Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

10 Pro-kontra Penerapan Kantong Plastik Berbayar

19 Maret 2016   15:07 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 20185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Memperingati Hari Bebas Tas Keresek Sedunia, Aktivis Nol Sampah mengajak pengunjung menukarkan tas plastik dengan tas kain di Royal Plaza, Surabaya, Kamis (3/7/2014). Dalam aksi tersebut mereka mengajak masyarakat untuk tidak lagi menggunakan tas plastik karena plastik sulit terurai sehingga merusak lingkungan. Bulan depan pemerintah memulai program pembatasan kantong plastik di sejumlah kota/kabupaten di Indonesia. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)"][/caption]Terhitung sejak 21 Februari lalu, bersamaan dengan Hari Peduli Sampah Nasional, pemerintah memberlakukan kebijakan baru. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta berdasarkan Surat Edaran Nomor SE-06/PSLB3-PS/2015 tentang Langkah Antisipasi Penerapan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar pada Usaha Ritel Modern, pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar di pasar-pasar modern di Indonesia.

Kebijakan ini sebenarnya tidak begitu saja dilakukan. Pemerintah telah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan, Surat Edaran (SE) mengenai hal ini telah ditandatangani pada 17 Desember 2015 meski baru diberlakukan pada 2016 ini. Dalam penetapan ini, pemerintah memutuskan untuk mewajibkan konsumen yang berbelanja di pasar modern untuk membayar setidaknya Rp 200,- untuk mendapatkan satu kantong plastik. Tidak lain kebijakan ini diterapkan untuk menekan jumlah penggunaan plastik di Indonesia.

Memang saat ini Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah penggunaan plastik terbesar. Tentu saja ini disebabkan oleh angka populasi penduduk yang tinggi. Ada korelasi di antara kedua hal ini. Jumlah penduduk yang besar disertai dengan perilaku konsumtif menjadi faktor yang sangat wajar penyebab pemakaian plastik di Nusantara ini sangat tinggi.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tentu tidak dapat berdiam diri melihat hal ini. Oleh karena itu, kebijakan kantong plastik berbayar ini diberlakukan. Tentu saja keputusan ini diwarnai dengan pro dan kontra dari masyarakat. Nah, berikut ini adalah 10 tanggapan terpilih dari Kompasianer yang diambil dari topik pilihan Kantong Plastik Berbayar.

1. Plastik Berbayar, Sebuah Kebijakan ala Rokok

Jimin Andri Sarosa melihat ada persamaan antara kebijakan kantong plastik berbayar ini dengan kebijakan untuk mengurangi konsumsi rokok. Konyol adalah kata yang tepat untuk mencerminkan kebijakan ini. Menurutnya, pemerintah secara arogan mengorbankan masyarakat (konsumen) untuk membayar, padahal pemerintah tidak memiliki solusi alternatif. Alhasil, segala kebijakan yang dibuat menjadi mubazir.

2. Mengubah Perilaku Konsumsi melalui Kantong Plastik Berbayar

[caption caption="Seorang pramuniaga mengajak pengunjung untuk diet kantong plastik. Sumber: kompas.com"]

[/caption]Berbeda dengan Jimin, Safendrri Ragamustari memiliki pendapat yang berbeda. Keputusan pemerintah ini memang menuai pro dan kontra tapi tentu saja tujuan akhirnya adalah mengurangi volume penggunaan plastik. Safendrri menilai saat ini manusia, khususnya di Indonesia, sudah tidak lagi peduli akan kondisi bumi. Membuang sampah sembarangan seolah menjadi norma yang wajar. Dengan pemberlakuan aturan ini, ia menilai secara langsung dan mau tidak mau masyarakat selalu diingatkan untuk berpikir ulang mengenai pola konsumsi sehari-hari. Dengan begitu, secara perlahan masyarakat dapat mengubah perilaku konsumsinya melalui kebijakan ini.

3. Kurangi Plastik, Korbankan Pohon(?)

Ketika peraturan ini mulai diberlakukan, ada banyak cara yang dilakukan pelaku bisnis pasar modern untuk tetap melayani pelanggannya. Salah satunya adalah mengganti plastik dengan kardus bekas untuk pelanggan yang berbelanja dalam jumlah cukup besar. Indra Furwita menyatakan bahwa kebijakan ini seperti dua mata pisau yang tajam. Ketika plastik dikurangi penggunaannya, bahan lain seperti kertas atau kardus malah diperbanyak.

Padahal, bahan baku pembuat material tersebut adalah kayu atau pohon. Secara tidak langsung kebijakan ini selain menekan penggunaan plastik, justru malah mematikan banyak pohon. Kendati demikian, ia optimistis akan banyak industri kreatif yang memanfaatkan momentum ini. Bisa saja muncul kantong belanja multifungsi dengan desain yang kreatif dan bermanfaat.

4. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, Cari Muka sama Jokowi

[caption caption="Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Sumber: Kompas.com"]

[/caption]Kompasianer Mawalu mengungkapkan unek-uneknya soal kebijakan ini. Ia menilai pemberlakuan kebijakan kantong plastik berbayar ini merupakan manuver Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya untuk selamat dari isu reshuffle yang akan dilakukan Presiden Jokowi saat itu. Menurutnya, jika ingin mengurangi pemakaian kantong plastik, ada alternatif lain yang bisa dilakukan, seperti membuat kantong plastik yang ramah lingkungan dan dapat di-recycle dalam tempo waktu yang tidak lama.

5. Kantong Plastik Berbayar: Harga Terlalu Murah, Mestinya Patok Harga Mahal dan Diikuti Sosialisasi Terus-menerus

Saat ini harga yang dipatok untuk setiap kantong plastik adalah Rp200,00 memang terbilang cukup murah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suci Handayani Harjono. Ia menilai, program kantong plastik berbayar sejatinya dapat menekan penggunaan kantong plastik di Indonesia. Namun, ada pertanyaan apakah program tersebut bisa bertahan lama?

Harga Rp 200,- adalah nominal yang tidak begitu mahal, apalagi kebijakan ini diterapkan di pusat perbelanjaan atau ritel modern yang notabene pembelinya adalah orang-orang menengah ke atas. Suci mengatakan kondisinya akan berbeda jika satu kantong plastik dibanderol dengan harga yang lebih mahal, misalnya Rp5.000,00. Hal ini mungkin akan membuat masyarakat, baik kalangan menengah atas maupun bawah untuk berpikir ulang menggunakan kantong plastik.

6. Soal Sampah Plastik, Mengapa Hanya Konsumen yang "Dibidik"?

[caption caption="Usaha retail modern. Sumber: Kompas.com"]

[/caption]Dalam ketentuan kebijakan plastik berbayar, memang benar biaya sepenuhnya dibebankan kepada konsumen karena konsumenlah pengguna akhir. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tersendiri, mengapa hanya konsumen yang diberi beban, bagaimana dengan pemerintah dan pelaku usaha? Kompasianer Ilyani Sudardjat juga mempertanyakan hal ini dalam artikelnya. Ia juga berpendapat seharusnya Indonesia dapat menjadikan Jepang sebagai panutan dalam mengelola sampah plastik.

Di Jepang, pengelolaan sampah plastik ini sudah benar-benar teroganisasi dan mereka dapat menekan penggunaan plastik. Selain itu, Ilyani menganggap bahwa biang keladi dari banyaknya sampah plastik ini adalah pelaku usaha itu sendiri. Kita bisa melihat ada banyak produk yang juga menggunakan plastik sebagai kemasan. Hal inilah yang seharusnya tidak luput dari pantauan pemerintah sebagai regulator.

7. Bukan Masalah 200 Perak untuk Kantong Kreseknya, tapi...

[caption caption="Ilustrasi - belanjan di supermarket (Shutterstock)"]

[/caption]Seperti yang diulas sebelumnya, harga plastik berbayar yang kisaran Rp 200 hingga Rp 500,- memang seolah tidak menjadi masalah. Harga tersebut hanyalah masalah kecil jika dibandingkan seberapa banyak belanjaan yang kita beli di pasar modern. Namun, Giri Lumakto menelaah apa sebenarnya yang ada di balik kebijakan ini. Ya, tentu saja untuk menyadarkan masyarakat atas masalah sampah yang selama ini terjadi.

Berdasarkan data yang Giri kumpulkan, Jakarta menghasilkan sebanyak 5,4 juta ton sampah setiap tahun dan 13% darinya adalah sampah plastik. Bagaimana 5 hingga 10 tahun mendatang? Gunungan sampah tentu akan semakin tinggi. Menurutnya, jika kantong plastik terus digratiskan, masyarakat tidak akan sadar betapa berbahayanya sampah plastik ini.

Membayangkan ke depannya anak-cucu kita akan melihat warisan gunungan sampah yang tidak terurai karena ulah kita saat ini tentu bukan hal indah. Giri menyatakan bahwa dalam kebijakan ini bukanlah harga atau uang yang harus dikeluarkan dalam setiap kantong plastik, tetapi adalah bagaimana masyarakat sadar terhadap bahaya penggunaan plastik yang tidak terkontrol.

8. Yuk, Mulai Belanja Cantik Tanpa Kantong Plastik

[caption caption="Ecobag, tas untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Sumber : sains.kompas.com"]

[/caption]Dalam artikelnya, Kompasianer Ariyani Na mengajak kita untuk mulai menggunakan wadah alternatif selain plastik ketika berbelanja. Selain itu, ia menganalisis adanya beberapa faktor yang menyebabkan tingginya penggunaan plastik dari sudut pandang seseorang yang sering berbelanja. Pertama adalah berkurangnya penggunaan koran bekas. Biasanya, ketika seseorang berbelanja semisal bawang, cabai atau bumbu lainnya wadah yang digunakan adalah koran bekas. Namun, sekarang semuanya dimasukkan dalam kantong plastik.

Kedua adalah harga kantong plastik yang tergolong murah. Memang benar jika kita mencoba membeli plastik yang biasanya digunakan di warung-warung, harga per kantongnya tergolong sangat murah. Ini juga menjadi salah satu faktor banyaknya penggunaan plastik di masyarakat. Kemudian yang ketiga, Ariyani melihat perlilaku dan kebiasaan masyarakat yang ingin praktis atau malas repot. Perilaku inilah yang juga mendorong banyaknya sampah plastik di lingkungan.

9. Rp200,- untuk Setiap Kantong Plastik, Kenapa Dibebankan kepada Konsumen?

Sama seperti artikel yang dituliskan Ilyani. Kompasianer bernama Ryan juga menyoroti pembebanan biaya kantong plastik yang hanya ditujukan kepada konsumen. Ia mencoba menganalisis hal ini. Menurutnya, penyediaan kantong plastik sejatinya adalah bagian dari servis yang diberikan pelaku usaha kepada konsumen. Dengan kata lain, kantong plastik adalah kewajiban si pemilik toko. Ia melihat ada kejanggalan dalam hal ini.

Jika ditelaah, dengan membayar ekstra untuk sebuah kantong plastik malah memberikan peluang atau lahan baru bagi si pemilik usaha untuk mencari keuntungan. Seharusnya, langkah tepat yang diambil adalah peritel harus menyediakan kantong berbahan lain untuk digunakan konsumen. Dengan begit,u ada alternatif selain plastik dan ini tentu saja bisa menekan angka penggunaan plastik.

10. Plastik Hancur-leburkan Sekat-sekat Primordialisme dan Tantangannya bagi Ilmuwan

[caption caption="Sampah plastik yang kian mengotori sungai. Sumber: Kompas.com"]

[/caption]Sebuah sudut pandang menarik disajikan Yosafati Gulo dalam artikelnya. Ia mengatakan bahwa plastik sejatinya telah melepas sekat-sekat primordial yang ada di masyarakat. Semua kalangan pasti menggunakan plastik, dari pengemis hingga presiden, daro kalangan bawah hingga kalangan atas. Yosafati menyoroti kebijakan baru yang diterapkan ini. Menurutnya, kebijakan ini terbilang berhasil dengan indikator berkurangnya penggunaan plastik di masyarakat.

Namun, jika berbicara perlu atau tidaknya mengurangi sampah plastik, Yosafati mengatakan hal tersebut masih memiliki efek yang kecil. Karena meski sampah plastik tersebut dapat didaur ulang, ujung-ujungnya akan menjadi sampah juga. Efek tersebut juga semakin tidak signifikan melihat harga kantong plastik berbayar yang terbilang sangat murah. Hal inilah yang memunculkan tantangan bagi ilmuwan. Adalah mustahil jika pemakaian plastik sepenuhnya dihentikan. Maka dari itu, diperlukan campur tangan ilmu pengetahuan untuk setidaknya menemukan cara mempercepat penguraian plastik di lingkungan. 

-----

Itulah beberapa opini Kompasianer tentang penerapan kebijakan kantong plastik berbayar yang beberapa waktu lalu diresmikan. Memang, jika dilihat dalam kajian ilmu pengetahuan, plastik adalah material yang sulit untuk diurai oleh tanah. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya untuk melebur material ini secara tuntas. Oleh karena itu, agar sampah plastik tidak terus menggunung, dibutuhkan peranan seluruh lapisan masyarakat untuk ikut mengurangi penggunaan kantong plastik. Tidak indah bukan kalau kita membayangkan anak-cucu kita mendapatkan warisan gunungan sampah plastik? (yud)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun