[caption caption="Wicak Hidayat/KompasTekno (ilustrasi diolah dari foto Public Domain di Pixabay.)"]
5. Kenapa Harus Salahkan Presiden?
Membahas masalah negara, menurut Lastri memang tak pernah ada habisnya. Ada banyak hal yang perlu dibahas, didiskusikan bahkan diperdebatkan. Setiap pribadi dapat mengungkapkan ragam opininya dengan bebas, karena menganggap era Reformasi yang bebas bicara mengungkapkan perasaan.Â
Mencermati fenomena ini di mana ungkapan yang bermaksud mempermalukan, menyudutkan, serta saling menyalahkan menjadi tontotan biasa bak camilan sehari-hari. Bahkan seorang presiden pun tak lepas dari incaran ujaran kebencian.
Lantas, apa jadinya negeri ini jika pemimpin negara saja dipermalukan oleh rakyatnya sendiri? Bagaimana bangsa lain akan menghargai kita, jika kita saja tidak menghargai pemimpin? Â
6. Terkait Surat Edaran Kapolri: Ini Poin-poin "Hate Speech" dan Netiket yang Harus Diketahui Pewarta Warga
Seperti hukum alam, selalu ada sisi positif dan negatif, media sosial pun demikian. Sisi negatif media sosial adalah maraknya hate speech di linimasa setiap harinya yang berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Terkait surat edaran kebencian dari Kepolisian Republik Indonesia, menurut Muhammad Ridwan, publik pasti akan mendukung upaya Polri untuk menangkal konflik akibat ungkapan yang menimbulkan kebencian di ruang publik, apalagi jika dilihat dari kacamata kebangsaan, Indonesia sebagai negara yang heterogen.
Sebagai netizen, dengan adanya surat edaran Kapolri ini tentu akan "ngeri-ngeri sedap", dan tentu akan lebih berhati-hati membuat tulisan atau menyebarkan berita. Namun demikian, pewarta warga tidak boleh kehilangan sikap kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada di sekitarnya.
7. Hate Speech: I Miss You (Benci tapi Rindu)
Hate Speech, kira-kira demikianlah bahasa kerennya untuk sebuah penebar kebencian. Hum merasakan ini sebagai sebuah hal yang ironis. Mengingat semboyan kita sebagai sebuah bangsa yang beradab, ramah tamah, ayem tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, tapi muncul sebuah peraturan yang kontradiktif dengan istilah penebar kebencian ini.Â
Kemunculan surat edaran Hate Speech ini semakin menegaskan kondisi yang terjadi di negara ini. Menurut Hum, mestinya tidak perlu ada sebuah undang-undang yang mengatur masalah kebencian ini jika slogan dan semboyan di atas menjadi manifestasi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ia mengusulkan, bagaimana kalau kita ubah menjadi sebuah kampanye atau seruan untuk saling menyayangi dan menghormati? Dengan demikian mungkin terdengar lebih humanis yang memegang nilai kedamaian.
 [caption caption="Sumber: Screenshoot - Kompasiana (Ben B. Nur)"]