Mohon tunggu...
Emanuel S Leuape
Emanuel S Leuape Mohon Tunggu... -

Alumni Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana-Kupang, NTT\r\n dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arkeologi Estetika Tubuh (Perempuan)

7 Juli 2015   15:12 Diperbarui: 7 Juli 2015   15:33 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak mungkin ada keindahan yang terlepas dari pemahaman (perasaan) kita mengenai obyek. Secara alamiah, tubuh perempuan tidak pernah dikonstruksi menjadi sesuatu yang indah. Keindahan tubuh perempuan lahir sebagai persepsi aktor setelah mencerap keberadaan tubuh itu sendiri. Sehingga jelas, tubuh perempuan punya dampak indah tidaknya selalu bergantung pada subyek yang mempersepsikannya. Dalam sudut pandang kedua, Jacques Martin dalam karyanya Art and Scholasticism (ide dasar dari pemikiran Thomas Aquinas) menentang subyektivitas aktor dalam mempersepsi keindahan yang berdasarkan intuisi dan ungkapan perasaan dengan menyatakan bahwa keindahan bukanlah tangkapan intuisi/perasaan, tetapi selalu melalui akal (pikiran). Sehingga keindahan adalah tangkapan akali. Pemikiran ini setidaknya menegaskan bahwa keindahan melekat pada obyeknya dengan syarat/kriteria tertentu yang dicerap oleh pancaindera.

Martin beranggapan bahwa keindahan terjadi bilamana terjadi “kesenangan pada akal”. Syarat obyek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal menurut Martin yaitu: “akal merasa senang pada sesuatu yang indah, karena di dalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri.” Obyek dikatakan indah jika obyek tersebut memiliki kesesuaian dengan akal, yang menyangkut: aspek kesempurnaan, ketertiban, dan kejelasan. Pemahaman akan obyek sebagai yang indah terlebih dahulu ditangkap oleh pancaindera aktor dan berakhir pada konstruksi pengetahuan atas obyek tersebut. Sehingga untuk mempersepsikan obyek sebagai yang indah maka ada penangkapan bentuk obyek. Dengan berpijak pada asumsi estetis Martin, maka setidaknya ada 2 kemungkinan bilamana keindahan hadir sebagai tangkapan akali. Pertama, keindahan tubuh perempuan akan menjadi persepsi yang subyektif bagi aktor apabila kriteria aspek kesempurnaan, ketertiban, dan kejelasan tampilan visual tubuh memiliki standar kualitas yang berbeda-beda bagi aktor. Kedua, keindahan tubuh perempuan akan menjadi satu kenyataan obyektif bilamana tiap-tiap aktor memiliki kesamaan rasa keindahan pada satu tubuh perempuan.

Keindahan sebagai tangkapan akali jelas mengacu pada satu entitas yang empiris, bukan yang metafisis. Dengan berlandaskan pada obyek empiris, maka tidak juga menutup kemungkinan bahwa tiap orang memiliki tangkapan akali yang sama terhadap obyek keindahan tersebut. Akan tetapi, dalam keobyektivan persepsi keindahan demikian mensyaratkan adanya 3 kriteria yang sama kualitasnya pada tiap orang. Untuk menjadi sama, maka tentunya dibutuhkan satu pengalaman yang sama yang ditandai transfer pengetahuan yang sama pula. Dewey dalam karyanya Art as Experience menegaskan aktor senantiasa mengacu kepada pengalaman sebagai unsur hakiki dalam penilaian estetis. Keindahan dapat dikenal melalui pengalaman, dan terbentuk oleh pengalaman dengan membayangkan sesuatu. Sebagai satu pengalaman, maka keindahan itu merupakan akumulasi pengetahuan dalam benak aktor. Ini berkaitan dengan teori Tabula Rasa yang menegaskan aktor individu lahir bagai kertas kosong yang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangannya senantiasa diisi dengan eksistensi pengalaman dan belajar sosial. Sehingga keindahan akan tubuh perempuan sebagai pengalaman yang terus menerus dialami oleh aktor, mengkonstruksi persepsinya, dan menimbulkan cita rasa keindahan pada tubuh perempuan itu sendiri.

Tubuh perempuan merupakan entitas material yang dipandang indah. Baik keindahan sebagai intuisi dan ungkapan perasaan ataupun tangkapan akali sama-sama tidak bisa mengabaikan tubuh material perempuan itu sendiri. Persepsi indah-tidaknya tubuh perempuan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi tubuh material perempuan itu sendiri. Ini artinya, dalam mempersepsi tubuh perempuan aktor senantiasa menggunakan pancainderanya dalam mencerap eksistensi tubuh material tersebut. Dalam berapriori tentang esensi tubuh perempuan sekalipun tetap berangkat dari pengalaman penginderaan atas tubuh material perempuan itu sendiri. Selain itu, kedua perspektif ini juga sama-sama menandai proses mental manusia. Intuisi/perasaan dan akal merupakan 2 entitas kejiwaan manusia. Keduanya menandai kemampuan aktor dalam mempersepsikan tubuh perempuan sebagai yang indah. Dalam inti pemikiran Berkeley “Esse est Percipi” (Ada sesungguhnya hanya persepsi), maka keindahan tubuh perempuan hadir sebagai persepsi aktor yang mengadakan, bukan keindahan merupakan kualitas yang sudah ada pada tubuh perempuan itu sendiri. Bahkan tubuh perempuan yang bereksistensi hanya karena persepsi manusia yang mengadakannya.

Ini dipertentangkan dengan konsep “Das Ding an Sich” Kant bahwa entitas material sesungguhnya ada pada dirinya sendiri dan cukup dapat mengadakan keadaannya pada tangkapan pancaindera dan persepsi manusia. Sehingga keindahan sesungguhnya sudah ada pada tubuh perempuan dan dapat bereksistensi bagi aktor. Akan tetapi hal perlu ditelisik, yaitu aktor tidak mungkin mengadakan tubuh perempuan dan keindahannya tanpa mencerap kehadiran tubuh material perempuan itu sendiri dan juga tidak mungkin tubuh perempuan (sekalipun tubuh itu dihidupi oleh tuannya) dapat serta-merta mengadakan diri dan keindahannya tanpa persepsi aktor. Guna menengahi kontradiksi antara idealisme dan materialism ini, Ponty menegaskan bahwa persepsi dan realitas material itu merupakan dualitas yang saling mengadakan. Ponty memperkenalkan konsep “persepsi yang menubuh” dengan mau mengatakan bahwa tubuh perempuan dan keindahanya ada karena aktor mempersepsi tubuh perempuan dengan pertama-tama menginderai tubuh material. Tanpa penginderaan terhadap material tubuh tidak mungkin ada persepsi dan tanpa persepsi tidak mungkin material tubuh itu dikenali oleh aktor. Bahkan citra indera akan tubuh material itulah persepsi manusia dalam tingkatan kemampuannya yang paling rendah, yaitu: melihat disamping kemampuan lainnya, yaitu: mengerti, mengetahui, dan memahami.

Pertanyaan apakah tubuh perempuan dan keindahannya adalah konstruksi pengetahuan manusia semata atau keindahan itu memang sudah ada secara natural pada tubuh perempuan itu sendiri? Hume berpendirian bahwa yang diketahui subyek individu hanyalah persepsi, bukan obyek. Sehingga aktor mengadakan tubuh hanya dalam pengetahuannya. Dalam sudut pandang yang agak sedikit fleksibel, entitas material yang dinamakan tubuh perempuan memang ada di luar diri manusia, tetapi penyebutan entitas material itu sebagai tubuh perempuan merupakan konstruksi pengetahuan dan persepsi manusia. Aktor menangkap ciri-ciri visual material tubuh perempuan dan membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dalam konsep pengetahuan yang disebut tubuh perempuan. Hal yang sama pun terjadi pada aktor dalam mempersepsi keindahan tubuh perempuan. Indah-tidaknya tubuh perempuan merupakan hasil penyatuan artifisial bentuk, pola, struktur, ciri-ciri visual material tubuh perempuan yang bekerja dalam kesatuan indera dan aspek mental aktor. Sekilas ini tentunya bertentangan dengan konsep Ponty tentang “persepsi yang menubuh”, tetapi sebenarnya Ponty hanya mau menjelaskan proses pembentukan pengetahuan manusia terhadap entitas material. Ponty tidak sedang mengatakan bahwa entitas material mampu menjelaskan dirinya sendiri pada aktor, tetapi entitas material itu ada dan diketahui oleh aktor dalam dualitas pancaindera dan aspek mental. Sehingga pada titik ini, aktor manusialah yang aktif memulai mengadakan dan mengetahui tubuh perempuan dan aspek keindahannya. Ada 2 kemungkinan bilamana tiap aktor mempersepsikan tubuh perempuan secara subyektif (khas) sehingga persepsi keindahan tubuh perempuan itu dapat berbeda antar aktor dan segenap aktor memiliki persepsi yang sama terhadap keindahan tubuh perempuan.

Awalnya persepsi keindahan tubuh perempuan sangat subyektif bagi tiap aktor dan dalam kemungkinan selanjutnya dapat menjadi obyektif (sama) di antar aktor. Persepsi aktor tidaklah tersusun secara tunggal atas satu aspek mentalitas aktor, tetapi terjalin atas: aspek ratio (pikiran), aspek emotif (intuisi/perasaan), dan historika hidup semenjak bayi. Semua unsur pembentuk ini dilihat sebagai aspek pengetahuan aktor karena kehadirannya selalu dalam kesadaran minim atau utuh aktor. Sehingga untuk menjawab pertanyaan kenapa keindahan tubuh perempuan hadir sebagai persepsi yang obyektif, maka pengetahuan (wacana) yang mengkondisikan bagaimana antar aktor memiliki sudut pandang yang sama tentang keindahan. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya sedari bayi, aktor terus mengalami internalisasi pengetahuan dalam proses belajar sosialnya. Baik itu berkaitan kebiasaan berpikir, merasakan, pematangan insting, dan pengalaman perilakunya sehari-hari. Akhirnya semua ini menjadi habitus yang dihayati dalam keseharian hidupnya dan menjadi kriteria-kriteria dalam laku hidupnya.

Hal yang ingin ditekankan di sini adalah bagaimana habitus yang dihayati dan dilakoni aktor hadir sebagai konstruksi pengetahuan sosial (konsesus) yang terus-menerus dihidupi dalam satu lingkup kelompok sosial yang pada akhirnya menjadi standar-standar persepsi bagi segenap aktor anggotanya. Keindahan tubuh perempuan dalam batasan wacana sosial demikian tentunya berkontribusi dalam menjelaskan bagaimana satu kelompok sosial tertentu terkondisikan dalam penilaian obyektif terkait keindahan tubuh perempuan. Sebagai wacana yang dikonstruksi secara sosial sekalipun, persepsi aktor tidak murni hadir karena pengaruh habitus yang dihidupi secara sosial. Persepsi aktor dapat saja berubah sewaktu-waktu karena proses belajar sosialnya. Subyektivitas aktor dalam mempersepsi keindahan tubuh perempuan di bawah tekanan habitus sosial yang dihayati selalu dapat terjadi karena persepsi itu tidaklah tersusun secara tunggal sebagai aspek rohaniah aktor. Ini menandai kedinamisan persepsi aktor dalam mempersepsikan aspek estetis tubuh perempuan.

ESTETIKA TUBUH PEREMPUAN DALAM WACANA

Berbicara soal wacana (pengetahuan), maka selalu pasti memiliki kandungan adanya asumsi konstruksi sosial. Pandangan bahwa tubuh dikonstruksi secara sosial merupakan perspektif yang dominan dalam sosiologi moderen dan terkait erat dengan gerakan-gerakan sosial radikal, yang biasanya menggunakan konstruksionisme sebagai suatu alat kritik untuk menentang pandangan bahwa tubuh hanyalah obyek alam semata. Beaviour dalam karyanya The Second Sex menegaskan bahwa konsep perempuan itu tidak dilahirkan namun menjadi perempuan itu melalui proses sosial dan psikologis yang membentuknya menjadi perempuan sesungguhnya. Secara obyektif, asumsi ini dapat dilihat dalam eksistensi individu manusia (dilihat sebagai patologi sosial) yang disebut banci/bencong dan tomboy.

Dalam wacana universal, perempuan dalam tampilan dan fungsi fisiologis, perempuan dilihat sebagai yang memiliki vagina dan payudara, memiliki kulit yang relatif halus, berambut panjang, mengalami kehamilan, menyusui bayi, dan lainnya. Dalam tampilan dan fungsi psikologis, perempuan itu adalah yang berperangai lemah-lembut, punya perasaan yang sensitif, berpikir praktis dan domestik, dan sebagainya. Gambaran baik secara fisiologis ataupun psikologis ini nampaknya agak kabur dengan eksistensi mereka yang disebut sebagai banci atau tomboy. Kategori banci merujuk kepada mereka yang secara fisiologis dinamakan kaum laki-laki tetapi memiliki kondisi psikologis kaum perempuan. Sebaliknya, kategori tomboy mengacu kepada mereka yang secara psikologis menampilkan karakter kaum laki-laki, tetapi dalam visual tubuh mereka masuk dalam kategori kaum perempuan. Ketidaksesuaian wacana seksualitas tentang tubuh ini dapat dilihat dalam 2 perspektif sebagai yang relatif sama selaku hasil konstruksi sosial, yaitu: tubuh yang menghabitus dan tubuh yang dipertunjukan. Tubuh yang menghabitus lebih bersifat ekspresif karena berangkat dari satu penghayatan yang mendalam oleh tuannya. Sedangkan tubuh yang dipertujukan merupakan tampilan tubuh-tubuh yang indikatif dan fungsional karena dilakoni dengan maksud dan tujuan tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun