Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah 11 Tulisan Fiksi Pilihan "Aku Punya Impian"

12 Juli 2015   15:33 Diperbarui: 4 April 2017   16:59 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Goenawan Mohamad, dalam buku sekumpulan Catatan Pinggir 3 (h, 424), menjelaskan bahwa kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin. Barangkali, jika boleh menduga, dari hal inilah Komunitas Fiksiana mengajak para penikmat fiksi di Kompasiana untuk bersama-sama merayakan dengan menulis karya fiksinya bertema “Impian”.

Perhelatan ini dimulai dari 6 Juli 2015 (pukul 9.00 WIB) dan berakhir pada 7 Juli 2015 (pukul 21.00 WIB). Komunitas Fiksiana pun tidak mengkhususkan untuk membuat prosa atau puisi saja. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma, dalam pidato sastra di sebuah peluncuran situs kepenulisan Indonesia, memaparkan tentang keberadaan sastra yang sering dipertanyakan, “bagaimana sastra bisa disebut sastra?”.

Menariknya, dari perhelatan ini, Komunitas Fiksiana menargetkan kata yang digunakan cukuplah sebatas 200 kata. Tidak sedikit memang yang membangkang, tapi mungkin itu pilihan penulisnya yang melebihkan dan mengurangkannya. Oleh sebab itu, salah satu Kurator Kompasiana mencoba mengurasi 80 tulisan dari 70 penulis yang ikut meramaikannya. Dengan memilih, juga memilahnya menjadi sebelas, bukan berarti karya lainnya tidak baik, tapi kesebelas tulisan inilah setidaknya mewakili impian-impian yang menjadi hajat hidup orang banyak. Biarlah wakil rakyat mewakili segala jenis aspirasi rakyatnya, namun perihal impian, biarlah urusan penikmat fiksi yang gemar mengawang-awang.

1. Aku Ingin Tidur oleh DesoL

Untuk sekedar merebahkan tubuh, memejamkan mata, dan mengistirahatkan raga barang sebentar, seakan kini menjadi amat sulit. Dalam 24 jam yang sudah diberikan, itu pun seperti kurang. “Seperti malam-malam sebelumnya, di mana kau lebih memilih pejamkan mata lebih dahulu daripada menungguiku bermain kata.” Begitu yang Desol tulis, seakan menertawakan kita – orang-orang yang sulit tidur setiap harinya. Sikap si Dia yang pada akhirnya memenangkan cerita itu, karena berhasil tidur dari si Aku yang sekedar menginginkan tidur.

2. Anakku Harus Sekolah oleh Conni Aruan

Ada satu hal kemiripan cerpen “Anakku Harus Sekolah” Conni Aruan dan “Sajak Anak Muda” W.S. Rendra, yakni latar sekolah menjadi pusat alur cerita. Hanya saja Rendra lebih menempatkan sikap kerasnya pada pendidikan, sedangkan Conni menjadi seorang yang mengidamkan pendidikan secara formal. Namun menariknya, keberhasilan Conni pada cerpen itu adalah mengakhiri dengan jelas kalau sekolah itu bukan hanya persoalan bangunan, bangku-bangku belajar, tapi sekolah itu tempat mencari ilmu –bagaimanapun bentuknya. “Mama, sekolahnya pergi ke mana?” | “Nggak ke mana-mana, Nak. Sekolahnya tepat di depanmu.” Tunjuk Loui pada reruntuhan di depannya. “Hanya saja dalam bentuk yang tidak biasa.”

3. Pergi ke Bulan oleh Sinna Hermanto

Cara bertutur seseorang dalam menulis hanya bisa didapat dari sering menulis dan mencobanya berulang kali. Dan, membaca dua atau tiga karya fiksi Sinna Hermanto tampak sedikit jelas kalau Sinna memang pandai membuat pembacanya tertawa dengan olah-kata serta diksi-diksinya. Coba saja lihat ini: “Kalo kita sudah sah, kamu bilang akan membawaku pergi ke bulan. Di sana kita bermanja-manja, berdua saja. Tapi tentunya kita menggendong 'keril' segede kulkas. Isinya bukan stok logistik, tenda, nesting, webing, teve, lemari, kamar mandi atau koki. Namun, cukuplah cadangan oksigen saja. Bila cinta melanda, lapar pun tiada terasa.”

4. Bahagia untuk Gabriella oleh Ang Tek Khun

Memiliki atau tidak, setidaknya cinta sudah sempat diucapkan dengan tulus dari hati. Impian semacam itulah yang barangkali ingin disampaikan Ang Tek Khun. Kepergian tokoh Andra Prasetya di akhir cerita, tanpa dijelaskan akan pergi ke mana, membuat cerpen ini menggantung. Namun, di sana mungkin yang membuat kita menerka: ke mana pun perginya, toh, pada akhirnya cinta akan ikut serta bersamanya. Apalagi si Aku, Andra, menggambarkan Ella –Gabriella, dengan manis: “Jika ada pelabuhan terluas di dunia, itu adalah dadamu. Tempat aku melabuhkan segala penat. Ribuan beban berat dalam belasan tahun perjalanan hidup, pernah kurehatkan di sini. Dadamu selalu lapang, tempat aku berlari dan mendapatkan dekapan paling hangat.”

5. Izinkan Aku Melihat Senyummu, Franda oleh Putri Apriyani

Tak jauh dengan cerpen Ang Tek Khun buat, kadang impian memang bisa didapat dari sekadar membahagiakan seseorang. Dan begitulah Putri Apriyani mengisahkannya: Lalu, bila ada yang bertanya padaku “Apa mimpimu?” Lantas aku akan menjawab, “Aku hanya ingin mataku dapat melihat, agar aku bisa melihat gadisku, gadis impianku tersenyum padaku, dan mengucapkan Selamat Pagi Rasya.”

6. Legenda Transylvania oleh Gaganawati

Gaganawati ingin sekali menyampaikan impiannya atau mimpinya mungkin lewat cerpen Legenda Transylvania. Sebuah pertemuan yang entah dengan pria di sebuah kastil yang terbuah dari kebohongan-kebohongan berupa cerita itu, membawa pembacanya sadar kalau kita mungkin dipertemukan oleh seseorang yang diidamkan lewat cara yang tak biasa: di dalam peti....

7. Aku Ingin Meminangmu oleh Christian Timor

Lain impian Gaganawati, lain juga impian Christian Timor. Baginya, pernikahan adalah impian. Maka dalam cerpennya ini pengarya menceritakan kisah seorang yang ingin mengajak pasangannya menikah namun lebih dulu dirundung ketakutan dan perasaan yang campur-aduk. Seperti yang pernah diucapkan oleh penyair: hal tersukses yang dari seorang laki-laki, adalah ketika mampu mengajak pasangannya menikah.

8. Mimpi Anak Tiri oleh Alan Budiman

Terkadang susah membedakan karya fiksi dan non-fiksi. Tapi ketika sebuah fakta sudah tak mampu berkata banyak, maka di sanalah kalian tahu mengapa fiksi itu penting. Dan begitulah Alan Budiman memperlakukan fiksi. Lewat cerita keindahan Pulau Madura, Alan Budiman menyuguhkan pula kenyataan-kenyataan yang mungkin sulit diterima, misalnya: di antara pasir putih pantai dan laut yang sebiru itu, ada tambang gas yang dikeruk setiap harinya tanpa ada yang tahu, tak ada yang peduli juga. Jalan-jalan pun masih seperti dulu, berlubang, sempit dan bergelombang.

9. Untuk Maryam Istriku oleh Handy Pranowo

Ketika pisau tidak lagi mampu mengancam perasaan seorang yang disayang, gunakanlah puisi sebagai alternatif senjatanya. Handy Pranowo memang dikenal baik di kanal Fiksiana dengan puisi-puisinya yang aduhai. Ketika sebagian orang mengkritik lewat sastra, Handy Pranowo masih suka menggunakannya untuk menggombal. Salah? Tentu tidak, malah keistimewaanya di sana. Banyak penyair yang karya-karyanya ditulis dari kepedihan, namun Handy Pranowo seperti menulis dalam keadaan riang. Tidak ada kepedihan di puisinya yang berjudul “Untuk Maryam Istriku”.

10. Memetik Mimpi oleh Granito Ibrahim

Cerpen milik Nito –panggilan akrabnya– ini memang sederhana. Barangkali ada yang masih ingat titah dari guru: “gantungkan cita-citamu setinggi langit”? Ya, sebagai orang yang sering mengilustasikan sampul-sampul buku dari Komunitas Fiksiana itu, dibuat tidak sesederhana adanya. Si Aku dalam cerpen itu menghabiskan sisa hidupnya untuk menempelkan segala impiannya di langit, dari kecil. Tapi, setelah Si Aku beranjak dewasa, kini ia menjalani profesi dari yang sama sekali tidak pernah ia tulis dari kecil itu di langit.

11. Hampir Kubunuh Istrimu oleh Pakde Kartono

Terlepas dari isi cerpen romantis yang dibuat Pakde Kartono untuk ikut meramaikan perhelatan Komunitas Fiksiana, FAPI, jumlahnya tidaklah 200 kata dan diunggah beberapa detik sebelum batas akhir pengiriman naskah. Sebagai pamungkas perhelatan ini, Pakde Kartono mampu menutupnya dengan manis: mengajak makan malam istri di roof top hotel bintang 7 tepat di pinggir kolam.

 

*) Keteranan Gambar: Poster Perhelatan Komunitas FIksiana, FAPI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun