Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

6 Penolakan Dilarang Beroperasinya Ojek dan Taksi Online

24 Januari 2016   19:42 Diperbarui: 31 Maret 2016   14:53 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - aplikasi ojek online (Kompas.com)"][/caption]Hanya dua hal yang Endang Pelung kuasai: mengendarai sepeda motor dan menggagahi istrinya setiap hari. Setidaknya, itu yang tergambar dari sosok Endang Pelung dalam novel “Ojekers”. Sebuah novel yang dianggit Nezaretta ini, Ojekers, adalah kisah hidup tukang ojek yang dikemas secara komedi. Penuh humor sana-sini. Barangkali, dengan menertawakan diri sendiri, ada sedikit yang bisa kita pelajari.

Endang Pelung merupakan tukang ojek yang andal. Sebagai kepala keluarga, di rumah ia menafkahi seorang istri dan sepuluh anaknya. Kadang bila sedang tidak “narik”, saat di pangkalan, Endang Pelung kerap diranda kebingungan: mengapa hanya mengendarai sepeda motor yang ia bisa? Namun, yang lebih membingungkan lagi, mengapa istrinya mudah sekali hamil –tiap tahun melahirkan. Sekali waktu temannya pernah berkelakar: si Engkom, istrinya Endang Pelung, bisa langsung hamil walau baru dipelototi.

Sebagai tokoh utama, Endang Pelung adalah simbol perlawanan pada nasibnya yang malang. Ia tidak ingin hidup melulu susah, melulu miskin. Tukang ojek seperti Endang Pelung juga berhak bahagia, sebagaimana orang-orang pada umumnya. Ia berusaha di atas usaha tukang ojek lainnya. Tidak hanya menunggu penumpang di pangkalan, tapi ia menjemput pelanggan: menjadi antar-jemput seorang anak sekolah yang dibayar bulanan, ia juga menerima jasa kirim-kirim barang, sampai pada satu waktu Endang Pelung berkesempatan jadi bintang iklan.

Adalah Endang Pelung, sosok tukang ojek yang tidak menolak akan suatu perubahan. Ia menerima perubahan seiring berkembangnya zaman. Akan sangat wajar bila tukang ojek pun bertransformasi. Paling tidak, melek teknologi. Lalu, akan sangat menggelikan bila kita ingat: Menteri Perhubungan mengeluarkan surat untuk Korps Lalu Lintas Polri yang isinya mengingatkan Polri bahwa sepeda motor bukanlah angkutan umum berdasarkan undang-undang. Lantas bagaimana nasib tukang ojek?

Tentu hal semacam itu menuai kontroversi dan sudah tentu muncul beragam opini. Oleh karenanya, kami menghimpun beragam opini, cerita pengalaman pribadi, atau reportase perihal pelarangan tersebut yang terangkum dalam topik pilihan Ojek dan Taksi Online Ilegal

1. Menebak Masa Depan Gojek (Level 1 - Status Gojek)

Sebelum pemerintah ujug-ujug melarang dan mencabut kembali larangan keberadaan transportasi seperti ojek dan taksi online, ada baiknya kita memahami dulu duduk perkaranya. Statusnya. Dari apa yang ditulis Isjet, di lapangan, ojek bukanlah barang haram, bahkan tidak lagi menjadi angkutan umum alternatif, tapi angkutan umum yang berdampingan dengan angkutan umum lainnya.

Lalu, yang patut digarisbawahi adalah, tempat di mana ojek online itu berkembang, Pemerintah Daerah mendukung keberadaannya. Kapolda juga.

"Lantas kalau ojek itu ilegal di mata hukum, bagaimana dengan Gojek yang bisnisnya dijalankan oleh perusahaan yang punya badan hukum? Akankah bisnis digital yang melibatkan pemilik sepeda motor dan menyediakan jasa angkutan manusia dan barang berbayar ini akan menjadi legal di kemudian hari?"

2. (Larangan Ojek) Hukum untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Hukum

Hanya sehari umur pengumuman Menteri Perhubungan itu, Ignasius pun mematuhi perintah Presiden, dengan mencabutnya pada Jumat siang. Melihat itu, Daniel HT menganggap bahwa adanya kurang komunikasi dengan masyarakat oleh pemerintah untuk mengetahui perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat masa kini. Nyatanya, masyarakat berkembang baik secara ekonomi maupun teknologi.

"Mungkin karena Ignasius tidak akrab dengan media sosial, dan kurang punya kreatifitas dan inovasi, maka cara berpikirnya itu terlalu terpaku kepada ketentuan yang ada di Undang-Undang."

Mungkin. Barangkali apabila hukum sedemikian tertinggal dengan perubahan sosial dan kebutuhan akan hal-hal baru dalam masyarakat, maka pejabat negara berwenang harus bisa melihat manakah yang lebih penting, kebutuhan masyarakat itu ataukah penegakan hukum berdasarkan undang-undang.

3. Ojek Online Solusi Sementara Masalah Transportasi di Jogja

Saat ojek online dilarang, Swadestawasesamerasa panik, walau tidak terlalu. Alasannya pun sederhana: selama setahun belakangan, ojek online sudah membantu masyarakat, khususnya Yogya. Yang lebih penting lagi, ojek online mampu mengatasi persoalan buruknya akses dan ketidakadilan transportasi di Yogya.

Pada tulisannya, ada juga sedikit kritik untuk para pengusaha ojek online:

"Yang kudu diperhatikan pengusaha ojek online adalah adanya potensi mengurangi penjualan sepeda motor atau mobil pabrikan yang mungkin akan melahirkan serangan balik cepat. Kudu dipikirin bener tuh strateginya kalau sampai kejadian beneran."

4. Gara-gara Gojek

Sewaktu Motulzsedang menikmati santap siang di warteg sekitaran Jl. Fatmawati, seorang yang tidak ia kenal tiba-tiba saja berujar, "Semua gara-gara gojek, nih." "Sebelum ada GoJek kayaknya dunia perojekan gak ribut-ribut kayak gini koq," lanjut dia. Sontak Motulz langsung berpikir dan menanyakannya dalam hati: benarkah?

Dalam tulisannya, Motulz menjelaskan juga bahwa sejak zaman Ali Sadikin pun transportasi ojek itu memang tidak ada payung hukumnya atau legalitasnya. Hingga pada akhirnya suka atau tidak suka, kini ojek sudah jadi bahasan legalitas, ia dipaksa untuk dibahas ke ranah hukum. Tak heran jika Menhub pun mengusulkan perubahan UU atas ojek ini.

Poin yang menarik dari tulisan ini adalah ketika membandingkannya dengan warteg. Ya, warteg:

"Jika saya membayangkan keberadaan ojek selama ini yang beroperasi tanpa izin hukum, sebetulnya sama dan mirip dengan pedagang warteg. Mana ada sih warteg di Jakarta yang beroperasi dengan izin usaha? Ada pajak? Ada aturan bisnis dan persaingan antar warteg? Apa iya kementerian perdagangan mengatur tata kelola bisnis warteg? Keunggulan warteg adalah murahnya, kenapa? Karena mereka tidak kena pajak dan aturan buruh kerjanya. Tapi apa yang disangsikan oleh konsumen atas warteg? Adalah kebersihannya."

5. Melihat Kembali Strategi Uber, Regulator, dan Sopir Taksi di Canada

Ada dua cara untuk mendapatkan sebuah jawaban: mendalaminya atau membandingkan antara satu serta lainnya. Melihat pelarangan ojek dan taksi online yang dilakukan pemerintah ketika itu, ada baiknya kita coba membandingkan dengan negara lain, Canada misal. Dalam hal ini, Lion Star, mencoba melihat secara objektif bagaimana tiga pihak utama yang berkepentingan, yaitu perusahaan Uber, regulator, dan sopir taksi resmi memainkan strategi mereka, termasuk juga sikap dari sebagian besar konsumen Uber.

"Di Canada transportasi Uber juga masih menjadi kontroversi dan dianggap illegal karena mereka tidak mau mengikuti aturan regulasi untuk angkutan umum taksi."

Kelima cara yang dilihat Lion Star tentang regulasi taksi online ini adalah: strategi bayar uang kontribusi ke Pemda, strata tarif Uber yang variatif, strategi merangkul stakeholder membela uber, strategi sopir taksi resmi di Canada, dan persyaratan menjadi supir taksi di Canada.

6. Gojek di Jakarta, Google Car di California, Keduanya Terbentur Regulasi

Ternyata tidak hanya di Indonesia dan Canada ojek dan taksi online terbentur regulasi, Amerika juga. California, lebih tepatnya menurut Ruslan H. Ide gojek ini sangat brilian, menurutnya. Pada intinya adalah mempertemukan pelanggan yang membutuhkan jasa dengan pemberi jasa, yaitu pengemudi ojek. Walau hal tersebut sudah dilakukan di Amerika beberapa puluh tahun lalu.

Namun yang menjadi persoalan adalah ketika Department of Motor Vehicles (DMV) negara bagian California mengeluarkan draft regulasi yang tidak memasukkan Driverless Car sebagai kendaraan yang diakui. Driverless car adalan mobil tanpa pengemudi.

"Regulasi ini akan berimplikasi Google Car tidak diperkenankan dipakai di jalan raya. Chris Urmson, salah satu petinggi Google yang membawahi divisi driverless car menyayangkan hal ini. Driverless car ciptaan Google ini tidak akan bisa memanfaatkan hasil maksimal rancangan olah pikir orang orang brilian di Google."

***

Bila kita sepakat bahwa dalam dunia di mana waktu adalah lingkaran, seperti halnya Alan Lightman utarakan dalam novel pertamanya, Einstein’s Dreams: setiap jabat tangan, setiap ciuman, setiap kelahiran, setiap kata akan berulang persis.

Sudah tentu Endang Pelung tidak paham hal-hal yang dimaksud itu. Satu-satunya yang dipahami adalah tetap menjadi tukang ojek, apa pun yang terjadi. Mengantar-jemput penumpang atau barang dan sembari berharap: semuanya terulang kembali, setiap hari. Sebab di rumah, ada keluarga yang mesti dinafkahi. Walau suatu saat pemerintah akan melarangnya, sebagaimana dulu terulang lagi. Dan tukang ojek, tak ayalnya seperti arca yang hanya bisa mengingat riwayatnya terdahulu. [HAY] 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun