Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ironi Indonesia di Balik Gembar-gembor Revolusi Industri 4.0

19 Februari 2019   21:33 Diperbarui: 19 Februari 2019   22:00 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi Industri 4.0KOMPAS.com - Di tengah gembar-gembor memasuki era revormasi industri 4.0, sebenarnya ada beberapa masalah di Indonesia yang masih membutuhkan cukup perhatian.

Sebut saja mulai dari stunting atau tubuh anak pendek karena kurang gizi, angka rabies, Indonesia menjadi juara kedua dalam hal sembarangan, perilaku di dunia maya, dan pendidikan rata-rata orang Indonesia.

Bagaimana angka dan data sebenarnya yang terjadi di lapangan? Berikut ulasannya satu persatu.

Baca juga: Dibahas saat Debat Capres, Ini Sejarah Revolusi Industri 1.0 ke 4.0

1. Angka stunting masih jauh dari standar WHO

Pada 2015 Indonesia menjadi negara kedua di Asia Tenggara dengan jumlah stunting paling banyak menyusul Laos.

Menurut catatan Kata Data, prevalansi stunting balita pada 2015 adalah 36,4 persen. Artinya saat itu lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta balita mengalami stunting.

Terbaru, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018, 30,8 persen balita Indonesia masih mengalami stunting.

Adapun proporsi status gizi sangat pendek dan pendek menurut provinsi paling tinggi yaitu di Nusa Tenggara Timur yang mencapai 42,6 persen dan terendah di DKI Jakarta sebesar 17,7 persen.

Kepala Badan Litbangkes Dr Siswanto mengatakan meski tren stunting mengalami penurunan, hal ini masih berada di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami gizi akut bila prevalansi balita stunting lebih dari 20 persen.

Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan orangtua akan pentingnya kesehatan menjadi penyebab utama tingginya angka stunting. Masalah ini masih menjadi PR kita bersama.

Baca juga: Jangan Sampai Orang Bicara AI, tapi Kita Masih Stunting

2. Angka rabies masih tinggi

Melansir laman resmi Departemen Kesehatan RI, depkes.go.id, selama periode 2011 sampai 2017 ada lebih dari 500.000 kasus rabies di dunia. Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yang dilaporkan di Indonesia, sebanyak 836 kasus positif rabies.

Kematian akibat rabies mencapai 100 orang per tahun, dan sebagian besar dialami anak-anak Indonesia. Sementara dalam hitungan global, rabies dapat merenggut lebih dari 55.000 nyawa setiap tahunnya.

"Sejak 1995, Indonesia tak pernah dinyatakan bebas rabies. Per tahun ditemukan 1.500 kasus terpapar rabies," kata Steven Dandel, MPH, Kepala Bidang Pencegaha dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Provinsi Sulawesi Utara.

Hewan positif rabies dapat menularkan penyakitnya ke manusia atau hewan lain melalui luka gigitan, jilatan pada kulit yang lecet, selaput lendir mulut, hidung, mata.

Baca juga: KEMENKES: Banyak Anak Meninggal karena Rabies

3. Indonesia juara dua buang hajat sembarangan

Menurut WHO, sekitar 32 juta orang Indonesia masih buang hajat di tempat terbuka pada 2015.

Hal ini tidak diimbangi dengan proyek sanitasi di wilayah Indonesia.

Pada Februari 2018, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat BAsuki Hadimuljono mengatakan, proyek sanitasi di Indonesia hanya ada 62 buah pada Desember 2017.

Walaupun disebut ada peningkatan perbaikan sanitasi, tapi angka ini jauh di bawah pemenuhan proyek infrastruktur seperti jalan tol, jembatan, perumahan rakyat, dan sebagainya.

Indonesia berada di bawah India untuk urusan buang air besar sembarangan.

Baca juga: Sulit BAB Saat Bepergian? Ternyata, Ini Sebabnya

4. Kehidupan orang Indonesia di dunia maya

Ilustrasi InternetMenurut penelitian yang dilakukan We Are Social, perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial.

Dari laporan berjudul "Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World" yang diterbitkan tanggal 30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen.

Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial, dengan penetrasi 45 persen. Dalam sepekan, aktivitas online di media sosial melalui smartphone mencapai 37 persen.

Baca juga: Riset Ungkap Pola Pemakaian Medsos Orang Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun