[caption caption="Pimpinan dan tokoh agama di Provinsi Papua menyesalkan terjadinya aksi pembakaran Mushala yang dilakukan sekelompok orang di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Jumat (17/7/2015) kemarin. Kompas.com"][/caption]
Sometimes I wonder.... will God ever forgive us for what we’ve done to each other? Then i Look around and i realize... God left this place a long ago... (Black Diamond Movie)
Inti kutipan di atas menggambarkan kepada kita betapa perihnya sebuah pertikaian, perang, konflik yang akhirnya hanya menyisakan derita dan kebencian...
(17/07/2015) Segerombolan orang tak dikenal membakar tak kurang dari 62 kios dan 1 mushalla di Kecamatan Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Akibat insiden tersebut, 153 orang penduduk setempat terpaksa diungsikan ke tenda-tenda penampungan. Belakangan diketahui bahwa segerombolan orang tersebut adalah oknum dari Jemaat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) yang memaksa umat Islam yang ada di sana untuk tidak melaksanakan ibadah Sholat Ied. Dilansir dari berbagai sumber, keadaan semakin tak terkendali ketika polisi melepaskan sejumlah tembakan yang mengakibatkan satu orang tewas dan tak kurang dari 11 orang menderita luka-luka.
Media pun ramai memberitakan insiden tersebut, ada yang tujuannya melakukan provokasi, ada pula yang memediasi agar umat/semua pihak “menahan diri”. Yang jelas agar tidak salah kaprah, dari banyaknya berseliweran informasi tentang “insiden Tolikara” kita harus lebih teliti dan peka dalam mengkonsumsi berita. Banyaknya informasi melahirkan banyaknya opini. Sama halnya dengan para Kompasianer, ada banyak opini/pandangan yang Kompasianer sampaikan melalui tulisan terkait insiden Tolikara, framing yang digunakan pun beragam akan tetapi substansi yang mereka kemukakan sama, yakni untuk saling mendamaikan.
Inilah 9 artikel pilihan topik pilihan "Kerusuhan di Tolikara". Baca artikel-artikel lainnya di sini.
1. Menyikapi Kasus Tolikara Papua
Sejak awal kasus ini muncul ke publik, pemberitaan insiden Tolikara masih terbaca abu-abu. Kesimpangsiuran itu terlihat dari banyaknya informasi yang semakin hari semakin berbeda, seperti waktu, jumlah korban, dan jenis rumah ibadah yang terbakar. Alan Budiman, melalui artikelnya ini mencoba mengajak pembaca untuk menyikapi dengan bijak kasus Tolikara dalam hal cara pandang, karena ada beberapa pihak/oknum yang sengaja memanfaatkan kejadian ini untuk menyebar provokasi.
2. Rusuh Tolikara: Benang Merah Amnesti Jokowi, OPM, Kultur dan Agama Rakyat Papua
Ninoy dalam opininya memberikan pandangan lain tentang kasus Tolikara. Ia mencoba mengajak pembaca bahwa ada benang merah yang secara luas, kenapa konflik mudah saja terjadi di Papua. Sebab, menurutnya, sentimen ekonomi, politik, etnik, dan pendatang dengan kebijakan politik-hukum-ekonomi pemerintah di Papua ini berkembang menjadi isu-isu liar yang selalu dipelintir oleh pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga ke depatannya penyelesaian pun menjadi rumit.
3. Kerusuhan di Tolikara, Bercermin pada Konsep "Satu Tungku Tiga Batu" di Fak-fak
Ada banyak tempat yang dapat dijadikan contoh dalam hal Toleransi. Daniel HT, melalui artikelnya, ia menyampaikan bahwa kearifan masyarakat dalam menyikapi perbedaan melalui konsep "Satu Tungku Tiga Batu" itu mesti dicontoh oleh masyarakat lain. Konsep leluhur masyarakat Fak-fak yang masih terjaga dan dilestarikan perihal menyikapi perbedaan.
4. Konflik Tolikara, Mari Kita Belajar dari Upin dan Ipin
Abdi Husairi berpendapat bahwa ada banyak contoh yang dapat kita pelajari mengenai keberagaman. Salah satunya melalui film animasi Ipin-Upin. Film buatan Malaysia ini mampu mengajari kita tentang keberagaman tanpa harus menggurui. Dalam kisah itu, Ipin dan Upin punya sahabat yang bernama Mei Mei, Jarjit, Devi, dan Susanti. Mei Mei mewakili etnis Cina, Jarjit dan Devi mewakili etnis India, dan Susanti berasal dari Indonesia. Semua karakter menggunakan atribut etnis masing-masing, baik logat bahasa dan budaya etnis masing-masing. Mereka menjadi diri mereka sendiri dengan kekhasan etnis dan agamanya.
5. Manajemen Cerdas Konflik Tolikara
Felix Tani menilai, kasus Tolikara dapat dijadikan ikon manajemen cerdas kasus konflik sosial. Hal tersebut dapat berhasil apabila telah melakukan destruksi atas struktur lama, selanjutnya masuk ke tahap rekonsiliasi dan rekonstruksi untuk menegakkan struktur harmoni baru. Manajemen cerdas itu melihat struktur lama sebagai sumber ketidakadilan bagi satu/dua pihak yang berkonflik, sehingga harus didestruksi, lalu rekonsiliasi dan rekonstruksi struktur baru yang lebih berkeadilan.
6. Bukan Tolikara Lagi, tapi Rembetannya yang Harus Diwaspadai
Seperti manajemen konflik yang telah diuraikan Felix di atas, rekonsiliasi dan rekonstruksi struktur baru yang lebih berkeadilan itu penting dilakukan. Sebab, sebuah permasalahan sosial seperti konflik, harus benar-benar diselesaikan secara mendalam supaya tidak muncul kembali di kemudian hari. Kompasianer Gatot Swandito menyampaikan bahwa yang jadi sorotan sekarang bukan lagi tentang kasus Tolikara, tetapi rembetan-rembetan yang muncul setelahnya. Ini penting, karena jangan sampai ada lagi bara dalam sekam, yang sewaktu-waktu baranya menyala lagi.
7. Membaca Kembali Tolikara - Respon Umat Muslim dalam Tinjauan Psikologi Toleransi Islam
Agung Tiariaji menjabarkan hal-hal yang muncul pascainsiden melalui tinjauan psikologi Islam dan respons umat Muslim. Menurutnya, terdapat setidaknya tiga hal yang patut direnungkan dari kejadian tersebut, utamanya bila ditinjau dari perspektif psikologi toleransi Islam. Ketiga hal tersebut adalah Respon Muslim terhadap insiden Tolikara, peran otoritas keagamaan/pemerintah dan momen Ramadhan.
8. Papua Lebih Damai Aslinya, Tak Seperti Komentar Dunia Maya
Social media hakikatnya wadah berbagi, tempat saling sapa dan tukar informasi. Akan tetapi yang sangat disayangkan jika social media malah dijadikan sebagai tempat menebar provokasi dan kebencian. Informasi yang salah tentang keadaan di Papua yang banyak berseliweran di social media coba diuraikan kekusutannya oleh Arif L Hakiem melalui pengalaman-pengalamannya ketika berkunjung ke tanah Papua. Ia ingin sedikit menjembatani pandangan bahwa apa yang kita lihat tentang Papua selama ini terlalu dipaksakan dengan framing yang cukup tidak seimbang.
9. Tolikara: Cermin Jurnalisme Perang Media Kita
Padangan yang disampaikan oleh Hilman Fajrian dalam artikelnya ini cukup bernas. Ia menjelaskan bagaimana "media bekerja" dan menjelaskan teknis penyuguhan berita. Ada dekontekstualisasi dalam pemberitaan-pemberitaan mengenai insiden Tolikara yang kerap muncul di media-media kita. Nyaris semua berita tayang dan yang populer adalah berita opini. Opini-opini itu dikutip oleh mereka yang tinggal di luar Tolikara -- mereka yang sama sekali tidak bersentuhan dengan peristiwa dan terdampak langsung. Padahal, sumber tangan pertama atau saksi mata selalu menempati urutan tertinggi dalam klasifikasi fakta dalam jurnalistik. Saksi mata ini bisa narasumber yang menyaksikan, pelaku, korban terdampak langsung, atau bisa juga wartawan itu sendiri.
Kita tentu sepakat bahwa pelaku insiden Tolikara tidak dapat ditoleransi. Akan tetapi penilaian yang terlalu general terhadap oknum tertentu juga salah, Kesal terhadap pelakunya bukan golongan atau agamanya. Bangsa Indonesia punya sejarah panjang tentang konflik antarras atau agama, hal serupa tentu tidak boleh terulang. Penanganan yang cepat dan tepat harus dilakukan oleh pemerintah agar insiden serupa tidak terjadi lagi di mana-mana. Masyarakat juga hendaknya bersama-sama saling menjaga kedamaian di lingkungannya.
Insiden Tolikara memberikan pelajaran berharga, bahwa Barangkali Kita Kurang Saling Bertukar Cerita....
(KML)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H