[caption caption="Teman Ahok mengumpulkan dukungan melalui petisi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (1/3/2015). TRIBUNNEWS / DANY PERMANA"][/caption]Istilah deparpolisasi akhir-akhir ini sangat ramai diperbincangkan di ranah politik. Istilah ini seringkali digunakan untuk menggambarkan sikap atau tindakan yang sedang dilakukan pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap partai politik.
Sebenarnya istilah deparpolisasi ini pertama kali muncul dari mulut Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi menilai tindakan Ahok yang maju sebagai calon independen akan meruntuhkan struktur partai dan tentu saja hal ini harus dilawan. Bahkan lebih jelas, Prasetio sendiri mengungkapkan bahwa PDI-P akan melawan upaya deparpolisasi ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti baku dari deparpolisasi adalah "pengurangan jumlah partai politik". Bahkan pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Arie Sudjito menerangkan bahwa deparpolisasi adalah salah satu upaya pemandulan partai. Contoh jelasnya adalah dengan membatasi jumlah partai dan tidak memberi ruang pada partai politik.
"Ada kondisi politik yang bisa menghancurkan partai dan menghilangkan peran partai, itu baru deparpolisasi," ujar Arie dikutip dari Kompas.com (10/3/2016).
Memang satu sisi, istilah deparpolisasi ini terlihat akan berimbas negatif pada keberlangsungan sebuah partai. Namun di sisi lain, sikap ini muncul karena ketidakpuasan publik terhadap kinerja partai politik yang seringkali diwarnai politik transaksional. Sehingga publik menganggap deparpolisasi adalah solusi agar terbentuknya satu pemerintahan yang tidak dikontaminasi oleh intrik-intrik untuk satu kepentingan tertentu.
Kompasianer sebagai bagian dari publik juga tentu memiliki pandangannya masing-masing terhadap sikap deparpolisasi ini. Berikut ini adalah 7 reaksi Kompasianer soal deparpolisasi.
1. Senjakala Parpol Indonesia?
Pilkada 2017 memperlihatkan sikap petinggi parpol yang masih malu-malu untuk berkolaborasi. Seandainya parpol mau bersatu, maka akan muncul satu kekuatan dahsyat yang bisa saja dengan mudah mengalahkan calon independen. Namun jika sebaliknya maka hampir dapat dipastikan calon independen akan unggul seandainya parpol mengusung calon masing-masing. Hal inilah yang diutarakan Thamrin Dahlan dalam artikelnya.
Bahkan menurutnya, sikap deparpolisasi bisa menjadi senjakala bagi partai politik. Ini akan terjadi ketika parpol tidak mau bersatu padu dan mengedepankan egoisme masing-masing. Seharusnya, parpol mau sejenak menghilangkan arogansi partai masing-masing di Jakarta. Jika tidak, besar kemungkinan senjakala akan mendatangi partai politik di Indonesia.
2. Deparpolisasi atau Eliminasi Calon Independen
[caption caption="Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sumber: Kompas.com"]
Kompasianer Anis Kurniawan mengatakan bahwa memang benar deparpolisasi ini adalah salah satu bentuk kritik publik terhadap ketidakpuasan kinerja pemerintah yang terbelenggu partai. Menurutnya, praktik deparpolisasi seperti ini sudah terjadi di masa Orde Baru. Kala itu bukan hanya sejumlah parpol yang dibatasi, tetapi akses ke partai selain penguasa juga dilimitasi.
Agar tidak tergerus, parpol harus kembali ke dasarnya. Parpol harus memperbaiki iklim kepengurusan dan menjaga kader-kader berkualitas dan semakin demokratis. Parpol harus mengembalikan citra bahwa politisi tidak memiliki jarak dengan masyarakat, tetapi politisi dapat menyatu dengan masyarakat.
3. Bu Mega, Langkah Ahok Bukan Indikasi “Deparpolisasi” Tapi “Delegitimasi Parpol”
Satu artikel menarik digoreskan oleh Felix Tani. Ia mengkritisi tanggapan Ketua DPP PDIP yang menyatakan adanya keanehan jika parpol harus meminta izin pada Komunitas Teman Ahok jika mereka ingin mengusung Ahok sebagai calon Gubernur di Pilkada 2017. Felix mengatakan bahwa tidak ada yang aneh dalam hal tersebut. Sebab sudah cukup lama Teman Ahok memutuskan untuk mengusung Ahok secara independen, dan sudah cukup lama pula PDIP melakukan tarik ulur.
Bahkan lebih menarik lagi Felix menilai bahwa sinyalemen deparpolisasi sebenarnya adalah sikap "menyalahkan" pihak lain atas kegagalan parpol untuk mengusung satu calon. Lebih jauh, ia menilai staf PDIP yang mengungkapkan istilah "deparpolisasi" sebenarnya menyesatkan Bu Mega sebagai Ketua Umum PDIP.
4. Deparpolisasi, Gerakkan Rakyat Melawan Elite Partai KKN
[caption caption="Kontroversi ilustrasi gambar dari Teman Ahok. Sumber: kompas.com"]
Nolwi menilai saat ini parpol banyak menunjukan sikap yang seolah tanpa sadar telah melawan kehendak rakyat. Sikap itu antara lain; Pertama, Suara angka kemenangan parpol setelah pemilu dijadikan pintu masuk untuk mendapatkan kursi dalam dewan perwakilan rakyat. Kedua, jika ada anggota kader parpol yang terbukti terlibat tindakan pidana, akan sangat lama dalam memprosesnya. Ketiga, ada yang namanya mahar partai. Hal inilah yang memicu adanya KKN dalam tubuh pemerintahan.
Nolwi melanjutkan bahwa ternyata deparpolisasi adalah tindakan yang sangat layak dan jika mungkin akan dapat menjadi gerakan bersama untuk melawan kezaliman partai politik dan KKN.
5. Independen Tidak Sama dengan Deparpolisasi
Kompasianer Anang Prasongko menilai istilah deparpolisasi tidak dapat disamakan dengan pencalonan independen yang dilakukan Ahok. Ia mengatakan bahwa malah istilah deparpolisasi ini harus digunakan partai politik sebagai jalur membuat introspeksi diri, apakah kehendak rakyat selama ini diserap oleh parpol atau tidak.
Ahok, terlihat lebih puas dengan jalur independen yang bakal ia tempuh. Jalur ini terlihat tanpa rekayasa dan lebih murni karena tidak ada intervensi partai politik. Sehingga, mahar politik yang biasanya ada dalam satu pemerintahan bisa dikesampingkan.
Anang juga menilai, DKI adalah barometer perpolitikan di Indonesia. Jika kemudian jalur independen ini sukses menjadikan Ahok dan wakilnya sebagai pemimpin Jakarta, bisa jadi peran parpol akan bergeser nilainya. Oleh karena itu parpol perlu mengusung calon-calon yang berkualitas.
6. Momentum Parpol Bersatu di Pilkada Jakarta
[caption caption="(kiri ke kanan) Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil seusai melakukan pertemuan di Balai Kota, Kamis (25/2/2016). Kompas.com/Kurnia Sari Aziza"]
Ia menuliskan sebuah prediksi bahwa parpol pada waktunya nanti akan bersatu untuk melawan Ahok sebagai calon independen. Thamrin berkata demikian karena melihat bahwa saat ini adalah momentum yang paling tepat bagi parpol untuk bersatu padu mengalahkan calon independen. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena jika parpol tidak bersatu dan memiliki kandidat masing-masing, maka suara akan terpecah belah dan akan sulit mengalahkan Ahok.
Bersatunya parpol menjadi sebuah jurus untuk head to head melawan Ahok. Melihat hal ini seharusnya kewibawaan parpol menjadi tergugah dan tertantang dalam menghadapi kondisi. Memang akan aneh jika kemudian melihat parpol bersatu padu. Namun jika mengamati perubahan seperti ini, kita teringat akan azas utama yang berlaku dalam dunia politik, "Tidak ada kawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejat,".
7. Apakah Karena Ahok Tidak Kasih Mahar, Parpol Jadi Gerah?
"Istilah deparpolisasi bisa diartikan semakin banyak rakyat yang jemu melihat tingkah laku elit politik," seperti itulah yang opini Mike Reyssent yang tertuang dalam tulisannya.
Deparpolisasi memang sebuah istilah baru yang mencuat lantaran PDIP terlihat berang atas penolakan Ahok. Saking ebrangnya PDIP, bahkan sampai Megawati memerintahkan kadernya untuk melawan Ahok yang memilih jalur independen.
Masyarakat di sini seakan ingin memberi hukuman kepada parpol. Hal tersebut jelas tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Seharusnya, parpol berterima kasih telah diberikan peringatan ini oleh publik dan bisa menjadikan meomentum untuk sadar serta melakukan introspeksi diri. Bukan malah gerah dan marah selayaknya anak kecil.
Bahkan lebih jauh, Mike menilai bahwa setelah parpol tidak dapat mendiskreditkan Ahok dengan istilah deparpolisasi, muncul satu manuver baru yang mempersoalkan istilah mahar politik. Sebenarnya, mahar politik ini bukanlah hal baru yang harus disanggah oleh elite parpol, karena dengan begitu malah semakin membuktikan bahwa orang-orang di dalam parpol yang tidak mau berubah.
---
Politik sejatinya adalah hal yang dinamis. Kita tidak bisa memprediksi seperti apa pergerakannya. Mungkin sekarang politisi bisa mengatakan A, tapi hari berikutnya malah mengatakan B. Dan hal ini sah-sah saja ketika memang dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas. Namun jika hanya dilakukan untuk kepentingan pribadi dan partai, masyarkat malah akan menilai tindakan ini adalah sikap yang tidak konsisten.
Kemudian,istilah deparpolisasi yang mencuat mungkin memang benar adalah cerminan publik yang tidak puas atas adanya kepentingan parpol yang ditempatkan di atas kepentingan publik. Jika parpol tidak melakukan introspeksi diri, maka arti sesungguhnya dari deparpolisasi (kondisi politik yang menghancurkan partai) akan benar-benar terjadi. (Yud)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H