Seperti manajemen konflik yang telah diuraikan Felix di atas, rekonsiliasi dan rekonstruksi struktur baru yang lebih berkeadilan itu penting dilakukan. Sebab, sebuah permasalahan sosial seperti konflik, harus benar-benar diselesaikan secara mendalam supaya tidak muncul kembali di kemudian hari. Kompasianer Gatot Swandito menyampaikan bahwa yang jadi sorotan sekarang bukan lagi tentang kasus Tolikara, tetapi rembetan-rembetan yang muncul setelahnya. Ini penting, karena jangan sampai ada lagi bara dalam sekam, yang sewaktu-waktu baranya menyala lagi.
7. Membaca Kembali Tolikara - Respon Umat Muslim dalam Tinjauan Psikologi Toleransi Islam
Agung Tiariaji menjabarkan hal-hal yang muncul pascainsiden melalui tinjauan psikologi Islam dan respons umat Muslim. Menurutnya, terdapat setidaknya tiga hal yang patut direnungkan dari kejadian tersebut, utamanya bila ditinjau dari perspektif psikologi toleransi Islam. Ketiga hal tersebut adalah Respon Muslim terhadap insiden Tolikara, peran otoritas keagamaan/pemerintah dan momen Ramadhan.
8. Papua Lebih Damai Aslinya, Tak Seperti Komentar Dunia Maya
Social media hakikatnya wadah berbagi, tempat saling sapa dan tukar informasi. Akan tetapi yang sangat disayangkan jika social media malah dijadikan sebagai tempat menebar provokasi dan kebencian. Informasi yang salah tentang keadaan di Papua yang banyak berseliweran di social media coba diuraikan kekusutannya oleh Arif L Hakiem melalui pengalaman-pengalamannya ketika berkunjung ke tanah Papua. Ia ingin sedikit menjembatani pandangan bahwa apa yang kita lihat tentang Papua selama ini terlalu dipaksakan dengan framing yang cukup tidak seimbang.
9. Tolikara: Cermin Jurnalisme Perang Media Kita
Padangan yang disampaikan oleh Hilman Fajrian dalam artikelnya ini cukup bernas. Ia menjelaskan bagaimana "media bekerja" dan menjelaskan teknis penyuguhan berita. Ada dekontekstualisasi dalam pemberitaan-pemberitaan mengenai insiden Tolikara yang kerap muncul di media-media kita. Nyaris semua berita tayang dan yang populer adalah berita opini. Opini-opini itu dikutip oleh mereka yang tinggal di luar Tolikara -- mereka yang sama sekali tidak bersentuhan dengan peristiwa dan terdampak langsung. Padahal, sumber tangan pertama atau saksi mata selalu menempati urutan tertinggi dalam klasifikasi fakta dalam jurnalistik. Saksi mata ini bisa narasumber yang menyaksikan, pelaku, korban terdampak langsung, atau bisa juga wartawan itu sendiri.
Kita tentu sepakat bahwa pelaku insiden Tolikara tidak dapat ditoleransi. Akan tetapi penilaian yang terlalu general terhadap oknum tertentu juga salah, Kesal terhadap pelakunya bukan golongan atau agamanya. Bangsa Indonesia punya sejarah panjang tentang konflik antarras atau agama, hal serupa tentu tidak boleh terulang. Penanganan yang cepat dan tepat harus dilakukan oleh pemerintah agar insiden serupa tidak terjadi lagi di mana-mana. Masyarakat juga hendaknya bersama-sama saling menjaga kedamaian di lingkungannya.
Insiden Tolikara memberikan pelajaran berharga, bahwa Barangkali Kita Kurang Saling Bertukar Cerita....
(KML)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H