Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Layakkah Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan?

9 April 2016   15:57 Diperbarui: 9 April 2016   16:01 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Warga menunggu giliran untuk mendapatkan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kantor BPJS Kesehatan di Pontianak. TRIBUN PONTIANAK / GALIH NOFRIO NANDA"][/caption] Terhitung 1 April lalu, pemerintah secara resmi menaikkan iuran bulanan BPJS Kesehatan. Meski pada awalnya kenaikan ini akan diaplikasikan pada seluruh tingkatan kelas, namun kemudian diputuskan hanya Kelas I dan Kelas II yang mengalami kenaikan iuran.

Kebijakan ini diambil atas dasar Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Secara rinci, perubahan iuran ini meliputi ruang perawatan kelas II dari sebelumnya Rp 42.500 perbulan menjadi Rp 51.000 perbulan serta ruang kelas I yang sebelumnya Rp 59.500 perbulan menjadi Rp 80.000 perbulan. Semua besaran kenaikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 F dalam Peraturan Presiden tersebut.

Tentu saja kebijakan ini kemudian menuai kontroversi. Masyarakat menilai pemerintah tidak sepatutnya menaikkan harga iuran BPJS karena sampai sekarang tidak sedikit publik yang menilai bahwa kinerja dan pelayanan BPJS masih jauh dari kata baik.

Namun BPJS berkelit bahwa kenaikan ini lantaran adanya defisit anggaran pada tahun-tahun sebelumnya, sehingga dibutuhkan penyesuaian besaran iuran. Padahal, BPJS hingga saat ini masih menerima suntikan dana dari pemerintah pusat.

Tentu saja beragam respon muncul di masyarakat. Argumen pro dan kontra soal kenaikan iuran mulai bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Memang, jika dilihat dari dua sisi, kenaikan iuran BPJS ini memiliki positif dan negatif.

"Pada prinsipnya setuju, namun ditentukan perkelasnya dengan rinci dan diimbangi dengan fasilitas yang ada," kata Kompasianer M. Ali Mahmudin dalam jajak pendapat Pro dan Kontra yang dilakukan Kompasiana.

"Karena sampai sekarang ini masih ada kasus bahwa dengan BPJS pasien hanya akan mendapatkan perawatan kelas bawah dan lamabanya penangan. serta dari sisi dokter yang tidak menjamin kehidupanya," lanjutnya.

Memang benar apa yang dikatakan Kompasianer Ali Mahmudin ini. Satu sisi, untuk lebih menjangkau pasien dalam jumlah yang lebih besar, maka dibutuhkan juga "modal" yang besar. Karena itulah dibutuhkan penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan. Bahkan Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi angkat bicara.

Menurutnya, selama ini terjadi sebuah mismatch atau ketidaksesuaian antara iuran yang dibayarkan peserta dengan pengeluaran BPJS Kesehatan, yakni untuk klaim. Pada tahun 2014 misalnya, ketidaksesuaian tersebut bahkan mencapai nilai 3,3 triliun dan tahun 2015 mencapai kisaran 6 triliun.

"Kalau defisit kesannya seperti tidak ada uang yang masuk. Yang ada adalah mismatch," kata Irfan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (15/3/2016).

Namun di sisi lain, pelayanan yang diberikan BPJS memang terbilang kurang maksimal. Tentu saja dengan menaikan tarif iuran juga akan memperberat pengeluaran masyarakat setiap bulannya.

"Sebaiknya defisit anggaran dicarikan cara lain daripada menaikkan iuran BPJS," tulis Kompasianer Meldy Muzada Elfa yang menyatakan kontra terhadap kebijakan ini.

Memang benar apa yang dikatakan Meldy, jika ada satu alternatif solusi selain menaikan tarif iuran, sebaiknya pemerintah dan BPJS mencoba untuk mengambil alternatif itu. Lantaran dengan menaikan iuran BPJS perbulannya ini, masyarakat tentu harus menyesuaikan kembali anggaran yang mereka keluarkan setiap bulannya.

Bahkan, pada pertengahan bulan lalu, Komisi IX DPR RI menolak usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena alasan yang diajukan tidaklah jelas.

"Saya sangat kecewa karena pemerintah tidak bisa menjelaskan secara detail dan bertanggung jawab atas alasan kenaikan iuran itu," ujar anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, dikutip dari Kompas.com Kamis (17/3/2016). ()

"Oleh karenanya, Komisi IX DPR RI minta kenaikan tersebut ditunda," lanjutnya.

Selain Meldy, ada juga Kompasianer Erna Dena yang menyatakan keluhannya pada pelayanan BPJS ini. Ia mengatakan bahwa sampai sekarang belum ada kartu BPJS yang ia terima meski telah membayar iuran bulanan melalui pemotongan gaji secara berkala.

"Sampai sekarang saya belum dapat kartu BPJSnya, sementara kantor telah memotong iuran dari gaji. Saya capek mengurusnya, jadi lebih baik memang dibubarkan lalu uang yg telanjur dipotong dari gaji dikembalikan. Biar rakyat memilih sendiri metode berobat dan pencarian dananya," tulisnya yang juga menyatakan kontra pada kebijakan ini.

Meski awalnya kebijakan ini menuai pro dan kontra, pada akhirnya pemerintah tetap memberlakukan kenaikan tarif iuran BPJS per awal April lalu. Meski kenaikan tarif hanya berlaku untuk peserta kelas I dan kelas II saja, sudah selayaknya BPJS meningkatkan pelayanan untuk semua kelas.

Sebagai masyarakat kita juga harus tetap mengawasi kebijakan ini. Agar kemudian keputusan yang diambil pemerintah tidak merugikan rakyat dan malah menguntungkan satu pihak. Karena tentu saja kebijakan apapun yang diambil pemerintah harus berdasarkan pertimbangan matang dengan tujuan akhir adalah kesejahteraan rakyat. (YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun