Di Inggris, para pekerja yang datang terlambat merugikan perekonomian hingga 9 miliar poundsterling atau Rp 170,6 triliun setahun. Demikian menurut laporan Heathrow Express 2017.
Lebih dari separuh pekerja yang disurvey laporan ini mengatakan, mereka kerap terlambat bekerja dan menghadiri pertemuan.
Di Amerika Serikat, keterlambatan juga memberikan dampak negatif. Di negara bagian New York, para pekerja yang terlambat mengakibatkan kerugian 700 juta dollar AS atau hampir Rp 10 triliun setahun.
Sementara di California, keterlambatan datang bekerja menimbulkan kerugian hingga 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14 triliun setahun.
Namun, Jepang tak selamanya menjadi tempat yang paling menghargai ketepatan waktu. Hingga akhir 1800-an, Jepang di masa pra-industrial masih bersikap amat santai.
Baca juga: Sensasi Naik Kereta MRT Jakarta, Tepat Waktu dan Tak Ada Suara Bising
Willem Huyssen van Kattendijke, seorang perwira AL Belanda yang datang ke Jepang pada 1850-an, menulis di catatan hariannya bahwa warga Jepang tidak pernah datang tepat waktu.
Saat itu, masih kata Willem, kereta api di Jepang bahkan kerap terlambat 20 menit dari jadwal seharusnya.
Di masa Restorasi Meiji (1868-1912), di saat Kaisar Meiji menghapus sistem feodal, menerapkan reformasi militer dan industrialisasi, ketepatan waktu menjadi norma bar.
Budaya baru ini dianggap menjadi kunci utama kemajuan pesat Jepang dari negeri agraris menjadi sebuah masyarakat industri modern.
Sekolah, perusahaan, dan jaringan kereta api, di mana ketepatan waktu diberlakukan ketat, menjadi institusi yang menjadi ujung tombak perubahan budaya ini.