[caption caption="TOTO SIHONO Ilustrasi Pers, Media, Fotografi, dan Kebebasan Pers"]
[/caption]Sudahkah sejahtera itu menjadi milik mereka, di kala Hari Pers Nasional (HPN) disangka sebagai simbolis semata? Integritas dan menjaga etik moralitas selalu berada di muka para pewarta. Meski demikian, aneka kegundahan kerap terlihat menganga di sela-sela langkah meracik berita.
Dalam rangka menyemarakkan Hari Pers Nasional, para lakon jurnalisme warga turut berbagi cerita, bicara, dan bersuara lewat kata-kata. Inilah tujuh catatan Kompasianer dalam topik pilihan Hari Pers Nasional 2016.
1. Siapa Bilang Wartawan nggak Boleh Kaya?
[caption caption="KOMPAS/Irene Sarwindaningrum"]
Hadi pun teringat kembali mana kala ia masih berseragam wartawan yang sering dicurhati kawan sesama wartawan perihal gajinya yang minimalis. Malah ada seorang rekannya yang tidak digaji oleh media tempatnya bekerja. Baru mendapat pesangon bila mampu mendapat iklan. Bila tak dapat iklan, tentu dapat ditebak bagaimana hari-harinya.
Ia pun berharap pekerja pers semakin sejahtera, ”Sejahtera dengan cara yang benar. Sejahtera karena mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki. Sejahtera karena kemauan dan kemampuan menghasilkan karya-karya jurnalistik yang mencerahkan dan menggerakkan negeri ini ke arah yang lebih baik.”
2. Liviana dan Hari Pers Nasional
Untuk turut memeriahkan Hari Pers Nasional 2016, Kompasianer penggemar nasi pecel, Gapey Sandy, pun menelisik pendapat salah satu insan pers yang bernaung di bawah televisi berita Kompas TV, yakni Liviana Cherlisa Latief.
Menurut Livi, kemajuan pers nasional saat ini adalah menjadi lebih bebas berekspresi. Berbeda dengan era masa lalu, yakni era di mana era Sumita Tobing menjabat sebagai Direktur Utama TVRI, di mana pers memiliki ruang yang terbatas untuk mengomentari pemerintah. Berbeda dengan saat ini, media dapat mengungkapkan apa pun tentang pemerintah selama berada dalam konteks dan koridor yang positif.
Livi pun mengungkapkan bahwa salah satu tantangan bagi insan pers selain dominasi pemilik modal adalah peran media sosial yang sangat besar.
[caption caption="Jurnalis Kompas TV, Liviana Cherlisa Latief. (Foto: Google+ Liviana Cherlisa)"]
3. Hati-hati dalam Menulis Berita
[caption caption="Berita utama Harian Kompas 24 September 1977 berjudul "Akibat Panen Gadu Tidak Berhasil, 88.000 Penduduk 5 Kecamatan di Karawang Menderita" ditulis oleh Her Suganda. Berita-berita yang ditulisnya dari Karawang sering menjadi berita nasional dan mendapat reaksi dari pemerintah pusat."]
Sangat disayangkan bila berita sudah kadung diedarkan dan menjejali ruang publik sementara fakta terabaikan. Agus pun membenarkan pernyataan Bagir Manan, bahwa di era digital media dituntut untuk membuat berita yang lengkap dan akurat. Kedalaman berita dibutuhkan, dan tetap berpijak pada fakta.
4. Pers antara Idealisme dan Pragmatisme
Saat insan pers memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2016 lalu bersama Presiden Joko Widodo, menurut Musni Umar, sebaiknya melakukan introspeksi ke dalam dengan melihat kelemahan dan kekurangan untuk dibenahi dan ditingkatkan. Selain itu, pers harus pula melakukan introspeksi tentang perannya dalam pembangunan khususnya dalam menciptakan optimisme seluruh bangsa Indonesia.
Sebagai industri yang menghidupi dirinya dari menjual berita, pers dihadapkan dengan dua sisi, yakni antara idealisme dan pragmatisme. Bila pers hanya mengandalkan idealisme, usianya akan pendek karena publik tidak banyak yang suka membaca berita yang penuh idealisme. Sebaliknya, kalau pers hanya memberitakan yang disukai masyarakat, pers dipastikan akan bertahan dan maju jika dikelola secara profesional, tetapi isinya bisa tidak mendidik, tidak mencerahkan dan memberi optimime.
Lalu, bagaimana sebaiknya pers Indonesia memosisikan diri? Menurut Musni Umar, pers Indonesia bisa berperan ganda, menyebarluaskan berbagai berita yang terjadi di masyarakat setiap saat, tetapi jangan hanya sisi negatifnya yang diberitakan, tetapi juga hikmat di balik peristiwa yang terjadi, agar masyarakat mendapat pelajaran dari setiap peristiwa.
5. HPN 2016, Apakah Acara Makan-makan Saja?
Membaca coretan tinta kegalauan wartawan senior Bre Redana berjudul "Inikah Senjakala Kami...," membuat Satria Zulfikar Rasyid pesimis dengan nasib media cetak. Demi menjawab pesimisme itu, ia pun berdiskusi dengan Adam Gottar Parra, Budayawan NTB, sembari berharap di Hari Pers Nasional 2016 ini dapat menjawab kegundahan Bre Redana. Namun, rupanya Adam justru beranggapan HPN adalah acara makan-makan saja, sebatas simbolis tahunan dan belum menjawab problema di level kebangsaan ini.
Satria Zulfikar Rasyid pun berharap serta dapat menyentuh semua pihak bahwa HPN bukan seremonial tahunan semata, namun dibutuhkan sikap responsif mengadvokasi mereka yang terjebak dalam ruang-ruang tiran yang tersisa di alam demokrasi.
6. Berita Kontroversi Asyik, tapi Mengusik
[caption caption="KOMPAS.com / Mei Leandha Aksi solidaritas jurnalis di Medan yang tak terima rekannya di Paluta di aniaya polisi"]
Media setiap saat terus menjejali khalayak dengan berbagai suguhan informasi yang secara tidak langsung membuat suasana semakin tegang, dan bisa jadi menimbulkan rasa ketakutan. Syafrul pun mempertanyakan, di mana letak manfaat tayangan-tayangan dari sajian media tersebut? Serta di mana peran media yang bisa melakukan edukasi kepada publik?
Bersamaan dengan lahirnya beragam bentuk media serta caranya menyajikan berita, tumbuh pula daya cermat masyarakat dalam menyaring kebenaran di antara pemberitaan yang mencemaskan.
7. Kisah Udin, Pers dan Politik
Kisah Udin, tukang batu yang memiliki jiwa penanya pun diuraikan oleh Webe. Keterbatasan ekonomi Udin menyebabkannya mengundurkan diri dari kuliah di Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia (UII), DI Yogyakarta, bekerja membantu ayahnya sebagai tukang batu. Demi mengasah kembali jiwa kritisnya, Udin bekerja sebagai kontributor dan loper Harian Bernas sejak 1986. Ia mengawali perjalanannya dengan sepeda pinjaman milik tetangga dengan mengayuh sejauh 13 kilometer dari Bantul menuju DI Yogyakarta.
Dalam buku berjudul "Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah", Marsiyem, istri Udin, menulis: Menjadi seorang wartawan memang telah menjadi tekadnya sejak awal. Bahkan, sejak dini ia juga menyadari berbagai resiko yang harus dihadapi dengan pilihan tersebut… Suatu saat pernah dia bilang, walaupun harus mati akan aku terima...
"Jadi, mengapa Udin harus dibunuh?" Inilah pertanyaan yang masih tersisa di tengah era geliat dunia warta.
Pengakuan istri Udin tersebut mengingatkan pada Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Profesi wartawan bersendikan pada hati nurani dan kebenaran. Demikian juga, demokrasi berlandaskan kejujuran, kebenaran, dan hati nurani. Demokrasi butuh kritik, sebab demokrasi tidak akan berkembang alias mati, jika tidak ada kritik.
[caption caption="KOMPAS/LASTI KURNIA Presiden Joko Widodo memberi sambutan pada perayaan Hari Pers Nasional 2016 di Pantai Kuta, Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/2/2016). Presiden meminta agar pers Indonesia bisa menggerakkan dan membangun optimisme publik dan rasa nasionalisme. Jangan sebaliknya, membuat pemberitaan yang memengaruhi masyarakat menjadi pesimistis."]
Dalam perjalanan di lapangan realitas yang mahaluas dan keras, jurnalis kita mampu lahirkan kilas berkas-berkas dengan harapan yang semakin bertunas. (KOB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H