Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

7 Hal yang Patut Disyukuri dari Isu Ijazah Palsu

19 Juli 2015   16:25 Diperbarui: 19 Juli 2015   16:25 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber gambar: Kompas.com (Health)"]

[/caption]Wujud syukur: Menyelamatkan banyak jiwa.
Tentu masih segar dalam ingatan Anda kisah seorang dokter bedah gadungan yang melakukan praktik di pusat perbelanjaan. Dampaknya, beberapa pasien yang telah ditanganinya akhirnya menderita penyakit hepatitis dan bahkan ada yang mengalami kelainan ginjal. Jika praktiknya mandiri tentu kita akan sulit mengidentifikasi profesionalitas sang dokter, tetapi bagaimana jika dokter yang tidak sah itu bekerja pada sebuah institusi kesehatan resmi seperti rumah sakit? Kompasianer Hably Warganegara menuliskan bahwa di Depok telah ditemukan dokter yang belum mengantongi ijazah lulus. Sementara itu rumah sakit di Jombang ada seorang dokter yang akhirnya mengaku bahwa ia hanya berpura-pura menjadi dokter. Berkat merebaknya isu ijazah palsu, beberapa rumah sakit juga mengimbau kepada para pegawainyanya untuk melakukan verifikasi ijazah. Hore! Dengan demikian, aksi malpraktik yang disebabkan karena ulah dokter-dokter gadungan dapat kita minimalisasi. Simak pemaparan lengkapnya di sini.

 

5. Menuju Jalur Ganda Kesarjanaan

[caption caption="Sumber gambar: kfk.kompas.com"]

[/caption]Wujud Syukur: Menemukan opsi non-skripsi bagi para mahasiswa.
Menindaklanjuti anggapan bahwa ada yang keliru pada sistem pendidikan kita, bagaimana kalau ternyata kerumitan pembuatan skripsi adalah satu faktor yang memicu seseorang untuk menyewa jasa joki untuk membuat skripsi? Kompasianer Felix Tani menuliskan opini Menristek Dikti M. Nasir yang menawarkan dua jalur kelulusan bagi calon sarjana. Pertama, jalur skripsi, dan yang kedua adalah jalur praktik/magang. Terlepas dari sejumlah kendala mahasiswa (merasa salah jurusan, minim biaya, dll.),  jalur kelulusan non-skripsi dapat menciptakan lulusan yang terampil dan berpengalaman. Kedua jalur sama-sama menciptakan output yang baik. Yang satu dapat menjadi pemikir yang piawai pada tataran konsep dan yang lainnya adalah praktisi yang akrab dengan lapangan kerja. Inilah hikmah lainnya. Selamat datang era orang muda yang saling melengkapi! Opini lengkapnya, silakan klik ini.

 

6. Selain Ijazah Palsu, Ada Dosen Palsu?

[caption caption="Sumber gambar: Kompas TV"]

[/caption]Wujud syukur: Lebih cermat memilih perguruan tinggi.
Meski instansi pendidikan telah mengupayakan pengecekan pada ijazah para dosen, bukan berarti kita sebagai orang yang mengonsumsi jasa edukasi dapat dengan tenang berpasrah diri pada pihak perguruan tinggi. Kritis dan berhati-hatilah! Pula jangan sembarangan memilih kampus hanya demi tuntutan mendapatkan gelar sarjana. Pasalnya, ada banyak dosen palsu yang telah direkrut hanya untuk mememuhi standar akreditasi. Kompasianer Cucum Suminar menceritakan pengalamannya sebagai orang yang pernah ditawari untuk menjadi staf dosen. Anehnya, ia tidak perlu datang ke kampus untuk mengajar dan hanya diminta untuk mengumpulkan berkas ijazah sebagai modal akreditasi kampus tersebut. Bagaimana yankisah lengkapnya? Mari klik tautan ini.

 

7. Ijazah Palsu Versi Menpan & RB

[caption caption="Sumber gambar: klik.kompas.com"]

[/caption]Wujud Syukur: Menghargai proses.
Inilah hikmah yang terpenting di atas segalanya. Bahwa kelulusan adalah buah perjuangan panjang dan hal yang praktis. Mengenai hal ini, Kompasianer Thamrin Dahlan membagikan kegeramannya kepada siapa saja yang membeli ijazah palsu dan enggan memperjuangkannya dengan belajar. Rasa geram yang dialami oleh Thamrin Dahlan itu bukannya tanpa dasar. Pada artikel tersebut ia bercerita tentang seorang sahabatnya yang berjalan gontai dari ruang sidang karena tidak lulus. Memori itulah yang menjadi bahan bakarnya untuk menuliskan opini, betapa sebaiknya kita belajar untuk menghargai proses dan tidak melulu berorientasi pada hasil. Hasilnya sih tampak, yakni berupa goresan tinta di atas kertas dan pertambahan gelar di belakang nama. Tetapi usaha yang tidak kelihatan itulah yang susah. Biarlah kejujuran diri sendiri yang merasa puas atas perjuangan kita selama ini. Klik tautan ini untuk kisah lengkapnya.

Terima kasih sudah ikut bersyukur atas menyeruaknya isu ijazah palsu, ya, Kompasianer. Selamat memaknai dan melakoni proses dalam hal apapun. Tetap bangga, meski tidak ada penghargaan yang pasti dijanjikan kepada kita di akhir perjalanan! (WK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun