Mohon tunggu...
HUM
HUM Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sebut saja saya HUM, panggilan inisial yang melekat ketika saya beranjak dewasa. Saat masa anak-anak yang begitu lucunya sampai masa remaja yang sedemikian cerianya, tidak pernah terbersit sekalipun panggilan HUM, tapi yang namanya takdir siapa yang bisa menolaknya kan..?!\r\n\r\nhttp://www.69hum.com\r\n email : hardono.umardani@bicycle4you.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hate Speech: I Miss You (Benci tapi Rindu)

6 November 2015   16:39 Diperbarui: 7 November 2015   15:01 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Love & Hate Collide (source: flickr.com)"][/caption]

Ironis dan malu rasanya sebagai rakyat Indonesia ketika mendengar adanya surat edaran penebar kebencian yang bahasa kerennya Hate Speech ini. Sungguh ironis mengingat semboyan kita sebagai sebuah bangsa yang beradab, ramah tamah, ayem tentrem kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi, tapi muncul sebuah peraturan yang kontradiktif dengan semboyan tadi. Malu tentu saja karena saya merupakan bagian dari rakyat Indonesia tercinta ini.

Kalau melihat dari pengalaman yang ada, pembuatan sebuah undang-undang atau lebih umum kita sebut sebagai peraturan, entah itu di skala kecil dalam RT/RW, sekolah sampai dengan konteks kenegaraan, biasanya berawal dari sesuatu yang sudah terjadi. Sehingga peraturan lebih banyak dibuat sebagai corrective dibandingkan preventive action. Keberadaan surat edaran  Hate Speech ini juga bukan tiba-tiba munculnya, tapi dipicu oleh maraknya praktek penebar kebencian terutama di media sosial.

Pernah lihat tayangan televisi candid camera reality show Just For Laugh? Adegan demi adegan dengan setting di kota Quebec, Montreal dan Vancouver di Kanada ini membuat kita ikut tertawa. Skenario korban yang dikerjain oleh anggota polisi adalah salah satu menu utama selain skenario orang yang minta tolong di tempat umum. Coba bandingkan dengan tayangan serupa produksi dalam negeri misalnya Super Trap. Skenario kira-kira sama yaitu mengundang tawa dengan ngerjain sang korban. Tapi coba kita lihat perbedaan reaksi dari para korban. Respon lugu dan tulus ketika ada orang asing yang tak dikenal minta bantuan di tempat umum atau reaksi 'biasa' ketika kendaraan di-stop oleh polisi 'gadungan' bisa kita lihat di Just for Laugh. Dan tentu saja dengan ending tertawa lebar dari sang korban setelah tahu bahwa dirinya dikerjain. Berbeda sekali dengan reaksi para korban tayangan produksi lokal. Rasa curiga, cuek, khawatir atau bahkan ketakutan mewarnai setiap reaksi yang ada, meski di akhirnya tertawa juga walaupun agak asem.

Hal ini bukan tanpa sebab. Kultur budaya di masyarakat Indonesia saat ini tercermin di dalamnya. Iri rasanya melihat suasana orang-orang dan lingkungan yang menjadi setting acara komedi Just for Laugh tadi. Betapa nyamannya orang berjalan-jalan di tempat umum dan saling memberikan pertolongan kepada orang asing yang tidak dikenalnya. Polisi yang menghentikan kendaraan dan memeriksa surat-surat disikapi dengan biasa. Jauh beda dengan kondisi kita saat ini. Polisi di jalan seakan momok yang menakutkan bagi pengendara karena merasa akan dicari-cari kesalahannya atau memang kita yang melakukan pelanggaran. Orang tak dikenal menepuk bahu kita bisa jadi pakai ilmu gendam, hipnotis, mengambil barang berharga kita dengan dalih minta pertolongan. Dan hal ini nyata terjadi di masyarakat kita yang seharusnya ramah tamah, kekeluargaan, suka menolong dan semangat gotong royong. Ironis sekali bukan?

Kemunculan surat edaran  Hate Speech ini tambah menegaskan kondisi yang terjadi di negara ini. Mestinya tidak perlu ada sebuah undang-undang yang mengatur masalah kebencian ini jika slogan dan semboyan di atas menjadi manifestasi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kalau kita rubah menjadi sebuah kampanye atau seruan untuk saling menyayangi dan menghormati?

Sepertinya kita lupa pernah melewati masa adem ayem tentrem saat masih muda dulu. Atau malah terlalu menjiwai gelora jiwa muda yang penuh nafsu membara, sehingga berharap bahwa kebencian akan berubah menjadi sebuah kerinduan? Mudah-mudahan menjadi kenyataan apa yang dilantunkan oleh artis senior Diana Nasution: Benci tapi Rindu. Ahh..sudahlah... *music

Bukan hanya sekedar penghibur
Diriku ini sayang
Bukan pula sekedar pelepas
Rindumu oh sayang
Sakit hatiku
Kau buat begini

Kau datang dan pergi
Sesuka hatimu
Oh... kejamnya dikau
Teganya dikau padaku

Kau pergi dan datang
Sesuka hatimu
Oh... sakitnya hati
Bencinya hati padamu

Sakitnya hati ini
Namun aku rindu
Bencinya hati ini
Tapi aku rindu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun