belum maksimal.

Reaksi dan tanggapan muncul dari berbagai pihak. Dan tentu saja, Kompasianer juga memiliki pandangannya masing-masing perihal kenaikan premi BPJS Kesehatan ini.

Oleh karena itu inilah 4 reaksi tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dirangkum dari topik pilihan Iuran BPJS Kesehatan Naik 

1. Bom Waktu Bernama BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan dikabarkan mengalami defisit yang sangat besar untuk tahun 2015. Dan berpotensi lebih besar lagi di tahun 2016 ini. Ditambah para DOkter yang tetap berdemo di depan Istanan Negara beberapa waktu lalu. Mereka menjerit gaji yang tidak mencukupi, obat yang membuat dokter harus nombok, dll.

Kompasianer Anna Melody kemudian mempertanyakan hal ini. Mengapa defisit bisa terjadi. Padahal jika diperkirakan iuran dari peserta BPJS bisa mencapai triliyunan.

Ia menilai ada satu kesalahan yang dilakukan pemerintah. Pihak pemerintah selama ini mencari solusi bukan dengan cara meningkatkan pendapatan, tapi malah dengan menekan pengeluaran. Caranya yaitu dengan mempersulit rujukan, membatasi jenis obat dan ketersediannya, membuat orang harus antri dokter seharian, dll. Pendek kata menurutnya, orang miskin sekarang bileh sakit, tapi tidak boleh sehat (karena faslitas dan obat minim semua).

Menurut Anna, tidak heran para dokter saat berdemo mengatakan bahwa program BPJS ini hanya pencitraan belaka. Tepatnya pencitraan pemerintah yang lalu yang dengan senang hati dilanjutkan pemerintah sekarang. Lantas bagaimana solusinya? Meminta setiap orang membayar iuran hingga usia 70 tahun juga tidak mungkin dengan kondisi ekonomi rakyat Indonesia sekarang.

Alternatif solusinya adalah pertama, orang kaya mensubsidi orang miskin (hapus maksimal gaji untuk iuran BPJS), kedua orang bekerja mensubsidi orang pengangguran, ketiga orang yang "cari sakit sendiri" mensubsidi orang yang benar benar sakit.

2. Memandang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

[caption caption="Kantor BPJS Kesehatan cabang Gunungsitoli Sumatera Utara. KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN"]

[/caption]Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengandung prinsip gotong royong dan bersifat sosial, yang pada pokok prinsipnya memang mengutamakan azas pengelolaan nirlaba yang tidak berorientasi mencari keuntungan. Itulah yang dikatakan Kompasianer Yudhi Hertanto dalam tulisannya menanggapi kenaikan tarif BPJS Kesehatan ini.

Menurut Yudhi, ada sebuah benturan prinsip yang terjadi. Di mana pada pengelolaan BPJS Kesehatan, pedoman dasarnya adalah asuransi sosial, bukan komersial. Sehingga format yang ditawarkan adalah model asuransi berbiaya murah dengan perlindungan jangka panjang yang menyeluruh.

Di sini tentu menjadi titik rawan yang akan berbenturan dengan prinsip utama penyelenggaraan BPJS yakni sustainabilitas atas program tersebut.

Yudhi menambahkan, titik permasalahannya adalah tanpa screening yang dilakukan di awal kepesertaan, maka profile risiko kesehatan tidak dapat diketahui dan estimasi pembiayaan kesehatan tidak dapat disimulasikan.

Kondisi ini mengakibatkan pembiayaan kesehatan melonjak besar, oleh karena itu sudah wajar jika BPJS harus menanggung rugi.

Karena inilah menurut Yudhi, harus ada kejelasan struktur pembiayaan, evaluasi dan audit untuk mendapatkan penjelasan finansial. Kemudian perluas jangkauan akses pembayaran iuran, sekaligus memastikan ketepatan waktu pembayaran agar dapat mereduksi angka defisit yang dialami BPJS Kesehatan.

3. Apa Pantas Iuran BPJS Itu Naik?

Alasan defisit anggaran BPJS justru malah menimbulkan banyak pertanyaan karena realitanya anggaran pemerintah khusus untuk kesehatan seluruh rakyat Indonesia itu adalah 5 persen dari total APBN. Di Mana 2/3 dari 5 persen tersebut harus digunakan khusus membiayai masyarakat.

Mawalu kemudian menjabarkan bahwa jumlah tital APBN itu sekitar 100 triliun. Apa benar tidak bisa digunakan untuk menyuntik dana segar ke BPJS? Karena menurutnya selama ini, BPJS hanya berharap pada iuran masyarakat.

Bagaimana BPJS tidak defisit, ruang lingkup layanan BPJS itu melingkupi rawat jalan maupun rawat inap, termasuk biaya pemeriksaan kehamilan dan biaya melahirkan, termasuk namun tak terbatas pada biaya kesehatan untuk semua jenis penyakit.

Jika saat ini total keseluruhan pengguna BPJS sebanyak 140 juta, jika misalkan ada 1 persen saja yang sakit artinya sudah 1,4 juta orang dengan besaran biaya yang berbeda-beda. Pasti dana yang digelontorkan BPJS tidaklah sedikit.

Menurut Mawalu, sebenarnya iuran BPJS tidak perlu naik jika program Kementerian Kesehatan berjalan seluruhnya. Bagaimana agar rakyat Indonesia tidak sakit-sakitan, program penyuluhan berkala secara rutin terkait pola hidup sehat, rajin berolahraga dan tidur teratur agar terhindar dari serangan penyakit.

4.Soal Pindah Kelas Perawatan (1)

[caption caption="Warga mengantri untuk mendaftar BPJS Kesehatan. Kompas.com/ANGGA BHAGYA NUGRAHA"]

[/caption]Ada ketergesa-gesaan untuk menudingkan soal defisit kepada BPJS Ketenagakerjaan. Itulah yang dituliskan Kompasianer Tonang Dwi Ardyanto dalam artikelnya. Ia membahas tentang Peraturan BPJSK Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur tentang Kepesertaan kelompok mandiri yang juga kemudian disusul oleh terbitnya Peraturan Direktur Nomor 32 Tahun 2015.

Ia begitu menyoroti tentang potensi adverse selection (baru mendaftar ketika ada kebutuhan) dan anti selection (sengaja tidak mendaftar karena belum membutuhkan). Menurutnya harus ada dinamika regulasi kepesertaan khususnya untuk kelompok Mandiri.

Bahkan di lapangan, ada laporan yang menyatakan bahwa cukup banyak masyarakat yang mendaftar di kelas III terlebih dahulu hanya untuk rawat jalan. Ketika harus rawat inip, baru mendaftar ke kelas yang lebih tinggi. Inilah yang cukup disoroti atas potensi yang membuat naikknya iuran BPJSK.

Selain itu, Tonang juga menilai bahwa kebijakan yang diambil pemerintah dengan menaikkan iuran BPJS setiap bulan harus diterima karena sebagai upaya mengerem potensi defisit. Namun mengubah Perpres tentu perlu waktu. Namun hingga Perpres baru diterbitkan, tidak ada juga koreksi terhadap masa tenggang maupun tentang hak naik kelas perawatan bagi kelompok Mandiri kelas 3.

---

Itulah sebagian pandangan Kompasianer terkait ketentuan pemerintah yang berlaku sejak 1 April lalu. Dengan naiknya iuran BPJS, sudah sewajarnya kita semua berharap agar pelayanannya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya (YUD)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun