Kedua ini sama sebagai hasil konstruksi tetapi dibedakan berdasarkan jarak antara tubuh dan kesadaran subyek pemiliknya. Kembali pada persoalan wacana seksualitas, guna menunjukkan kategori seksualitas sebagai konstruksi perlu juga dibedakan antara tubuh dan kemenubuhan. Tubuh adalah entitas material yang secara obyektif kita persepsi (aspek fisiologis) dan kemenubuhan yang merupakan aktivitas penghayatan subyek dalam memperlakukan tubuhnya (aspek psikologis). Dalam banyak kajian tentang konsep seksualitas, pertumbuhan dan perkembangan individu untuk menjadi perempuan atau laki-laki mendapat pengaruh yang cukup besar dalam lingkungan sosialnya. Ini berkaitan dengan bagaimana individu melakukan proses belajar sosial untuk menemukan jati diri (seksualitas) dan perlakuan sosial terhadap tubuhnya. Dalam aktivitas belajar sosial, maka wacana pengetahuan tentang seksualitas akan disosialisasikan dan diinternalisasikan oleh individu sebelum proses identifikasi dan penghayatan kemenubuhan terhadap tubuh biologisnya. Yang bervagina dan berbuah dada harus bermain boneka barbie, berperangai lembut, belajar memasak, tidak mencukur rambutnya hingga botak, mengenakan rok, dan lainnya. Yang memiliki penis harus bermain bola, berperangai kasar/keras, tegar dan tegas, tidak boleh mengenakan rok, dan lainya.Â
Wacana pengetahuan itu akan terkonstruksi dalam benak individu dan terpelihara (lestari) dalam kontrol sosial dalam batasan normal dan patologis. Realitas ini akan menjadi sangat kontrol jika dibandingkan dengan wacana pengetahuan tubuh dan kemenubuhannya dalam konteks lingkup sosio-kultural lain atau dalam jejak historis perkembangan peradaban manusia. Sistem sosial yang matrilineal yang menjadi realitas lain dalam pengetahuan mayoritas bangsa Indonesia yang menganut sistem patrilineal cukup menandai adanya kandungan bentukan sosial. Saya pikir ini sudah menjadi pemahaman bersama, terutama di antara kaum intelektual ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Bagaimana dengan keindahan tubuh (perempuan)? Tentunya keindahan adalah aktivitas perseptual aktor individu terhadap satu tubuh (material) dengan melibatkan segenap habitus pikiran, perasaan, intuisi, insting, dan pengalaman hidup. Keindahan adalah persepsi yang menubuh yang terbentuk dalam sejarah historis pertumbuhan dan perkembangan aktor individu. Sebagai yang historis, maka ada 2 hal yang menandai periode perjalanan aktor, yaitu pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman aktor dimaknai sebagai proses keberadaan aktor dalam ruang dan waktu. Waktu itu terus berjalan dan turut pula mempengaruhi dinamisasi ruang sehingga pengalaman bisa saja berbeda ketika dialami oleh aktor bahkan dalam hitungan waktu yang sangat singkat. Nah, pada momen-momen demikianlah, aktor masuk dalam proses belajar sosial minimal dalam atensi terhadap realitas tertentu yang dialami (kendati tidak semua) atau maksimal dalam intensi belajar (hampir banyak realitas). Apa yang dipelajari inilah yang menjadi entitas pengetahuan aktor. Pengetahuan tidak hanya persoalan rasionalitas semata, tetapi juga pengalaman kepernahan merasakan, berintuisi, praktik insting oleh aktor ketika mengalami realitas dalam tiap periode kehidupannya.
Aktor senantiasa mengalami realitas dan belajar terhadap pengalaman hidup demikian yang selanjutnya tersimpan dalam pengetahuan aktor yang pada waktunya mempengaruhi aktor dalam mempersepsi realitas. Persepsi keindahan oleh aktor juga dihasilkan dari mekanisme demikian. Tetapi di sini kita perlu berhati-hati dalam membedakan konstruksi sosial dan konstruksi individual. Sebab dalam kenyataan dapat ditemukan dinamisasi kerja kedua ragam konstruksi pengetahuan ini. Dalam habitus hidup (termasuk kriteria keindahan) aktor dapat saja cenderung kuat dipengaruhi oleh wacana pengetahuan sosial, tetap tidak menutup kemungkinan muncul cita rasa keindahan yang khas dan lain oleh aktor dari yang diwacanakan secara sosial. Seorang yang beretnis Jawa atau Sunda menginternalisasi wacana pengetahuan keindahan tubuh perempuan, salah satunya adalah berkulit putih. Pertanyaannya, apakah wacana sosial tersebut menjadi jaminan permanesitas kriteria persepsi dalam mempersepsi tubuh perempuan? Saya pikir ini bersifat relatif karena wacana sosial tidak bekerja secara tunggal dalam persepsi aktor. Aktor selalu terkondisi dalam kepemilikan pengalaman hidup yang kompleks dan mempelajarinya sebagai pengetahuan yang akhirnya menjadi habitus dalam persepsinya. Sehingga kekuatan wacana pengetahuan sosial tidaklah memiliki signifikansi power yang total mempengaruhi persepsi keindahan tubuh perempuan oleh aktor. Sekalipun aktor mempersepsi keindahan tubuh perempuan sesuai wacana sosial, itu tidak berarti wacana sosial langsung mempengaruhi aktor.
Namun, konstruksi persepsi ini bekerja sama dengan aspek pengetahuan yang lain. Artinya, wacana sosial tentang keindahan tubuh perempuan selalu melewati aspek sadar aktor baik dalam nuansa yang sangat sadar ataupun nuansa sedikit sadar (habitus keseharian) dan saling berkolaborasi dengan aspek pengetahuan yang lainnya. Menyangkut relativisme persepsi keindahan tubuh perempuan ini dapat diterangkan dalam konsep dekonstruksi-nya Derrida. Tubuh perempuan dapat dibaca sebagai teks karena memang tubuh perempuan hadir dalam teater sosial dan dapat ditangkap oleh aktor atau sosial.
Sebagai teks, tubuh perempuan menjadi fenomena material yang tidak serta-merta memiliki kandungan indah pada dirinya. Keindahan tubuh perempuan selalu menjadi konstruksi persepsi aktor terhadap entitas material tubuh itu sendiri atau persepsi yang menubuh. Persepsi keindahan merupakan inisiatif aktor dan tanpa inisiatif mempersepsi ini tidaklah mungkin tubuh perempuan menyampaikan keindahannya kepada aktor. Sebaliknya, tanpa entitas tubuh material perempuan aktor tidak dapat mempersepsi secara apriori. Hal ini membuka fleksibelitas persepsi aktor dalam mempersepsi tubuh perempuan sebagai yang indah. Kemajemukan persepsi ini sangat dimungkinkan karena pengalaman, proses belajar, dan pengetahuan aktor sebagai manusia tersebut sangat kompleks dan dinamis. Akhirnya, arkeologi estetika tubuh perempuan dapat menjadi pijakan pemahaman kita dalam mengapresiasi kemajemukan persepsi keindahan oleh tiap aktor atau kelompok sosial tertentu. Sikap apresiatif ini hadir sebagai satu sikap yang mengeliminir sikap mendiskriminasi tubuh perempuan dalam konsep oposisi biner yang menyesatkan. Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H