HINGGA berlalunya debat sesi pertama calon presiden dan wakil presiden pada tanggal 17 Januari 2019, secara jujur kita tidak menemukan adanya diskursus yang sengit terkait sejumlah isu pokok yang sebenarnya layak diuji oleh masing-masing kandidat.
Debat malah urung menjadi forum yang menguliti visi dan misi kandidat, namun jadi semacam etalase kisi-kisi dan presentasi basa-basi.
Padahal panggung debat berbiaya hampir 250 juta tersebut, tadinya diharapkan mampu menjadi sarana menggali cara berpikir (way of thinking) capres untuk mengelola hampir 250 juta jiwa rakyat Indonesia. Hak azasi manusia (HAM) sebagai tema awal saja tidak tereksplorasi dengan maksimal.
Kita berharap tema strategis akan jauh lebih dominan hari-hari kedepan seperti ketahanan pangan, kemiskinan, importasi, pengelolaan sumber daya alam (SDA), reformasi birokrasi, korupsi dan sejenisnya
Kampanye sudah dimulai sejak tanggal 23 September 2018 hingga nanti tanggal 13 April 2019 untuk memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: 4 Kasus Pelanggaran Kampanye Pileg 2019 yang Berujung Penjara
Ironisnya lima bulan terakhir isu yang banyak menyeruak di publik justru isu sampiran sekelas infotainment seperti kandidat yang memakai petai di kepala, ungkapan tempe setipis anjungan tunai mandiri (ATM), uji tes ngaji, keberanian jadi imam shalat, ungkapan sontoloyo, genderuwo, kehidupan keluarga, tampang boyolali, dan sejenisnya.
Isu remeh, subtansi receh
Terhitung kurang dari delapan puluh hari waktu yang masih tersisa bagi seluruh kontestan politik untuk menarik simpati pemilih. Sejatinya kita mendorong demokrasi rasional, namun secara faktual terlalu banyak program kampanye yang dibangun dengan pendekatan irasional.
Berbagai macam cara yang ditempuh dan sejumlah gaya digunakan untuk kesekian kali nampak belum menyentuh persoalan subtansial.
Ironisnya beragam isu recehan seperti sengaja “dikembangbiakan” oleh masing-masing tim sukses, “dikipas-kipasi” oleh media dan “diobral” oleh para pegiat media sosial. Ibaratnya ruang publik kita kini hancur di darat, tenggelam di laut dan porak poranda di udara.
Sungguh lelah mengikuti dan seringkali berhenti mengamati, namun setiap hari isu-isu remeh subtansi receh datang silih berganti memapar publik. Tidak terkendali dan membabi buta, ruang publik “diperkosa” oleh para aktor politik.
Baca juga: Masyarakat Harus Kritis dan Proaktif jika Ada Iklan Kampanye di Luar Jadwal
Berdebat di ruang kaca, bertengkar di warung kopi, berseteru di aplikasi. Hoaks dijadikan senjata, pun ujaran kebencian jadi penghias.
Mencegah prilaku hoaks dan ujaran kebencian sambil menghabisi lawan bicara dengan ‘meme’ sejenis, melarang diskusi politik dalam platform sambil mendorong aktor politik lain menjadi prilaku lazim sejumlah obrolan media sosial. Standar ganda tidak hanya ada di atas roda dua, namun juga di balik kemudi smartphone.
Dalam titik tertentu kita seringkali bertanya, jangan-jangan isu recehan tersebut sengaja dibuat dan dipabrikasi untuk menenggelamkan isu-isu pokok, karena tujuan dari kontestasi politik sesungguhnya yaitu saling mengalahkan dan menjelekkan satu sama lain (zero sum game).
Bukan sibuk dan fokus menumbuhkan gagasan brilian, hadirkan terobosan kebijakan yang mendasar dan dorong program strategis yang membumi. Mereka menganggap bahwa semua hal baik cukup ada di visi dan misi, sisanya bertempur sampai hancur.
Terpelanting agenda setting
Kita sering mendengar tentang istilah agenda setting yaitu upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul.
Maxwell McCombs dan Donald Shaw menjelaskan agenda setting dibangun dengan tiga pilar utama: media agenda, public agenda, dan policy agenda. Sejatinya antara satu agenda dengan lainnya saling memengaruhi.
Dalam membaca siklus agenda setting sesungguhnya tidak mesti didominasi dan diawali kepentingan media semata (issues discussed in the media). Bisa jadi sebuah isu di inisiasi oleh publik (issues discussed and personally relevant to the public) maupun pemegang kebijakan (issues that policy makers consider important).
Repotnya kita menduga proses merumuskan agenda yang dilakukan oleh para pelaku agenda setting dilakukan dengan metodologi dan pendekatan yang salah sejak awal.
Setiap hari para tim sukses memperhatikan angka-angka elektabilitas dari balik layar, persis seperti pialang saham di bursa. Setiap angka yang menunjukan tanda negatif menjadi kabar buruk yang membuat mereka ‘blingsatan’ dan berpikir siasat baru untuk menaikan kandidat lewat strategi menjatuhkan kompetitor.
Lalu di sepanjang waktu melakukan monitoring dan social media audit memperhatikan ucapan, teks, tindakan dan sikap kandidat lain untuk dicari ‘borok’ dan cela. Salah sedikit langsung di-bully. Pola luka yang dicari-cari dan dibiarkan basah terus menerus.
Kita juga menyesal dengan apa yang terjadi dengan media, meski tidak seluruhnya. Ada saja wartawan yang malas turun ke lapangan, menyelami aslinya pertarungan politik langsung dari sumbernya, yang bisa mengujinya dengan realitas empirik, hingga akhirnya mendapatkan sintesis baru cara menghasilkan berita.
Mereka lebih senang memantau narasumber dari twit dan vlog. Menuliskannya melewati meja redaksi, jadilah produk berita ‘asal-asalan’ dibagi dan dialihpesankan oleh warganet (viral).
‘Kicauan dan ocehan’ jadi berita, sedikit balut sana sini dari mulai judul berita yang bersifat clickbait hingga isi yang menggoda pembaca lakukan clicking monkey. Dalam lirih, dari balik ‘jendela rumah’ saat menengok keluar ternyata situasi serupa terjadi di banyak negara, bahkan dalam satu titik tertentu hingga jadi konflik dan berkepanjangan.
U-turn
Melihat seluruh fenomena ini, ada baiknya kita mulai mengambil arah balik (U-turn) terhadap semua sengkarut tema kampanye yang ada saat ini, mengambil posisi lebih tenang dan menjaga jarak.
Mau tidak mau harus dimulai dari para ator politik dan pegiat media. Mulailah bicara yang benar terkait hal-hal yang subtansial. Dalam proses mediasi informasi itu melelahkan, namun setidaknya kita bisa merasakan dengan mudah ada kekacauan yang sedang terjadi.
Proses U-turn memang tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa dan cepat, sebagaimana kita akan memutar balik di jalan raya. Kemauan berdialog dan saling membuka diri adalah cara awal untuk memulai.
Meski berat situasi untuk berbalik mutlak dilakukan, daripada kita terus memaksakan kompetisi yang jalan dan arah tujuan tidak jelas. Sebelum kita terlalu jauh tersesat dan tidak menemukan ‘jalan pulang’. (Heryadi Silvianto, Dosen Fikom Universitas Multimedia Nusantara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H