Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kisah Udin, Pers dan Politik

10 Februari 2016   08:37 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Presiden Jokowi memberi sambutan pada hari pers nasional di Pantai Mandalika Lombok NTB (foto akun twitter @pramonoanung)"][/caption]

Fuad Muhammad Syafruddin akrab disapa Udin, ayah dua anak dari buah pernikahannya dengan Marsiyem, Zulaikha Dito Khrisna dan Zulkarnaen Wikanjaya ini menghabiskan separuh hidupnya--lahir pada 18 Februari 1963 di Dusun Gedongan, Desa Trirenggo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, dari orang tua, Duchori alias Wagiman Jenggot dan Mujilah. Dunia kewartawanan adalah hidupnya, menulis untuk menunaikan hak masyarakat memperoleh informasi tentang sebuah peristiwa. Kebebasan pena Udin berpindah-pindah untuk mengungkap tabir perilaku koruptor di wilayah tugasnya, sebagai wartawan harian Bernas DI Yogyakarta. Namun, ketajaman pena Udin harus dijawab oleh 'sang pembaca' untuk menggebuki di depan rumah kontrakannya, di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 DI Yogyakarta, pukul 23.00 WIB, tanggal 13 Agustus 1996. Beberapa hari kemudian, pukul 16.58 WIB, tanggal 16 Agustus 1996, Tuhan berkehendak lain, Udin harus meninggalkan keluarga yang dicintainya, dan Harian Bernas yang membesarkan dunia kewartawanannya. 

Keterbatasan ekonomi, Udin mengundurkan diri dari kuliah, Fakultas Tarbiyah Universutas Islam Indonesia (UII), DI Yogyakarta. Ia mulai bekerja membantu ayahnya, sebagai tukang batu, dan tetap mengembangkan jiwa penanya, sebagai kontributor dan loper harian Bernas sejak tahun 1986. Ia mengawali perjalanannya dengan sepeda pinjaman milik tetangga dengan mengayuh sejauh 13 kilometer dari Bantul menuju DI Yogyakarta. Tahun 1989, Udin meminjam sepeda motor bebek Yamaha V80 milik ayahnya, jika sedang tidak dipakai. Tahun 1995, honor tulisan ia kumpulkan, Udin mampu membeli sepeda motor Tiger 2000, dan membuat studi foto di rumah kontrakannya, dengan nama 'Khrisna' anak pertama Udin. 

Inilah tulisan Udin yang jujur, apa adanya dan lugas. Harian Bernas edisi 26 Juli 1996, Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul: Dana IDT Hanya Diberikan Separuh. Harian Bernas edisi 6 Juli 1996, Soal “Petuah Politik” Bupati Bantul: Bupati Bantul Dinilai Congkak. Harian Bernas edisi 9 Juli 1996, “Petuah Politik”, Badai yang Datang di Bantul. Menulis tentang kebenaran berarti menulis tentang kejujuran, apa adanya, dan tidak semua orang, termasuk penguasa--bahagia membaca kejujuran, kenyataan yang ada. Penguasa biasanya fobia terhadap kritik yang berdasarkan fakta, kejujuran dan kebenaran. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta membentuk Tim Pencari Fakta atas kematian Udin, yang diduga Udin dibunuh karena berita. Senada, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga meyakini latar belakang kematian Udin, diduga terkait tulisannya di Harian Bernas, yang menyangkut kemungkinan adanya manipulasi tanah dan pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal di Kabuaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta.  Seperti tertuang dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, keyakinan itu didasarkan antara lain pada informasi reserse di Kepolisian Wilayah DIY. Saat itu, menurut buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, di whiteboard ruang Kepala Bagian Reserse Polwil tertulis dengan spidol lima berita yang diduga menjadi latar belakang penganiayaan Udin, yakni soal IDT, petuah politik, dana satu miliar, pergantian bupati, dan tidak beresnya pengurusan sertifikat tanah. 

Dalam buku Kasus Udin: Liputan Bawah Tanah, Marsiyem, istri Udin, menulis. “Menjadi seorang wartawan memang telah menjadi tekadnya sejak awal. Bahkan, sejak dini ia juga menyadari berbagai resiko yang harus dihadapi dengan pilihan tersebut… Suatu saat pernah dia bilang, walau pun harus mati akan aku terima. Itulah yang selalu aku ingat dalam benakku dan membuatku harus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku pun harus siap terhadap segala resikonya. Namun jujur aku akui, sebenarnya aku tidak siap dengan resiko seberat ini… Terakhir, untuk rekan-rekan wartawan di seluruh penjuru dunia yang sempat membaca ini, teruskanlah perjuangan kalian dalam membela kebenaran dan keberpihakan terhadap rakyat kecil. Aku tahu, untuk itu kalian harus menghadapi tantangan dan ancaman yang mungkin akan merenggut nyawa kalian. Tetapi itulah arti sebuah perjuangan.” 

Pengakuan istri Udin, Marsiyem tersebut mengingatkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Profesi wartawan bersendikan kepada hati nurani dan kebenaran. Demikian juga, demokrasi berlandaskan kejujuran, kebenaran, dan hati nurani. Demokrasi butuh kritik, sebab demokrasi tidak akan berkembang alias mati, jika tidak ada kritik. Demokrasi selalu identik dengan kemerdekaan mengungkapkan pendapat. Jika kemerdekaan berpendapat ini dihalangi, demokrasi sebagai sistem politik akan terancam. Tidak jarang, meski demokratisasi harus digelindingkan, intimidasi, ancaman, pergerakan massa, dan kekerasan fisik kerap kali menjadi sarana dominan bagi tujuan-tujuan politik. Udin menjadi tumbal semua itu. Bahkan, 'udin-udin' lain di pelosok negeri ini. Dalam Pernyataan Sikap Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk Hari Kemerdekaan Pers 2015, ada delapan kasus pembunuhan jurnalis tanpa ada pengusutan terhadap pelaku. Tujuh jurnalis lainnya adalah Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

Apakah kekuatan media mengancam demokrasi?

Dalam sambutan dalam puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Pantai Kuta, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Selasa (9/2), Presiden Joko Widodo mengharapkan pers Indonesia bisa menggerakkan dan membangun optimisme publik serta etos kerja masyarakat. Dan, membangun produktivitas masyarakat. Namun, sering kali yang muncul pers atau media memengaruhi masyarakat menjadi pesimistis. Menurut Jokowi, pers sering kali terjebak pada berita-berita yang sensasional, ditambah dengan komentar pengamat, maka akan semakin ramai. Terdapat berita-berita dengan judul “Semua pesimistis, target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, pemerintah gagal, aksi teror akan habis sampai kiamat, kabut asap tidak teratasi, Riau terancam merdeka". Bahkan, berita yang lebih seram adalah "Indonesia akan bangkrut dan hancur, rupiah tembus 15 ribu, Jokowi JK akan ambruk”. 

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan siaran persnyaTiga Sinyal Jokowi Ingin Belenggu Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Pers. Pertama, melalui draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan diajukan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat, dengan menghidupkan lagi pasal penghinaan kepala negara yang sudah dihapus melalui keputusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga tidak berupaya menghapus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di ranah Internet. Draf revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disusun Kemenkominfo masih memuat ancaman pemidanaan terhadap kebebasan berpendapat, tidak menghapuskan seperti yang didesakkan oleh masyarakat sipil. Ketiga, upaya Jokowi membelenggu kebebasan berpendapat adalah seperti disinggung dalam pidatonya  di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat 14 Agustus 2015. Jokowi berpidato“Lebih-lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.” Meski tidak eksplisit, Jokowi menempatkan dua pernyataan tendensius dalam satu paragraf yang sama, sehingga mengesankan, semua media, termasuk yang sungguh-sungguh bekerja melayani publik, sebagai kambing hitam.

Dalam tulisan Thomas Ferenczi dalam CSD Bulletin, Volume 8 Nomor 1 edisi tahun 2000-2001, demokrasi akan terancam jika media begitu dekat dengan partai politik, korporasi besar, dan jika media merupakan kekuatan dominan dalam masyarakat. Demokrasi membutuhkan checks and balance. Di sinilah, media, pers berperan.

Jadi mengapa Udin harus dibunuh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun