[caption caption="Sumber gambar: Kompas.com (Regional)"][/caption]Setelah kemunculan berita tentang beras palsu, datang sesosok palsu lain yang seolah-olah tak mau kalah untuk ramai diperbincangkan: ijazah. Pokok bahasan yang satu ini juga tidak kalah penting untuk dicermati. Kita tidak boleh pilih kasih menyikapinya, karena baik beras maupun ijazah, apabila palsu, tentu akan membawa kesengsaraan bagi orang banyak. Nyawa dan kualitas hidup anak bangsa adalah taruhannya.
Berawal dari tertangkapnya dua tersangka pelaku pembuatan ijazah palsu, inspeksi mendadak Menristek Dikti M. Nasir memperoleh sejumlah temuan yang dapat membuat kita terhenyak. Beberapa perguruan tinggi yang tidak mengantongi izin dari Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) ternyata telah mencatat sejumlah nama pejabat sebagai lulusannya. Tentu saja khalayak menjadi terkaget-kaget dibuatnya. Bagaimana rasanya menjadi warga yang dipimpin oleh pejabat yang bahkan memalsukan potensi dirinya sendiri? Publik yang sudah lelah sakit hati dan lupa rasanya dikhianati mungkin hanya bisa angkat bahu sembari tertawa-tawa sendiri.
Seperti virus, gelombang kekhawatiran soal ijazah palsu ini pun merembet ke berbagai sektor. Pada sektor pendidikan, pihak sekolah secara gencar menagih verifikasi ijazah para guru untuk menjamin tidak ada pegawainya yang mengajar bermodalkan ijazah palsu. Sementara itu, di lingkup pemerintahan, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) direpotkan dengan tuntutan yang sama, kecuali dirinya rela dicabut jabatannya. Lalu, bagaimana dengan Netizen kita? Tentu banyak yang mengutuk aksi pemalsuan ini, tetapi tidak sedikit yang mau berendah hati, mengajak orang lain untuk merefleksikan ‘bencana akademis’ini.
Demikian pula 7 Kompasianer berikut ini ketika mencoba untuk memaknai isu tentang ijazah. Seturut kata bijak ‘ tentu ada hikmah di balik setiap peristiwa (masih renungan edisi Lebaran)’, maka para Kompasianer tidak hanya sekadar berkeluh-kesah, tetapi juga menelisik sebabnya. Bahkan ada yang berani memberi solusi. Karena itulah pada kesempatan ini, Kompasiana mempersembahkan 7 artikel pilihan yang kami anggap telah sukses menyajikan pandangan baru mengenai fenomena ini. Kapan lagi isu ijazah palsu menjadi patut untuk disyukuri?
1. Kampus di Malang Panen Legalisir
[caption caption="Sumber gambar: Kompas.com (Nasional)"]
Hikmah pertama datang dari Muhammad Hamid Habibi. Kompasianer ini menghitung betul berapa keuntungan finansial yang didapat oleh sekolah-sekolah di Malang ketika PNS setempat diharuskan untuk melakukan verifikasi ijazah. Maklum saja, PNS di Malang tak hanya wajib membubuhkan tanda legalisasi pada ijazah S1 saja, melainkan juga ijazah SMA, SMP dan SD. Terbayang kan, berapa yang akan diterima oleh setiap sekolah apabila setiap lembar ijazah dikenakan biaya legalisasi sebesar Rp2000. Padahal, setiap PNS diwajibkan untuk mengumpulkan lebih dari satu salinan. Selain mengkritik kebijakan ini, Muhammad Habibi berhasil melihat manfaat di balik kebijakan ini. “Pertama, gara-gara legalisir ini mau ndak mau kita mengunjungi sekolah kita yang dulu. Di situlah kita bisa bernostalgia sambil bersilaturahim dengan para guru,” tulisnya. Iya juga ya. Yuk lihat opini selengkapnya di sini.
2. Berkaca pada Diri Sendiri
[caption caption="Sumber: Kompas.com (Nasional)"]
Apa Anda pernah ingat ketika masih kecil dulu? Mungkin Anda punya cita-cita polos ingin menjadi dokter, insinyur atau profesi yang umum lainnya? Lalu ingatkah Anda tentang apa yang sudah dipesankan oleh orang tua supaya kelak kita menjadi pintar dan berguna bagi orang banyak? Pesan orang tua yang dipegang teguh oleh Kompasianer Abdul Muis kemudian mengantarkannya pada sebuah refleksi diri. Betapa pendidikan semestinya tidak selalu berpatokan kepada ijazah sebagai parameter keberhasilannya. Alih-alih mendewakan nilai di atas kertas, semestinya kita yang dulu pernah bercita-cita luhur itu terlebih dahulu bertanggungjawab terhadap kualitas diri sebelum berani memberi contoh kepada orang lain. Itu dulu yang penting. Agaknya pesan Abdul Muis ini perlu dicatat oleh para pendidik dan pejabat yang menggunakan ijazah palsu untuk memimpin orang lain. Lihat refleksi Abdul Muis di sini.
3. Memerdekakan Manusia Lahir dan Batin dengan Pendidikan Berkualitas
[caption caption="Sumber gambar: Kompas Cetak"]
Apa ya yang sebenarnya memicu segelintir orang untuk membeli ijazah palsu? Kompasianer Bagoes Agus mencoba menguraikan satu-persatu ihwal yang menggoda seseorang untuk mengambil jalan pintas ini. Komodifikasi pendidikan, menurut Bagoes Agus, sesungguhnya tak lepas dari penilaian masyarakat yang mendewa-dewakan gelar pendidikan. Persaingan tenaga kerja, gengsi, status sosial, dan ehem, kebutuhan gelar di cetak undangan pernikahan. Akibat dari masyarakat yang rela mendapatkan pengakuan akademis demi memenuhi tuntutan tersebut, maka pendidikan pun berangsur-angsur menjadi komoditas. Daripada tunduk pada sistem pendidikan yang terkesan seremonial ini, Bagoes Agus menganjurkan kita untuk membangun pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, pendidikan seyogyanya ‘memerdekakan manusia lahir dan batin’. Bukan memenjaranya dalam kungkungan sosial. Klik di sini untuk melihat tulisan selengkapnya.
4. Cara Atasi Ijazah Bodong Karyawan Rumah Sakit
[caption caption="Sumber gambar: Kompas.com (Health)"]
Tentu masih segar dalam ingatan Anda kisah seorang dokter bedah gadungan yang melakukan praktik di pusat perbelanjaan. Dampaknya, beberapa pasien yang telah ditanganinya akhirnya menderita penyakit hepatitis dan bahkan ada yang mengalami kelainan ginjal. Jika praktiknya mandiri tentu kita akan sulit mengidentifikasi profesionalitas sang dokter, tetapi bagaimana jika dokter yang tidak sah itu bekerja pada sebuah institusi kesehatan resmi seperti rumah sakit? Kompasianer Hably Warganegara menuliskan bahwa di Depok telah ditemukan dokter yang belum mengantongi ijazah lulus. Sementara itu rumah sakit di Jombang ada seorang dokter yang akhirnya mengaku bahwa ia hanya berpura-pura menjadi dokter. Berkat merebaknya isu ijazah palsu, beberapa rumah sakit juga mengimbau kepada para pegawainyanya untuk melakukan verifikasi ijazah. Hore! Dengan demikian, aksi malpraktik yang disebabkan karena ulah dokter-dokter gadungan dapat kita minimalisasi. Simak pemaparan lengkapnya di sini.
5. Menuju Jalur Ganda Kesarjanaan
[caption caption="Sumber gambar: kfk.kompas.com"]
Menindaklanjuti anggapan bahwa ada yang keliru pada sistem pendidikan kita, bagaimana kalau ternyata kerumitan pembuatan skripsi adalah satu faktor yang memicu seseorang untuk menyewa jasa joki untuk membuat skripsi? Kompasianer Felix Tani menuliskan opini Menristek Dikti M. Nasir yang menawarkan dua jalur kelulusan bagi calon sarjana. Pertama, jalur skripsi, dan yang kedua adalah jalur praktik/magang. Terlepas dari sejumlah kendala mahasiswa (merasa salah jurusan, minim biaya, dll.), jalur kelulusan non-skripsi dapat menciptakan lulusan yang terampil dan berpengalaman. Kedua jalur sama-sama menciptakan output yang baik. Yang satu dapat menjadi pemikir yang piawai pada tataran konsep dan yang lainnya adalah praktisi yang akrab dengan lapangan kerja. Inilah hikmah lainnya. Selamat datang era orang muda yang saling melengkapi! Opini lengkapnya, silakan klik ini.
6. Selain Ijazah Palsu, Ada Dosen Palsu?
[caption caption="Sumber gambar: Kompas TV"]
Meski instansi pendidikan telah mengupayakan pengecekan pada ijazah para dosen, bukan berarti kita sebagai orang yang mengonsumsi jasa edukasi dapat dengan tenang berpasrah diri pada pihak perguruan tinggi. Kritis dan berhati-hatilah! Pula jangan sembarangan memilih kampus hanya demi tuntutan mendapatkan gelar sarjana. Pasalnya, ada banyak dosen palsu yang telah direkrut hanya untuk mememuhi standar akreditasi. Kompasianer Cucum Suminar menceritakan pengalamannya sebagai orang yang pernah ditawari untuk menjadi staf dosen. Anehnya, ia tidak perlu datang ke kampus untuk mengajar dan hanya diminta untuk mengumpulkan berkas ijazah sebagai modal akreditasi kampus tersebut. Bagaimana yankisah lengkapnya? Mari klik tautan ini.
7. Ijazah Palsu Versi Menpan & RB
[caption caption="Sumber gambar: klik.kompas.com"]
Inilah hikmah yang terpenting di atas segalanya. Bahwa kelulusan adalah buah perjuangan panjang dan hal yang praktis. Mengenai hal ini, Kompasianer Thamrin Dahlan membagikan kegeramannya kepada siapa saja yang membeli ijazah palsu dan enggan memperjuangkannya dengan belajar. Rasa geram yang dialami oleh Thamrin Dahlan itu bukannya tanpa dasar. Pada artikel tersebut ia bercerita tentang seorang sahabatnya yang berjalan gontai dari ruang sidang karena tidak lulus. Memori itulah yang menjadi bahan bakarnya untuk menuliskan opini, betapa sebaiknya kita belajar untuk menghargai proses dan tidak melulu berorientasi pada hasil. Hasilnya sih tampak, yakni berupa goresan tinta di atas kertas dan pertambahan gelar di belakang nama. Tetapi usaha yang tidak kelihatan itulah yang susah. Biarlah kejujuran diri sendiri yang merasa puas atas perjuangan kita selama ini. Klik tautan ini untuk kisah lengkapnya.
Terima kasih sudah ikut bersyukur atas menyeruaknya isu ijazah palsu, ya, Kompasianer. Selamat memaknai dan melakoni proses dalam hal apapun. Tetap bangga, meski tidak ada penghargaan yang pasti dijanjikan kepada kita di akhir perjalanan! (WK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H